Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Saatnya Santri Kembali Jadi Penggerak Islam


Topswara.com -- “Mengawal Indonesia Merdeka Menuju Peradaban Dunia” begitulah tema besar Hari Santri 2025 yang digagas pemerintah. Sekilas, tema ini terasa penuh semangat dan inspirasi, seolah santri diberi mandat untuk menapaki jejak sejarah gemilang peradaban Islam masa lalu. 

Namun, dalam kacamata syariat Islam, kita perlu mengkaji ulang arah dan makna sebenarnya dari narasi tersebut: apakah benar menuju The Golden Age of Islamic Civilization, atau justru terjebak dalam romantisme sejarah tanpa arah ideologis yang jelas?

Dari Pesantren Menuju Zaman Keemasan?

Menteri Agama RI, KH. Nasaruddin Umar, menyampaikan bahwa Musabaqah Qiraatil Kutub (MQK) Nasional dan Internasional dapat menjadi anak tangga pertama menuju kembalinya The Golden Age of Islamic Civilization, dan langkah awalnya dimulai dari pesantren sebagai benteng moral bangsa. 

Gagasan ini tentu menggugah, sebab pesantren memang memiliki sejarah panjang dalam mencetak ulama, pemikir, dan pejuang Islam yang berperan besar dalam membangun negeri ini.

Menag juga menekankan pentingnya integrasi antara Iqra’ (kitab putih/ilmu umum) dan Bismirabbik (kitab kuning/ilmu agama) sebagai kunci lahirnya insan kamil manusia paripurna yang mampu menggabungkan spiritualitas dan intelektualitas. Pandangan ini selaras dengan pesan wahyu pertama:

“Iqra’ bismi rabbika alladzi khalaq.”
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan.” (QS. Al-‘Alaq: 1).

Ayat ini menegaskan bahwa aktivitas intelektual (iqra’) tidak boleh lepas dari orientasi ketuhanan (bismi rabbik). Namun, apakah integrasi ini benar-benar diwujudkan dengan fondasi Islam yang utuh, atau sekadar jargon tanpa ruh ideologis?

Sekulerisasi Halus di Dunia Pesantren?

Kita tidak bisa menutup mata bahwa dalam beberapa tahun terakhir, ada upaya menggeser arah pesantren dari fungsi utamanya sebagai pencetak ulama dan pemimpin peradaban Islam, menuju peran-peran sekuler seperti “duta budaya”, “agen ekonomi kreatif”, atau “pejuang moderasi beragama”. 

Narasi ini terlihat indah di permukaan, tapi sejatinya menjauhkan pesantren dari akar ideologisnya.Padahal, Rasulullah ï·º telah bersabda: “Ulama adalah pewaris para nabi.” (HR. Tirmidzi).

Artinya, posisi santri dan kiai bukan sekadar penggerak sosial, tapi penjaga risalah Islam yang wajib menyebarkan dakwah dan menegakkan hukum Allah di tengah masyarakat. 

Ketika peran ini digeser menjadi sekadar agen sosial atau duta perdamaian versi sekulerisme, maka pesantren kehilangan ruh perjuangannya.

Lebih berbahaya lagi, istilah “Islam moderat” sering dijadikan alat politik untuk melemahkan Islam ideologis. Padahal Islam sejati tidak mengenal istilah “moderat” dalam arti menyesuaikan dengan selera Barat. Islam adalah agama wasathiyah tapi dalam makna yang murni Qur’ani, bukan politis.

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu umat yang wasath (adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi atas manusia.” (QS. Al-Baqarah: 143).

Wasathiyah yang dimaksud bukan kompromi terhadap sekulerisme, melainkan keseimbangan dalam menjalankan syariat secara kaffah.

Menggali Kembali Blueprint Peradaban Islam

Untuk benar-benar menghidupkan kembali Zaman Keemasan Peradaban Islam, kita tidak cukup dengan lomba MQK, jargon “santri go global”, atau integrasi simbolik antara kitab kuning dan kitab putih. Kita perlu membangun kesadaran ideologis tentang bagaimana Islam membentuk peradaban secara menyeluruh.

Peradaban Islam tidak dibangun hanya oleh keilmuan, tetapi oleh sistem yang menegakkan nilai-nilai Islam dalam seluruh aspek kehidupan dari pendidikan, ekonomi, sosial, hingga politik dan pemerintahan. 

Rasulullah ï·º membangun Madinah bukan hanya sebagai pusat ibadah, tetapi juga pusat pemerintahan yang berlandaskan wahyu.

Asas peradaban Islam adalah akidah Islam, yang menjadi tolok ukur amal (miqyasul amal) dan sumber kebahagiaan sejati. Dalam Islam, kebahagiaan tidak diukur dari kemajuan teknologi atau kekuatan ekonomi semata, tetapi dari ketaatan total kepada Allah dan keberlakuan hukum-Nya di muka bumi.

“Barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit.” (QS. Thaha: 124)

Artinya, tanpa penerapan syariat secara menyeluruh, semua narasi “peradaban” hanyalah topeng dari kehampaan spiritual dan kerusakan moral.

Pesantren dan Dakwah Politik Islam

Pesantren memang berperan besar sebagai benteng moral bangsa, tapi untuk mewujudkan peradaban Islam sejati, pesantren tidak bisa berdiri sendiri. 

Diperlukan perjuangan kolektif dalam dakwah politik Islam, yaitu aktivitas menegakkan Islam sebagai sistem kehidupan bukan sekadar agama ritual.
Santri harus memahami bahwa membangun peradaban Islam berarti menegakkan sistem pemerintahan Islam (khilafah) yang menerapkan syariat secara kaffah. 

Inilah sistem yang dulu melahirkan peradaban besar dari Andalusia hingga Baghdad. Dalam sejarah, kemajuan ilmu, budaya, dan teknologi Islam bukanlah hasil kompromi dengan sekulerisme, tetapi buah dari penerapan hukum Allah dalam seluruh sendi kehidupan.

“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang telah diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.”
(QS. Al-Maidah: 49).

Ayat ini menjadi bukti bahwa peradaban Islam tidak bisa lahir dari sistem buatan manusia, melainkan hanya dari penerapan hukum Allah secara sempurna.

Reboot Peradaban, Dimulai dari Kesadaran Ideologis

Jika pesantren ingin menjadi motor kebangkitan Islam, maka langkah pertama bukan sekadar memperbanyak kompetisi ilmiah atau pelatihan ekonomi. Yang utama adalah mengembalikan arah ideologis pesantren, agar santri tidak kehilangan orientasi perjuangan. Santri harus dididik untuk berpikir politik dalam bingkai Islam, bukan dalam paradigma sekuler.

Lima unsur sejati pesantren masjid, kiai, santri, kitab turats, dan habit keilmuan  harus dijaga. Namun, itu semua harus diarahkan pada satu tujuan besar: tegaknya kembali peradaban Islam dalam naungan khilafah, bukan peradaban global versi kapitalisme.

Khatimah 

Menghidupkan kembali The Golden Age of Islamic Civilization bukan utopia. Indonesia dengan kekuatan pesantrennya bisa menjadi pionir kebangkitan Islam dunia. Tapi itu hanya akan terjadi jika pesantren berani “reboot” perannya  kembali ke akar perjuangan Rasulullah ï·º dan para ulama terdahulu.

Peradaban Islam sejati bukan lahir dari sekulerisme yang diselimuti narasi moderasi, melainkan dari keberanian menegakkan syariat secara kaffah.

“Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal saleh, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa.” (QS. An-Nur: 55).

Dan janji Allah ini hanya akan terwujud ketika umat Islam termasuk santri dan pesantren — kembali menjadikan Islam sebagai ideologi hidup, bukan sekadar identitas kultural.


Oleh: Ema Darmawaty 
Praktisi Pendidikan 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar