Topswara.com -- Ironi yang terus menganga di dunia Muslim hari ini sangatlah pilu: Gaza memerah oleh darah, tetapi diplomasi negeri-negeri Muslim justru memerah oleh lipstik politik.
Di panggung internasional, normalisasi tampil seperti kosmetika: memoles wajah penjajahan agar tampak lebih pantas dipandang, lebih mudah diterima, lebih “normal” bagi publik yang lelah dengan konflik. Nyatanya, ia hanyalah riasan yang menutup luka, bukan mengobatinya.
Dalam Oxford Dictionary Of International Relations, normalisasi dimaknai sebagai upaya menjadikan hubungan yang dulu bermusuhan tampak wajar.
Oxford menyebutnya “proses menjadikan hubungan abnormal kembali menjadi biasa”, sementara Rashid Khalidi, sejarawan Palestina melihatnya sebagai upaya politik untuk memberi legitimasi baru pada kolonialisme Israel.
Dengan kata lain, normalisasi bukan sekadar diplomasi ia adalah upaya menghaluskan penjajahan agar terasa ringan di lidah para penguasa dan dunia.
Fakta terbaru menyingkap ironi itu.
Turki mengumumkan surat perintah penangkapan terhadap Benjamin Netanyahu dan sejumlah pejabat Israel (TVOneNews, 6/11/2025).
Langkah yang terlihat gagah, tetapi berdiri di atas realitas pahit: hubungan dagang Turki–Israel tetap berdenyut, jalur diplomasi tidak diputus, dan kerja sama strategis di bidang energi tetap berlangsung. Retorika keras di podium, lentur di meja transaksi itulah wajah nyata dari normalisasi gaya baru.
Pada saat yang sama, Kazakhstan resmi masuk ke dalam lingkaran Abraham Accords (Antara, 5/11/2025), sebuah langkah yang menunjukkan bagaimana negara-negara Muslim terus digiring masuk ke orbit geopolitik AS.
Sementara itu, ketika Turki mengusulkan pasukan perdamaian untuk Gaza namun ditolak Israel, Menlu RI hanya menanggapinya dalam bahasa diplomasi standar—yang menegaskan bahwa kendali atas isu Palestina masih berada di tangan kekuatan Barat (CNN Indonesia, 6/11/2025).
Dari sinilah kita membaca satu pola:
ada negara yang menormalisasi secara terang-terangan, ada negara yang menormalisasi dengan riasan tipis. Ada yang berfoto di karpet merah bersama penjajah, dan ada yang berdiri di mimbar mengecam sambil tetap menjaga saluran bisnis tetap mengalir.
Keduanya berbeda gaya, tetapi sama-sama menguntungkan agenda Amerika untuk melanggengkan keberadaan Zionis di tanah yang mereka rampas.
Pada titik ini, kosmetika politik itu bekerja bukan untuk mempercantik realitas, tetapi untuk membungkam luka-luka yang berteriak minta keadilan. Luka Gaza, luka umat, luka sejarah.
Dan selama negeri-negeri Muslim tetap bergerak dalam bingkai geopolitik yang dirancang AS, normalisasi akan terus menjadi instrumen penjajahan: memberikan kesan damai pada situasi yang jauh dari damai, memoles penjajahan agar tampak seperti hubungan bilateral biasa, dan mengubah derita sebuah bangsa menjadi sekadar “isu diplomatik”.
Mengapa ironi ini bisa terjadi? Akar masalahnya karena negeri-negeri Muslim dikungkung oleh nasionalisme sempit. Palestina hanya dipikirkan sebatas “isu luar negeri”, bukan amanat akidah.
Politik luar negeri dihitung dengan kalkulasi ekonomi, bukan dengan perintah syari'at untuk membela yang dizalimi. Selama paradigma ini bertahan, Gaza akan terus menjadi korban.
Karena itu, penyelesaian Gaza tidak mungkin lahir dari meja diplomasi yang dikendalikan Washington. Tidak dari resolusi, tidak dari kecaman, tidak dari operasi simbolik. Solusi tuntas hanya dengan jihad dan tegaknya khilafah.
Firman Allah: “(Dan perangilah mereka) sampai tidak ada lagi fitnah dan agama itu seluruhnya milik Allah.” (QS Al-Baqarah: 193). Penjajahan tidak dihapus dengan resolusi PBB atau diplomasi humanis, tetapi dengan kekuatan umat yang terorganisir di bawah satu kepemimpinan.
Rasulullah ﷺ menegaskan peran negara sebagai pelindung umat: “Imam (khalifah) adalah junnah; umat berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR Bukhari & Muslim).
Perisai inilah yang dulu membebaskan Syam, mengguncang imperium Romawi, dan meruntuhkan Persia. Perisai yang sama pula yang kelak akan mencabut penjajahan Zionis hingga tidak tersisa akarnya.
Namun perisai itu tidak akan hadir tanpa kesadaran dan gerakan dakwah. Allah memerintahkan, “Dan hendaklah ada di antara kalian sekelompok umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.” (QS Ali Imrān:104).
Normalisasi adalah kemunkaran yang sangat nyata hari ini, karena ia melegitimasi penjajah dan membuka jalan bagi kekuasaan mereka seperti yang disebutkan Allah:
"Allah tidak akan memberi jalan kepada orang kafir untuk mengalahkan orang-orang beriman" (QS Annisa:141).
Maka kewajiban umat adalah bergerak, membangun kesadaran bahwa Islam adalah akidah dan syariat yang akan memecahkan seluruh problematik mereka, bersatu dalam proyek besar yang meneladani metode dakwah Rasulullah ﷺ.
Gaza tidak menunggu simpati; Gaza menunggu kebangkitan umat. Dan kebangkitan itu hanya hadir ketika umat kembali pada identitasnya: satu umat, satu akidah, satu kepemimpinan, satu perisai, satu bendera: khilafah.
Wallahu'alam.
Oleh: Zahida Ar-Rosyida
(Aktivis Muslimah Banua)

0 Komentar