Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Potret Buram Kapitalisaai SDA


Topswara.com -- Lagi dan lagi, kabar kerugian negara akibat tambang ilegal kembali menyeruak. Baru-baru ini, pemerintah melakukan penertiban besar-besaran di sektor pertambangan. Hasilnya mencengangkan. Kerugian negara mencapai angka fantastis. 

Fakta ini menunjukkan lemahnya tata kelola sumber daya mineral sekaligus menggambarkan panjangnya rantai kepentingan yang menikmati hasil tambang ilegal di negeri ini.

Dalam pidatonya saat acara penyerahan Barang Rampasan Negara (BRN) dari enam smelter ilegal kepada PT Timah Tbk, Presiden RI Prabowo Subianto mengungkapkan fakta mengejutkan. 

Ia menyebut bahwa total kerugian negara akibat tambang timah ilegal di kawasan PT Timah, Kepulauan Bangka Belitung, mencapai sekitar Rp300 triliun. Kerugian itu berasal dari tindakan enam perusahaan tambang ilegal yang beroperasi di kawasan tersebut. (tempo.co, 8/10/2025).

Sebagaimana dilansir cnbcindonesia.com (16/10/2025), praktik Pertambangan Tanpa Izin (PETI) saat ini terjadi di 29 provinsi. Mayoritas merupakan tambang mineral. Wakil Menteri ESDM, Yuliot Tanjung, menyebut kegiatan tersebut tersebar di 93 lokasi untuk batu bara dan sekitar 2.380 lokasi untuk komoditas mineral.

Menguntungkan Segelintir Pihak

Kerugian negara sebesar itu jelas menggambarkan bahwa pengelolaan tambang di Indonesia selama ini hanya menguntungkan segelintir pihak. Dalam sistem ekonomi kapitalistik, praktik tambang ilegal, manipulasi izin, dan korupsi menjadi pemandangan lumrah. 

Sumber daya alam diperlakukan sebagai komoditas ekonomi semata, bukan amanah yang harus dikelola untuk kemaslahatan rakyat. Negara lebih banyak berperan sebagai regulator daripada pengelola yang sejati.

Ironisnya, di tengah kerugian negara yang begitu besar, pemerintah justru mengeluarkan kebijakan yang menuai pro dan kontra. 

Melalui Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2025 tentang Perubahan Kedua atas PP No. 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba, Kementerian Koperasi memperluas peran koperasi sebagai pelaku ekonomi rakyat dengan memberi izin mengelola tambang mineral dan batubara hingga seluas 2.500 hektar (hukumonline.com, 14/10/2025).

Sekilas, kebijakan ini tampak berpihak pada rakyat. Namun jika ditelaah lebih dalam, justru berpotensi menimbulkan persoalan baru. 

Pertama, koperasi dan UMKM tidak memiliki kapasitas teknis maupun finansial yang cukup untuk mengelola tambang secara mandiri. Pada akhirnya, tambang tetap jatuh ke tangan swasta, bedanya hanya pada jalur legalitas.

Kedua, kemampuan koperasi atau UMKM dalam menjaga keselamatan kerja serta kelestarian lingkungan patut dipertanyakan. Tanpa pengawasan dan kompetensi yang memadai, aktivitas pertambangan justru dapat menimbulkan kerusakan ekologi yang lebih parah.

Tata Kelola dalam Islam

Dalam pandangan syariat Islam, tambang termasuk kategori milkiyyah ‘ammah (milik umum) karena merupakan sumber daya besar yang manfaatnya luas dan tidak mudah habis. Rasulullah ï·º bersabda:
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud).

Hadis ini menjadi dasar bahwa sumber daya seperti tambang, minyak, gas, dan hasil bumi tidak boleh dimiliki oleh individu maupun korporasi. Negara wajib mengelolanya atas nama umat dan memastikan hasilnya digunakan untuk kesejahteraan seluruh rakyat, bukan segelintir elit.

Dalam sistem Islam, tambang besar seperti batu bara, emas, atau nikel wajib dikelola negara karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Adapun tambang kecil boleh dikelola individu atau komunitas, dengan ketentuan mengikuti aturan negara dan hukum syariat. Dari hasil tambang itu, mereka akan dikenai khumus (seperlima) sebagai kontribusi untuk negara.

Dengan demikian, solusi Islam terhadap tata kelola tambang tidak sekadar menertibkan izin atau memperluas akses pengelolaan, melainkan mengembalikan fungsi negara sebagai pengelola langsung sumber daya alam. Negara dalam sistem Islam tidak tunduk pada logika untung-rugi, tetapi berlandaskan pada akidah dan hukum syariat.

Sistem ekonomi Islam menjamin tata kelola tambang yang benar-benar berpihak kepada rakyat. Hasil tambang harus dikembalikan untuk kepentingan publik seperti membangun infrastruktur, pendidikan, kesehatan, serta memenuhi kebutuhan dasar rakyat. 

Negara bertanggung jawab penuh atas pengelolaan, distribusi, dan pengawasan agar setiap tetes sumber daya alam memberi manfaat bagi seluruh rakyat.
Kerugian Rp300 triliun hanyalah puncak gunung es dari kesalahan sistemik dalam tata kelola tambang nasional. 

Tambang sejatinya adalah amanah besar yang harus diurus dengan tanggung jawab. Selama paradigma kapitalistik masih dijadikan dasar, praktik perampasan sumber daya alam atas nama investasi akan terus berulang. Islam menawarkan jalan keluar yang tegas dan menyeluruh: menjadikan negara sebagai pengurus rakyat, bukan pelayan korporasi.


Oleh: Nasywa Adzkiya
Aktivis Muslimah 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar