Topswara.com -- Dilansir dari TribunJabar.id, (11/11/2025). Turunnya kuota haji Kabupaten Bandung pada tahun 2026 dari 2546 menjadi hanya 429 orang bukan sekadar penurunan angka. Peristiwa ini menjadi cermin bagaimana pengelolaan ibadah haji dalam sistem saat ini tidak berangkat dari pandangan Islam yang memuliakan ibadah umat.
Ribuan calon jamaah yang telah memenuhi syarat istithaah, menjalani pemeriksaan kesehatan, melunasi pembayaran, dan berharap bertahun-tahun menunggu, kini terancam gagal berangkat. Bahkan lebih dari 1900 calon jamaah di Kabupaten Bandung menghadapi ketidakpastian yang sangat mengecewakan.
Masalah ini tidak terjadi begitu saja. Ia berakar dari perubahan regulasi melalui Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2025 yang mengalihkan dasar pembagian kuota dari jumlah penduduk Muslim per kabupaten menjadi pembagian berdasarkan panjangnya daftar tunggu per provinsi.
Dalam konteks Jawa Barat yang memiliki daftar tunggu mencapai sekitar delapan ratus ribu orang, kebijakan pembagian merata antarwilayah justru membuat jatah banyak kabupaten menyusut tajam.
Regulasi tersebut tampak rapi secara administratif, tetapi tidak mempertimbangkan kebutuhan umat secara riil. Calon jamaah yang telah siap justru dikorbankan oleh aturan yang bersifat teknokratis dan tidak berorientasi pada pelayanan ibadah.
Di balik problem ini, ada persoalan lebih mendasar yaitu paradigma kapitalistik dalam pengelolaan haji. Dana haji tidak murni dikelola sebagai amanah ibadah, tetapi sering diperlakukan sebagai sumber pembiayaan negara dan instrumen ekonomi yang menghasilkan imbal hasil.
Meskipun pemerintah telah menghentikan dana talangan haji, lembaga swasta masih menyediakan fasilitas tersebut. Akibatnya minat masyarakat meningkat sementara kuota tetap terbatas. Yang menikmati keuntungan adalah pihak-pihak yang mengelola dana besar umat, sedangkan umat Islam sendiri menanggung dampaknya.
Jalan panjang antrean, ketidakpastian keberangkatan, dan perubahan kuota yang tidak dapat diprediksi hanyalah sebagian dari konsekuensi logika kapitalisme yang mereduksi ibadah menjadi urusan finansial.
Islam memiliki pandangan yang jauh berbeda. Dalam Islam, pengelolaan haji merupakan tugas langsung pemimpin kaum muslim yaitu khalifah. Penyelenggaraan haji adalah amanah yang harus dijalankan sebagai bentuk pengurusan negara terhadap ibadah umat, bukan sebagai proyek ekonomi maupun objek investasi.
Dana haji tidak boleh diputar untuk membiayai kebutuhan negara atau menghasilkan keuntungan, karena dana tersebut sepenuhnya milik umat untuk menunaikan rukun Islam yang agung.
Negara wajib memastikan para jamaah dapat berangkat sesuai kesiapan mereka, bukan disandera oleh kuota yang sempit atau antrean yang bertahun-tahun lamanya.
Dalam struktur pemerintahan Islam, negara akan menyediakan fasilitas transportasi dan layanan yang memadai, memperluas infrastruktur, dan menjalin perjanjian internasional atas nama seluruh umat Islam.
Pengajuan kuota tidak dilakukan secara terpisah oleh negara-negara kecil seperti sekarang, tetapi dilakukan oleh satu entitas politik umat Islam yang kuat sehingga kuota dapat diperjuangkan secara optimal.
Dengan kesatuan politik umat, pembatasan kuota dapat dinegosiasikan secara lebih efektif dan berdasarkan kebutuhan riil jamaah, bukan berdasarkan sekat-sekat administratif yang sempit.
Karena itu, penurunan kuota haji yang drastis ini bukan hanya persoalan teknis atau administratif. Ia merupakan bukti bahwa sistem yang berlaku saat ini jauh dari prinsip-prinsip Islam dalam mengurus kepentingan ibadah umat.
Selama pengelolaan ibadah berada dalam kerangka kapitalistik yang menjadikan haji sebagai jalur ekonomi, persoalan akan terus berulang. Selama dana haji diperlakukan sebagai instrumen keuangan, umat akan terus dirugikan. Selama ibadah dipandang sebagai komoditas administratif, umat tidak akan mendapatkan pelayanan yang layak.
Islam menawarkan solusi yang bersifat mendasar. Pengelolaan haji harus berada di tangan negara yang menerapkan syariah secara menyeluruh, negara yang menjadikan akidah Islam sebagai dasar setiap kebijakan, negara yang menjadikan ibadah sebagai amanah yang harus dipenuhi, bukan sebagai peluang ekonomi.
Dengan sistem pemerintahan Islam yang kaffah, pelayanan haji dapat kembali menjadi pelayanan mulia. Umat Islam membutuhkan negara yang mengurusi urusan mereka berdasarkan syariah, yang menjaga kehormatan ibadah mereka, dan yang memudahkan mereka menunaikan kewajiban yang Allah tetapkan.
Penurunan kuota haji ini seharusnya menyadarkan kita bahwa sudah saatnya umat kembali pada sistem yang memuliakan umat. Sistem yang menjamin keberangkatan umat sebagai hak ibadah.
Bukan sistem yang memanfaatkan dana umat, tetapi sistem yang penuh dengan tanggung jawab. Dan bukan sistem yang menjadikan ibadah sebagai angka statistik, tetapi sistem yang menempatkan ibadah di posisi yang mulia sebagaimana seharusnya dalam Islam.
Wallahu’alam bi shawwab.
Oleh: Hasna
Aktivis Pelajar

0 Komentar