Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Tak Cukup Cinta Orang Tua, Generasi Butuh Negara Penjaga Imannya


Topswara.com -- Belakangan ini, timeline dunia pendidikan makin mirip highlight drama. Ada anak merokok di sekolah lalu ditampar gurunya dan orang tua langsung lapor polisi, ada yang live streaming saat tawuran, ada aksi geng motor dan kebut-kebutan pelajar yang seolah siap debut jadi gangster terseram. Belum lagi adab ke guru yang kadang entah ke mana hilangnya.

Guru pun mulai pasang suara lirih penuh harapan, “mohon kerja sama orang tua, ya. Kami tidak sanggup sendiri.” Dan itu sangat masuk akal. Karena guru bukan malaikat penjaga 24 jam yang bisa mengawasi anak didik setiap detik. 

Mereka sudah jungkir balik ngajarin adab, membimbing tugas, jadi konselor saat anak putus cinta, bahkan jadi penengah saat anak bermasalah dengan temannya.

Tetapi masyarakat masih sering berpikir klasik. Jika anak bermasalah, yang dituduh duluan adalah ibunya. “Ibunya ke mana aja?” Padahal, yang bikin anak itu berdua. Bukan hasil solo karier.

Parenting itu kerja dua orang. Ayah dan ibu adalah satu tim. Ibu memang sekolah cinta pertama bagi anak, tapi ayah adalah kompas arah yang memberi ketegasan dan visi hidup.

Sayangnya, di banyak rumah tangga, ayah hanya hadir dalam slip gaji, bukan dalam percakapan iman anak.

Padahal Rasulullah SAW bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya”
(HR. Bukhari dan Muslim).

Artinya, bapak enggak cukup jadi donatur bulanan, tetapi juga harus jadi pelindung iman anak. Karena jika ayah adem-ayem, anak bisa kehilangan arah, seperti kompas tanpa utara.

Lalu, kapan orang tua bisa disebut sukses? Apakah ketika anak viral, kaya muda, sukses di dunia usaha, punya mobil dan rumah sebelum akad?

Dalam Islam, ukuran sukses parenting bukan sekadar pencapaian duniawi. Sukses terbesar orang tua adalah ketika anak mengenal Allah, jatuh cinta pada ketaatan, dan menjadikan ridhaNya sebagai tujuan akhir hidup.

Syaikh Ibnu Atha’illah berkata, “jangan bergembira karena ketaatan anakmu, tetapi bergembiralah karena Allah memilihnya untuk taat.”

Karena tujuan mendidik bukan mencetak anak populer, tetapi mencetak hati yang pulang kepada Allah dengan selamat.

Namun hari ini, kita sedang mendidik anak di tengah arus sekularisme yang mendorong mereka berpikir,

“Yang penting happy.”
“Yang penting viral.”
“Yang penting cuan.”

Maka bukan salah guru kalau adab goyang, bukan salah ibu kalau anak galau. Karena justru sistem sekulerlah yang melahirkan generasi lelah mencari arah.

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan, generasi kuat lahir dari tiga pilar kokoh, yaitu keluarga yang menanam akidah, masyarakat yang menjaga nilai, dan negara yang menegakkan sistem Islam sebagai pelindung iman.

Artinya, selama sistem yang membungkus kehidupan masih sekuler liberal, keluarga dan sekolah akan terus babak belur melawan arus sendirian. Butuh negara yang menegakkan sistem pendidikan Islam untuk menjaga akidah generasi secara menyeluruh.

Dalam sistem Islam, akal anak dijaga melalui kurikulum yang berbasis akidah Islam, kontrol media, serta lingkungan sosial yang menguatkan iman. Tanpa sistem yang berpihak pada iman, generasi akan terus tumbuh dalam kebingungan.

Maka perjuangan orang tua tak cukup di ruang keluarga, ia harus sampai pada perubahan sistem dari sistem pendidikan sekuler diganti ke sistem pendidikan Islam.

Karena pendidikan bukan hanya tugas dapur rumah tangga, tetapi misi peradaban. Karena anak bukan hanya ujian untuk ibu, tetapi juga amanah kepemimpinan bagi ayah dan karena generasi bukan hanya lahir dari rahim, tetapi dibesarkan oleh sistem yang menaungi mereka.

Memang proses mendidik anak adalah bagian dari ibadah, tetapi memperjuangkan sistem yang menjaga akidahnya adalah bagian dari amanah menuju surga. Karena kalau cinta orang tua adalah cahaya, maka sistem Islam adalah atap yang menjaganya agar tak padam. []


Oleh: Nabila Zidane 
(Jurnalis)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar