Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Begitulah Hidup di Dunia Fana


Topswara.com -- Tadi pagi aku dijawil teman lengkap dengan kiriman foto kenangan dua tahun yang lalu dan doa 'barakallah'.

Aku pun membalas 'wafikibarakallah'. Rasanya baru kemarin tertawa bersamanya, bercanda tanpa jeda, saling curhat tentang hidup yang katanya masih panjang. Kini, tinggal kenangan yang membeku dalam bingkai foto. Tersisa senyum yang tak bisa diulang, dan tawa yang hanya bergema di ingatan.

Lucu ya, waktu. Ia berjalan pelan tapi pasti mencuri banyak hal, yaitu rasa, kehadiran, bahkan keberanian untuk kembali. Satu demi satu, orang pergi. Satu demi satu, suasana berganti. Lalu kita duduk termenung, menatap layar penuh kenangan, sambil berbisik, “Ya Allah, cepat sekali semua berlalu.”

Begitulah hidup di dunia fana.
Kita mengira sedang menumpuk kisah, padahal sedang menumpuk perpisahan. Kita berlari mengejar bahagia, tapi lupa bahwa bahagia sejati tidak pernah tinggal di dunia. Kita sibuk menyiapkan masa depan, tanpa sadar masa kini perlahan menua.

Syaikh Ibnu ‘Attoillah as-Sakandari pernah berpesan dengan kalimat yang menggetarkan hati, “kecintaanmu kepada dunia adalah sumber segala kesalahan.”

Dan beliau juga menulis dalam Al-Hikam, “dunia ini seluruhnya kegelapan, kecuali tempat-tempat yang di dalamnya ada ketaatan kepada Allah.”

Indah sekali. Karena sesungguhnya dunia bukan tempat yang salah, tapi sering kali manusialah yang tersesat dalam mencintainya. Dunia ini ibarat bayangan, bila kau kejar, ia menjauh. Tapi bila kau berpaling menuju Allah, ia akan mengikuti dengan sendirinya.

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani pun menjelaskan, hidup manusia hanya punya satu arah, yaitu mencari ridha Allah dengan menegakkan aturan-Nya secara menyeluruh. Beliau berkata,

“Tujuan hidup manusia bukan sekadar hidup, tetapi untuk hidup dalam ketaatan.”

Kata-kata itu seperti menampar kesadaran kita yang sering terlena. Kita mengira hidup ini untuk mengumpulkan kebahagiaan, padahal seharusnya untuk mengumpulkan amal. 

Kita mengejar cinta manusia, padahal cinta sejati menunggu di sisiNya. Kita takut kehilangan dunia, tapi tidak gentar kehilangan akhirat.

Dunia, sesungguhnya, bukan tempat menetap. Ia cuma halte sebelum perjalanan panjang bernama keabadian. Di sinilah kita menyiapkan bekal, bukan membangun istana. Di sinilah kita belajar tentang kehilangan, supaya tidak kaget saat semuanya harus ditinggalkan.

Kadang, yang tersisa dari perjalanan hidup hanyalah potongan waktu, tawa di antara luka, pelukan di antara duka. Kita hanya mengingat yang tragis dan bahagia, sedangkan hari-hari biasa yang penuh sabar dan doa sering terhapus dari ingatan. Padahal justru di sanalah hidup sejati bersembunyi.

Mungkin memang begitulah cara Allah mendidik hati kita. Agar kita tahu, dunia ini bukan tujuan. Ia hanya ruang ujian. Bahwa yang paling berharga bukan seberapa lama kita hidup, tapi seberapa benar arah kita berjalan.

Allah Ta’ala berfirman, “dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.”
(QS. Adz-Dzariyat: 56)

Maka jika hari ini engkau masih diberi waktu, itu bukan sekadar tambahan umur, tapi kesempatan untuk memperbaiki tujuan. Karena hidup tanpa arah dari Allah hanyalah perjalanan panjang menuju kehampaan.

Syaikh Taqiyuddin pernah menulis, manusia yang menjadikan dunia sebagai akhir dari cita-citanya bagaikan penumpang kapal yang betah di geladak, padahal kapal itu sedang menuju pelabuhan terakhir. Cepat atau lambat, semua akan turun. Maka beruntunglah mereka yang menyiapkan bekalnya sebelum kapal bersandar.

Kini aku mengerti bahwa pertemuan dua tahun lalu itu bukan sekadar nostalgia, tapi pengingat bahwa hidup ini sementara. Bahwa setiap wajah yang dulu hadir, bisa saja tak lagi menyapa. 

Bahwa setiap tawa yang pernah pecah, bisa berganti air mata. Namun, selama hati terikat dengan Allah, tak ada yang benar-benar hilang. Semua hanya berpindah tempat dari dunia ke dalam doa.

Begitulah hidup di dunia fana, datang silih berganti, indah tapi menipu, penuh warna tetapi tak kekal. Maka jangan terlalu larut mencintainya, sebab dunia ini hanyalah titipan, bukan tujuan.

Jalani dengan iman, nikmati dengan syukur, dan akhiri dengan husnul khatimah. Karena yang paling rugi bukanlah yang kehilangan dunia, tapi yang kehilangan arah menuju ridha-Nya. []


Oleh: Nabila Zidane 
(Jurnalis)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar