Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Remaja Kian Brutal: Ketika Pendidikan Sekuler Melahirkan Kekerasan


Topswara.com -- Belakangan kita dikejutkan oleh dua kisah menyayat dari ranah pendidikan di Indonesia yaitu seorang santri membakar asrama pondok pesantren karena sakit hati setelah menjadi korban bullying dan seorang siswa SMA Negeri 72 Jakarta yang diduga melakukan ledakan di sekolahnya. 

Menurut laporan, santri tersebut mengaku kerap menjadi sasaran ejekan, pengucilan, dan perilaku melecehkan dari rekan-rekannya di pesantren (aceh.antaranews.com, 6/11/2025). 

Sementara itu, kasus di SMAN 72 dugaan kuat muncul bahwa pelaku adalah korban bullying berkepanjangan, yang kemudian memilih jalan ekstrem (antaranews.com, 7/11/2025). 

Kriminolog Reza Indragiri Amriel bahkan menegaskan bahwa kita terlambat menolong korban bully yang kemudian beralih menjadi pelaku kekerasan (amp.kompas.com, 8/11/2025).

Bullying, Masalah Sistemis

Kasus santri yang membakar asrama serta dugaan ledakan di SMA oleh korban bullying menunjukkan bahwa perundungan di Indonesia telah mencapai fase yang sangat mengkhawatirkan. 

Bullying tidak lagi berhenti pada luka psikologis atau penurunan performa belajar, tetapi berkembang menjadi tindakan balasan yang ekstrem dan membahayakan banyak nyawa. Ini merupakan bukti bahwa sistem pendidikan dan lingkungan sosial kita tidak memiliki mekanisme pencegahan maupun penanganan yang efektif. 

Ketika korban terus ditekan, diejek, dan diisolasi tanpa ruang aman untuk berbicara, maka akumulasi emosi negatif berubah menjadi tindakan destruktif. Fenomena ini memperlihatkan bagaimana institusi pendidikan gagal membaca tanda-tanda bahaya yang sebenarnya sudah sangat jelas sejak awal.

Di sisi lain, media sosial memainkan peran krusial dalam memperparah krisis adab remaja. Ruang digital memungkinkan bullying terjadi tanpa batas ruang dan waktu, sekaligus menjadikannya hiburan publik. 

Ketika dunia digital menjadi ruang normalisasi kekerasan, generasi muda akhirnya kehilangan sensitivitas moral dan menganggap tindakan ekstrem sebagai jalan keluar yang wajar.

Sementara itu, akar krisis ini terletak pada paradigma pendidikan sekuler-kapitalistik yang hanya mengutamakan aspek akademik, pencapaian materi, dan kompetisi. 

Sistem ini gagal membentuk kepribadian beradab karena tidak menanamkan prinsip ruhiyah, ketakwaan, dan akhlak secara mendasar. Anak dididik untuk unggul dalam nilai, tetapi tidak dibina untuk unggul dalam empati. 

Ketika adab tidak menjadi fondasi, maka sekolah hanya melahirkan generasi yang cerdas secara teknis namun miskin moral. 

Pendidikan yang Memanusiakan dan Melindungi Generasi

Islam memandang pendidikan sebagai proses membentuk kepribadian, bukan sekadar transfer pengetahuan. Dalam perspektif Islam ideologis, inti pendidikan adalah pembinaan pemikiran (aqliyah) dan pembinaan sikap (nafsiyah) yang berlandaskan aqidah Islam. 

Prosesnya dilakukan secara intensif dan berkesinambungan, melalui keteladanan, nasihat, pengawasan moral, dan pembiasaan adab. Islam meletakkan akhlak bukan sebagai pelengkap, melainkan sebagai fondasi yang membentuk karakter manusia. 

Kurikulum dalam sistem Islam juga disusun untuk menanamkan kesadaran ruhiyah dan sosial. Anak dibimbing untuk memahami harga diri, kehormatan sesama, dan tanggung jawab moral terhadap komunitas. 

Pendidikan Islam memastikan bahwa setiap siswa tumbuh dengan kecakapan intelektual sekaligus kekuatan mental dan akhlak, sehingga mampu merespons tekanan hidup tanpa kehilangan kendali diri. 

Dengan pendekatan seperti ini, bullying tidak memiliki ruang untuk berkembang, karena lingkungan pendidikan benar-benar dibangun di atas prinsip penghormatan dan amanah pendidikan.

Negara dalam pandangan Islam memiliki peran strategis sebagai penjaga moral masyarakat dan pelindung generasi. Negara wajib memastikan sistem pendidikan berjalan sesuai tujuan syar’i: membentuk manusia berkepribadian Islam. 

Negara juga harus hadir dalam pencegahan dan penyelesaian konflik sosial, memastikan keadilan bagi korban bullying, memberikan sanksi pembinaan bagi pelaku, serta menjalankan sistem pengasuhan sosial yang menghilangkan rasa takut dan kesendirian pada generasi muda. Inilah mekanisme struktural yang hilang dalam sistem sekuler, sehingga kasus-kasus bullying dibiarkan berlarut dan berbuah tragedi.

Perundungan hanya dapat dihentikan jika akar persoalannya diatasi: hilangnya adab, lemahnya pembinaan ruhiyah, dan absennya negara sebagai penjaga moral publik. 

Tanpa reformasi menyeluruh terhadap tujuan dan metode pendidikan, tragedi seperti pembakaran asrama dan ledakan di sekolah akan terus berulang, karena generasi tidak hanya sakit secara sosial tetapi juga kehilangan arah hidup. 

Pendidikan Islam yang ideologis menawarkan solusi komprehensif: mengembalikan adab sebagai inti pendidikan, menjadikan akidah sebagai dasar kurikulum, dan memastikan negara hadir sebagai penjaga generasi. 

Hanya dengan cara inilah kita dapat menghentikan ledakan-ledakan krisis adab yang tengah mengancam masa depan bangsa.


Oleh: Wulandari, S.P., S.Pd.
Pendidik 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar