Topswara.com -- Gedung lantai empat Pondok Pesantren Al Khoziny, Sidoarjo, ambruk pada Jumat sore (4/10/2025), menimpa ratusan santri yang sedang menunaikan salat Asar di lantai dua. Dari sekitar 160 korban, 37 di antaranya meninggal dunia (Detik.com, 5/10/2025).
Tragedi memilukan ini menyayat nurani. Mereka bukan hanya korban dari runtuhnya bangunan, tapi juga korban dari runtuhnya sistem yang abai pada jaminan fasilitas pendidikan.
Bangunan pesantren yang roboh itu diduga karena struktur konstruksi yang tidak kuat dan pengawasan yang lemah. Menteri Agama Prof. Dr. Nasaruddin Umar langsung meninjau lokasi dan berjanji akan mengevaluasi seluruh bangunan pondok pesantren dan rumah ibadah di Indonesia.
Dalam keterangannya, Nasaruddin menegaskan bahwa kerja sama dan gotong royong memang tradisi mulia di pesantren, “tetapi untuk bangunan bertingkat, harus profesional.” (Detik.com, 2/10/2025).
Pernyataan ini benar—tetapi mengapa pesantren sampai harus membangun dengan swadaya santri dan wali, tanpa dukungan negara yang memadai?
Inilah wajah buram dari sistem pendidikan yang dibiarkan beroperasi di bawah logika pasar. Banyak pesantren di Indonesia bertahan bukan karena sokongan pemerintah, melainkan karena donasi masyarakat dan kedermawanan umat.
Padahal pesantren memikul amanah besar: mencetak generasi berakhlak, berilmu, dan berkontribusi bagi negeri. Namun negara justru sering hadir hanya sebagai regulator, bukan penanggung jawab.
Akibatnya, pendidikan berjalan di atas fondasi ekonomi lemah, bukan di atas kebijakan kokoh yang menjamin keselamatan dan kesejahteraan.
Dalam sistem kapitalisme, pendidikan dipandang sebagai sektor pelayanan publik yang harus bersaing dan mencari pembiayaan sendiri. Negara sekadar memberi “izin dan arahan.”
Maka, wajar bila pesantren atau sekolah swasta bergantung pada iuran, donasi, atau CSR. Di balik narasi “kemandirian lembaga pendidikan”, tersembunyi pembiaran struktural.
Islam memandang pendidikan bukan sebagai beban masyarakat, tetapi tanggung jawab negara secara langsung.
Rasulullah ï·º bersabda: “Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat, dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.”
(HR. al-Bukhari dan Muslim).
Negara dalam pandangan Islam wajib menyediakan fasilitas pendidikan dengan standar keamanan, kenyamanan, dan mutu terbaik, tanpa membedakan antara negeri dan swasta.
Pendanaannya bersumber dari Baitul Mal, bukan dari pajak rakyat yang diselewengkan atau dari utang luar negeri. Dengan sistem keuangan Islam, negara memiliki dana khusus dari pos fai’, kharaj, jizyah, dan sumber-sumber syar’i lainnya untuk menjamin pendidikan rakyatnya termasuk membangun sekolah dan pesantren yang aman serta berkualitas.
Musibah di Sidoarjo seharusnya menjadi cermin runtuhnya paradigma kapitalistik dalam mengurus urusan rakyat. Negara sibuk mengatur izin bangunan, tetapi tidak menanggung beban pembangunannya.
Negara cepat mengeluarkan imbauan pasca-tragedi, tetapi lambat memastikan sistem pendidikannya aman dan merata. Ketika pesantren berdiri di atas gotong royong rakyat miskin, itu bukan simbol kemandirian itu tanda bahwa negara absen.
Tragedi ini juga membuka mata tentang ketimpangan perhatian pemerintah terhadap lembaga pendidikan Islam. Dana triliunan digelontorkan untuk proyek digitalisasi atau infrastruktur kota, tapi pesantren-pesantren di pelosok tetap berdiri dengan dana seikhlasnya.
Akhirnya, nyawa santri menjadi taruhan.
Apakah ini harga dari sistem yang menjadikan pendidikan sebagai urusan pasar, bukan urusan akidah?
Islam mengajarkan bahwa pendidikan adalah sarana membentuk manusia yang taat dan beradab. Ia bukan komoditas. Maka, sistem Islam tidak hanya bicara soal kurikulum, tetapi juga menjamin keamanan fisik dan kesejahteraan guru serta santri. Di sinilah letak bedanya: Islam memandang pendidikan sebagai ri‘ayah (pemeliharaan), bukan bisnis.
Hari ini, di bawah reruntuhan Ponpes Al Khoziny, bukan hanya beton yang hancur—tanggung jawab negara pun ikut terkubur. Kita bisa terus mengirim doa, tapi doa tidak cukup tanpa kesadaran politik: bahwa tragedi ini lahir dari sistem yang salah mengatur urusan rakyat.
Selama kapitalisme tetap menjadi pondasi, maka runtuhnya bangunan hanyalah simbol dari runtuhnya peradaban yang menuhankan materi.
Sudah saatnya kita membangun kembali pendidikan dengan pondasi Islam—sebuah sistem yang menjamin keselamatan, kesejahteraan, dan kehormatan manusia sebagai amanah, bukan angka statistik.
Dari darah para santri yang gugur, semoga lahir kesadaran bahwa bangunan peradaban hanya bisa berdiri di atas keimanan dan keadilan, bukan di atas kebijakan tambal sulam. []
Oleh: Zahida Ar-Rosyida
(Aktivis Muslimah Banua)
0 Komentar