Topswara.com -- Ada banyak jalan untuk mendekat kepada Allah, tetapi tidak semua jalan itu dibukakan untuk setiap hamba.
Ada amalan yang membutuhkan ilmu tinggi, ada yang membutuhkan harta banyak, ada pula yang membutuhkan kekuatan fisik. Namun ada satu amalan yang Allah bukakan untuk hampir semua orang, jalan yang lembut, hangat, dan seringkali kita remehkan, yaitu birrul walidain, berbakti kepada kedua orang tua.
Birrul walidain bukan sekadar budaya Timur atau sopan santun keluarga. Ia adalah ibadah besar, bagian dari taqarrub ilallah, bentuk nyata kita mengarahkan seluruh amal hanya untuk Allah Ta'ala.
Ketika kita membawakan makanan, membukakan pintu, memijat kaki, mendengar cerita yang diulang-ulang, mengantar ke dokter, atau sekadar hadir menemani saat terapi, semua itu menjadi amal salih jika niatnya lurus, “Ya Allah, ini untuk-Mu.”
Allah Ta’ala menempatkan birrul walidain di posisi yang tidak main-main. Perintahnya ditempatkan setelah tauhid, tanda bahwa kemuliaan orang tua bukan urusan kecil. Allah berfirman,
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada kedua orang tua.” (QS. Al-Isra: 23)
Tidak ada jeda antara tauhid dan bakti. Seakan Allah ingin mengatakan, Jika ingin Engkau dekat dengan-Ku, dekatlah dulu dengan kedua orang tuamu.
Rasulullah SAW pun menjelaskan keutamaannya dengan sangat kuat. Dalam satu hadis masyhur beliau bersabda,
“Keridaan Allah bergantung pada keridaan kedua orang tua, dan kemurkaan Allah bergantung pada kemurkaan keduanya.”
(HR. Tirmidzi)
Artinya, birrul walidain bukan sekadar amalan sunnah tambahan yang kalau sempat dilakukan, kalau sibuk ya dilewatkan. Ia adalah penentu status kita di sisi Allah. Jika orang tua ridha, langit pun terbuka. Jika orang tua marah, seluruh amal menjadi berat.
Bahkan dalam satu hadis lain, Rasulullah SAW mengguncang hati kita dengan sabdanya,
“Celaka seseorang yang mendapati kedua orang tuanya salah satu atau keduanya di masa tua, namun ia tidak masuk surga karenanya.” (HR. Muslim).
Mengapa sampai celaka? Karena masa tua adalah kesempatan emas. Ketika orang tua makin rapuh, makin mudah tersentuh, makin membutuhkan uluran tangan, di situlah pintu surga justru sedang dibuka selebar-lebarnya.
Menyantuni mereka, merawat, menghibur, bersabar atas kelemahan dan berbagai keluhan mereka, semuanya menjadi ibadah yang nilainya luar biasa.
Birrul walidain pun bukan sekadar memenuhi kebutuhan fisik mereka. Ia mencakup kelembutan suara, wajah yang berseri, kata-kata yang menyejukkan, dan hati yang tidak pernah merasa lebih tinggi.
Kita boleh sukses, punya jabatan, dihormati banyak orang, tetapi di depan orang tua, kita tetaplah anak kecil yang dulu pernah digendong, disuapi, ditunggu tidur, dan ditangisi ketika sakit.
Karena itu, ulama salaf mengatakan, “janganlah engkau berjalan di depan orang tuamu. Janganlah engkau duduk sebelum mereka duduk. Jangan angkat suaramu di atas suara mereka.”
Betapa halusnya adab terhadap mereka sampai hal kecil pun diperhatikan.
Dan puncaknya, birrul walidain adalah bentuk tertinggi dari syukur. Sebab manusia yang paling berjasa kepada kita setelah Allah adalah kedua orang tua. Mengurus mereka berarti menghidupkan rasa syukur, dan syukur adalah inti dari taqarrub ilallah.
Pada akhirnya, birrul walidain bukan beban. Ia adalah kehormatan. Tidak semua orang diberi kesempatan. Ada yang kehilangan orang tua terlalu cepat, ada yang tidak punya ruang lagi untuk berbakti, ada yang baru menyadari nilainya setelah semuanya terlambat.
Selama Allah masih memberi kita waktu, sob, selama pintu itu masih terbuka walau sedikit, genggam erat kesempatan itu. Karena setiap langkah menuju orang tua adalah langkah menuju Allah.
Setiap senyum untuk mereka adalah jalan menuju rahmat-Nya. Dan setiap pelayanan kecil yang kita lakukan dalam diam adalah doa yang akan kembali kepada kita suatu hari nanti.
Semua perbuatan karena Allah Ta’ala dan birrul walidain adalah salah satu jalan paling indah untuk mendekat kepada-Nya. []
Oleh: Nabila Zidane
(Jurnalis)

0 Komentar