Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Saat Agama Ditinggalkan, Kekerasan Menjadi Budaya


Topswara.com -- Fenomena kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Indonesia kini semakin mencemaskan. Berdasarkan Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan 2024, tercatat 401.571 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2023, dan sekitar 74 persen di antaranya terjadi dalam ranah personal atau rumah tangga. 

Angka ini meningkat hampir 15 persen dibandingkan tahun 2022, menunjukkan bahwa ketahanan keluarga Indonesia terus mengalami degradasi (Komnas Perempuan, Catahu 2024: Kekerasan terhadap Perempuan Naik 15 persen, diterbitkan Maret 2024). 

Kondisi ini berdampak langsung pada anak-anak dan remaja yang tumbuh dalam lingkungan emosional tidak sehat. Mereka kehilangan kasih sayang, perhatian, dan teladan moral, sehingga mudah terjerumus dalam perilaku agresif. 

Hal ini diperkuat oleh data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) yang mencatat peningkatan 25 persen kasus kekerasan yang dilakukan oleh remaja sepanjang tahun 2023–2024, mencakup tawuran, perundungan (bullying), hingga kekerasan seksual di sekolah (KemenPPPA, Laporan Kasus Kekerasan Anak dan Remaja 2024).

Akar dari semua ini tidak bisa dilepaskan dari pengaruh sekularisme, ideologi yang menyingkirkan nilai-nilai agama dari sistem kehidupan. Ketika agama hanya ditempatkan di ruang ibadah pribadi, keluarga kehilangan arah spiritual dan pedoman moral dalam membina rumah tangga. 

Pendidikan sekuler liberal yang kini mendominasi justru menanamkan paham kebebasan tanpa batas dan menumbuhkan sikap individualistik. Akibatnya, setiap anggota keluarga cenderung mementingkan diri sendiri dan menilai kebahagiaan dari ukuran duniawi. 

Dalam atmosfer yang dipenuhi materialisme, tekanan ekonomi dan persaingan sosial mudah memicu konflik, menjadikan kekerasan sebagai pelampiasan. 

Survei BPS (2023) bahkan menunjukkan bahwa stres ekonomi menjadi faktor utama penyebab konflik rumah tangga di 42 persen keluarga urban Indonesia (Badan Pusat Statistik, Survei Sosial Ekonomi Nasional 2023).

Di sisi lain, negara tampak hadir namun tidak menyentuh akar persoalan. Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU No. 23 Tahun 2004) memang memberikan dasar hukum untuk menindak pelaku KDRT. 

Namun, faktanya, hukum ini hanya berfungsi setelah kekerasan terjadi. Tidak ada upaya sistemik yang mengubah pola pikir masyarakat atau memperkuat pondasi moral keluarga. 

Komnas Perempuan (2024) mencatat bahwa “penegakan hukum belum diiringi dengan perubahan sosial dan kultural yang memadai.” Selama negara tetap berpijak pada asas sekularisme dan menjauhkan agama dari sistem pendidikan, ekonomi, dan hukum, kekerasan akan terus menjadi bagian dari realitas sosial.

Sebaliknya, Islam menawarkan solusi yang menyentuh akar masalah. Dalam Islam, pendidikan diarahkan untuk membentuk manusia bertakwa bukan sekadar mengejar prestasi duniawi. 

Keluarga dalam pandangan Islam dibangun atas dasar iman, kasih sayang, dan tanggung jawab. Suami diposisikan sebagai qawam (pemimpin dan pelindung), sementara istri dimuliakan sebagai pendidik generasi. Relasi yang diikat oleh ketaatan kepada Allah ini menutup pintu bagi kekerasan, karena setiap anggota keluarga memahami hak dan kewajibannya.

Lebih dari itu, negara dalam sistem Islam berperan sebagai raa’in (pengurus urusan rakyat). Negara bertanggung jawab memastikan setiap keluarga hidup dalam kesejahteraan dan keadilan, dengan menjamin kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan. 

Tekanan ekonomi yang sering menjadi sumber konflik rumah tangga dapat diminimalkan karena Islam mengatur distribusi kekayaan secara adil dan menolak sistem riba. 

Dalam aspek hukum, Islam menerapkan sistem uqubat (sanksi) yang bersifat mendidik, bukan sekadar menghukum. Tujuannya bukan hanya menjerakan pelaku, tetapi juga menjaga masyarakat dari kejahatan dan mendorong kesadaran moral kolektif.

Dengan demikian, meningkatnya KDRT dan perilaku remaja yang kian menyimpang bukanlah persoalan individu semata, melainkan buah dari sistem sekuler yang memisahkan manusia dari Tuhannya. Tidak cukup menegakkan hukum tanpa menegakkan nilai ilahi.

Solusi hakiki hanya akan lahir jika syariat Islam diterapkan secara menyeluruh meliputi pendidikan, keluarga, dan pemerintahan. Di bawah naungan Islam, keluarga akan kembali menjadi taman kasih dan sumber peradaban; tempat tumbuhnya generasi beriman, berakhlak, dan kuat menghadapi tekanan zaman.


Oleh: Siti Nurhalizah, M.Pd.
Aliansi Penulis Rindu Islam 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar