Topswara.com -- Menyoroti rencana Presiden Prabowo Subianto yang akan menaikkan gaji ASN, TNI/Polri, hingga pejabat negara melalui Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2025 tentang Pemutakhiran Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2025.
Dalam aturan yang diteken pada 30 Juni 2025 itu, fokus kenaikan gaji diarahkan untuk guru, dosen, tenaga kesehatan, dan penyuluh. (Berita Satu, Senin 22 September 2025).
Dalam hal ini tentu saja mendapatkan apresiasi positif dari berbagai kalangan, khususnya para ASN yang terimbas langsung dengan kebijakan tersebut. Namun ada juga yang menilai bahwa rencana tersebut menyakiti hati para pendidik yang tergolong guru honorer. Bagaimana tidak? Status guru honorer yang disandang jutaan guru di seluruh Indonesia, tak ayal hanyalah status yang semu.
Dilihat dari sudut pandang jumlah gaji yang diterima sangat berbeda jauh dengan yang berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN). Padahal tugas mereka sebagai garda terdepan dalam mencerdaskan anak bangsa bukanlah sebuah pekerjaan yang sederhana.
Selain nasib guru honorer yang butuh perhatian khusus, juga dengan guru PPPK, walaupun statusnya sebagai pegawai pemerintah, namun banyak perbedaan dengan guru ASN.
Dimana status guru PPPK saat ini Tidak memiliki jenjang karir meskipun banyak berpendidikan tinggi (S2/S3), tidak mendapat uang pensiun, gaji minim, bahkan ada yang di bawah Rp1 juta per bulan, selain itu banyak guru PPPK terjerat utang bank atau pinjol. Sungguh miris fakta yang terjadi pada nasib guru yang berstatus PPPK dan honorer saat ini.
Akar masalah adanya kesenjangan nasib guru PPPK dan ASN adalah, bahwa saat ini negara dalam sistem Kapitalisme tidak memiliki anggaran cukup untuk menggaji guru secara layak, apalagi dengan adanya program makan bergizi gratis (MBG) yang menyedot anggaran pendidikan saat ini, semakin berkuranglah dana pendidikan untuk menyejahterakan guru.
Selain itu sumber daya alam (SDA) yang dikelola dengan prinsip Kapitalisme dikelola swasta/asing atas nama investasi, kemudian pemasukan negara hanya bergantung pada pajak dan utang yang justru memberatkan rakyat.
Sehingga guru PPPK didiskriminasi dan dizalimi negara, karena mereka dipandang sekadar faktor produksi, bukan pendidik mulia generasi.
Hanya Dalam Islam Guru Bisa Sejahtera
Sejarah mencatat bahwa kesejahteraan guru sangat diperhatikan oleh Khalifah. Sebut saja pada masa Khalifah Umar bin Khattab ra, gaji guru untuk mengajar anak-anak di Madinah ditetapkan sebesar 15 dinar per bulan.
Sesuai dengan riwayat Al-Wadhi bin Atha, yang jika dirupiahkan berdasarkan nilai emas pada masa itu bisa mencapai angka yang sangat fantastis, yaitu sebesar Rp 33.870.000; (fkip.uad.acid.id) dan ini merupakan bentuk penghargaan negara terhadap jasa para pendidik agar mereka dapat fokus mengajar tanpa khawatir memenuhi kebutuhan hidup.
Di dalam Negara Khilafah mekanisme keuangan negara dikelola oleh Baitul Maal. Dimana sumber pendapatan Baitul Maal diambil dari beberapa pos, yaitu: zakat, jizyah (pajak per kapita non-Muslim), kharaj (pajak tanah), usyur (bea cukai), ghanimah dan fa'i (harta rampasan perang), rikaz (harta terpendam), wakaf, sedekah, harta warisan, dan pinjaman.
Pembiayaan pendidikan, khususnya gaji guru, diambil dari pos kepemilikan negara.
Gaji ditentukan berdasarkan nilai jasa yang diberikan, bukan status ASN/PPPK. Semua guru masuk kategori pegawai negara.
Pendidikan, kesehatan, dan keamanan disediakan gratis oleh negara dengan kualitas terbaik. Jadi hanya dalam Sistem Islamlah kesejahteraan guru menjadi sebuah keniscayaan.
Wallahu'alam.
Oleh: Haryani, S.Pd.I.
Pendidik di Kota Bogor
0 Komentar