Topswara.com -- Sejarah peradaban Islam penuh dengan kisah para ulama yang mengabdikan hidupnya untuk menegakkan ilmu, menjaga agama, dan membimbing umat.
Menariknya, jalan hidup mereka beragam: ada yang memilih tidak menikah, ada yang menikah dengan satu istri, bahkan ada yang menikah dengan beberapa istri (poligami).
Namun demikian, perbedaan itu tidak menghalangi mereka untuk tetap produktif dan memberikan kontribusi ilmiah yang luar biasa dalam khazanah keilmuan Islam.
Produktif dengan Melajang
Imam an-Nawawi rahimahulLaah (631–676 H) adalah contoh paling terkenal. Beliau hidup membujang atau melajang sampai beliau wafat pada usia yang cukup muda, sekitar 45 tahun.
Namun, beliau menghabiskan setiap detik dari usianya yang singkat itu untuk mengajar, menulis dan beribadah.
Alasannya sederhana: beliau takut waktu dan fokusnya pada ilmu berkurang jika menikah dan berkeluarga. Diriwayatkan, ketika ditanya mengapa beliau tidak menikah, beliau menjawab:
يموت العلم بين فخذي النساء
“Ilmu itu bisa mati di antara dua paha wanita.” [1]
Ungkapan ini, meski terdengar keras, lahir dari realitas zaman beliau saat pernikahan sering kali membawa konsekuensi kesibukan dalam berumah tangga, terutama bagi ulama yang sudah menjadi rujukan umat.
Beliau ingin seluruh waktunya tercurah untuk ilmu tanpa distraksi apapun. Hasilnya, produktivitas beliau sangat besar. Beliau menghasilkan 50-an lebih kitab yang hingga kini menjadi rujukan umat Islam di seluruh dunia dari dulu hingga ratusan tahun berikutnya sampai saat ini.
Salah satu kitab karya beliau yang luar biasa, Riyaadh as-Shaalihiin, konon merupakan salah satu kitab yang paling banyak dikaji oleh umat Islam di seluruh dunia selain kitabnya yang lain seperti: Al-Arba‘iin an-Nawawiyyah, Minhaaj Syarh Shahiih Muslim, Al-Majmuu‘ Syarh al-Muhadzdzab.
Produktif dengan Menikah
Di kalangan ulama masa kini, Syaikh Ramadhan al-Buthy (1352–1434 H) adalah contoh ulama yang menikah pada usia muda, bahkan ketika sedang semangat menuntut ilmu. Awalnya beliau kecewa karena khawatir pernikahan mengganggu fokus belajar.
Namun kemudian, beliau sadar, sebagaimana ia kisahkan dalam tulisan beliau, Hadzaa Waalidi, bahwa keputusan orangtua beliau menikahkan beliau justru melindungi beliau dari fitnah syahwat dan pikiran negatif. Lebih dari itu, dengan menikah beliau justru makin produktif dalam berkarya.
Adapun di kalangan ulama masa lalu, contohnya adalah Imam Jalaluddin as-Suyūṭhī (849–911 H). Beliau menikah. Bahkan dalam beberapa riwayat disebutkan beliau sempat berpoligami.
Dalam satu riwayat populer, ketika ditanya mengapa beliau menikah dan berpoligami, jawaban beliau berkebalikan dengan jawaban Imam an-Nawawi yang memang memilih membujang/melajang:
يعيش العلم بين فخدي النساء
“Ilmu itu justru bisa hidup di antara dua paha wanita.” [2]
Ungkapan ini lahir dari pandangan bahwa pernikahan bisa menjadi sarana menjaga kesucian diri, menenangkan hati, dan dengan itu justru membuat pikiran lebih fokus dalam berkarya.
Dalam konteks sosial zaman beliau, memang tak sedikit ulama memilih untuk hidup membujang/melajang semata-mata demi ilmu. Dengan demikian ungkapan di atas yang dinisbatkan kepada beliau sekaligus menjadi jawaban “balik” kepada mereka bahwa menikah pun bisa sejalan dengan produktivitas ilmiah.
Faktanya, Imam as-Suyūṭhī sangat produktif. Beliau bahkan lebih produktif dari beberapa ulama yang tidak menikah. Beliau menulis antara 300 hingga 600 kitab di berbagai bidang tafsir, hadis, fiqh, bahasa Arab, sejarah, dan lainnya.
Contoh lainnya adalah Abu Ishaq asy-Syirazi yang mampu mengarang tak kurang dari 100 judul kitab. Demikian pula Ibn Jarir ath-Ṭhabari yang sanggup menulis 100 ribu halaman. Juga Ibn al-Jauzi yang sanggup menulis 1000 judul kitab (Lihat: Aidh al-Qarni, Miftaah an-Najaah, hlm. 13).
Jelas, menikah, termasuk menikah dengan lebih dari satu istri (poligami), tidak otomatis mengurangi produktivitas keilmuan para ulama. Terbukti banyak tokoh besar yang berpoligami, namun tetap produktif.
Selain Imam as-Suyūṭhi, banyak ulama besar lainnya yang menikah dan bahkan berpoligami. Namun, mereka tetap produktif dalam keilmuan memberikan sumbangsih yang sangat berharga dalam khazanah pemikiran dan peradaban Islam.
Hikmah Besar
Dengan demikian, bagi para ulama salafus-shalih, menikah atau tidak menikah, monogami atau poligami semua bisa menjadi jalan menuju keberkahan ilmu jika dijalani dengan niat tulus dan manajemen waktu yang baik.
Produktivitas para ulama bukan lahir dari status pernikahan mereka, tetapi dari: keikhlasan niat mencari dan menyebarkan ilmu; manajemen waktu yang disiplin; serta pengorbanan pribadi demi kepentingan ilmu dan umat.
Maka dari itu, siapapun kita lajang, menikah monogami atau poligami bisa meneladani dan mewarisi produktivitas para ulama dulu jika kita benar-benar menaruh ilmu sebagai prioritas utama.
Wa maa tawfiiqii illaa bilLaah.
Catatan kaki:
[1], ungkapan ini dinisbatkan kepada Imam an-Nawawi dan diriwayatkan dalam beberapa sumber biografi. Tentu bukan karena beliau anti atau membenci pernikahan. Konteks sosialnya adalah pandangan sebagian ulama pada zamannya yang menganggap pernikahan dapat mengalihkan fokus seorang penuntut ilmu dari aktivitas ilmiah yang intens.
[2], ungkapan ini sering dinisbatkan kepada Imam Jalaluddin as-Suyūṭhī. Biasanya disebut-sebut sebagai tanggapan beliau terhadap pandangan ulama yang memilih membujang. Secara historis, ia muncul sebagai “jawaban balik” bahwa menikah bahkan berpoligami—dapat berjalan seiring dengan produktivitas ilmu jika dikelola dengan baik.
Oleh: Ustaz Arief B. Iskandar
Khadim Ma'had Wakaf Darun Nahdhah Al Islamiyah Bogor

0 Komentar