Topswara.com -- Siang itu aku sedang santai di rumah, menonton live Instagram dari akun sekolah Safa yang sedang mengikuti acara Supercamp. Layar HP memperlihatkan suasana ceria di bumi perkemahan.
Lampu temaram, tenda berjajar, dan wajah-wajah anak-anak yang penuh tawa. Di antara semua momen yang muncul di layar, perhatianku tertarik pada satu permainan lucu, “pesan berantai lewat gerakan.”
Satu anak berdiri paling belakang, menerima pesan rahasia dari kak fasilitator, lalu menyampaikannya hanya dengan gesture. Peserta kedua berusaha meniru, lalu menyampaikan lagi ke peserta ketiga, dan begitu seterusnya.
Aku yang menonton dari layar HP sampai ikut tertawa karena hasil akhirnya benar-benar melenceng jauh dari pesan awalnya.
Pesan awal, “memakai sabuk dan memakai kacamata.” Pesan terakhir yang sampai di ujung kelompok, “perut lapar, mata mencari makanan”
Anak-anak tertawa terbahak-bahak. Kak fasilitator pun ikut ngakak sambil menepuk tangan. Aku yang nonton dari rumah juga enggak kalah heboh. Tetapi di balik tawa itu, ada sesuatu yang mengetuk hatiku, “MasyaAllah, permainan ini bukan cuma lucu, tapi juga penuh makna.”
Dari Tawa Jadi Renungan
Permainan sederhana itu seolah jadi cermin kehidupan kita. Satu pesan disampaikan, diteruskan ke orang lain, lalu berubah sedikit demi sedikit, sampai akhirnya bentuknya sama sekali berbeda dari aslinya dan itulah yang sering terjadi di dunia nyata.
Berita di medsos, kabar dari teman, gosip di grup WhatsApp, semuanya bisa seperti “pesan berantai” yang tak lagi jelas sumbernya. Di awal mungkin cuma informasi ringan, tetapi setelah berpindah dari satu mulut ke mulut lain, maknanya bisa bergeser, bahkan berubah menjadi fitnah.
Allah Ta’ala sudah memperingatkan hal ini dengan sangat jelas dalam Al-Qur’an, “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti (fatabayyanu), agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu” (QS. Al-Hujurat: 6).
Ayat ini seperti menegur kita semua, “jangan jadi penerus pesan tanpa tabayun.” Sebab kadang, dosa besar itu tidak lahir dari niat jahat, tapi dari ketergesaan menyebarkan kabar yang belum pasti.
Rasulullah SAW pun bersabda, “Cukuplah seseorang dianggap berdusta jika ia menceritakan semua yang didengarnya” (HR. Muslim).
Aku tertegun. Karena permainan lucu itu tiba-tiba terasa seperti pengingat keras. Lucu kalau konteksnya permainan, tapi berbahaya kalau itu terjadi di kehidupan nyata.
Setiap Lisan dan Perbuatan Ada Hisabnya
Sambil terus menonton live, aku merenung. Betapa mudahnya manusia sekarang menyebarkan sesuatu tanpa pikir panjang. Apalagi di era jempol cepat dari akal. Tetapi bagi seorang pengemban dakwah, hal semacam itu tidak bisa dianggap sepele. Setiap lisan ada hisabnya. Setiap tulisan akan ditanya pertanggungjawabannya.
Bagi orang awam, mungkin salah menyampaikan informasi bisa dimaafkan karena ketidaktahuan. Tapi bagi seorang penyeru kebenaran, bagi yang sudah paham dalil dan mengerti bahayanya fitnah, maka dosanya jauh lebih berat.
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani pernah menegaskan, “seorang da’i adalah penjaga kemurnian ide Islam. Ia tidak boleh menyampaikan sesuatu tanpa ilmu, karena lisannya menjadi saksi bagi Islam itu sendiri.”
Bayangkan jika seorang pengemban dakwah menyebarkan kabar keliru tanpa tabayun. Bukan hanya dirinya yang salah, tapi umat yang mempercayainya pun ikut tersesat.
Itulah kenapa Rasulullah SAW menegaskan, “barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam” (HR. Bukhari dan Muslim).
Kalimat “diam” dalam hadis itu bukan tanda lemah, tapi tanda bijak. Karena diam lebih selamat daripada menyebarkan sesuatu yang belum jelas.
Saat live IG itu berlanjut, anak-anak dan Safa tampak masih tertawa, tapi aku justru merasa Allah sedang mengajarkan sesuatu lewat mereka. Bahwa adab menyampaikan informasi itu harus ditanamkan sejak dini. Bahwa tabayun bukan sekadar konsep, tetapi latihan iman yang dimulai dari hal ringan seperti permainan.
Karena kalau di dunia anak-anak saja pesan bisa berubah dan bikin tawa, maka di dunia orang dewasa, pesan yang berubah bisa menimbulkan luka dan dosa.
Bayangkan, seandainya semua orang belajar tabayun sejak kecil, tidak mudah percaya berita, tidak gampang menyimpulkan, tidak asal menyebar, maka betapa damainya masyarakat. Tidak ada lagi fitnah yang lahir dari salah paham. Tidak ada lagi nama baik yang hancur hanya karena gosip.
Refleksi untuk Umat dan Pengemban Dakwah
Dari layar kecil HP, aku belajar hal besar bahwa Islam mengajarkan kehati-hatian bukan hanya dalam ibadah, tapi juga dalam berbicara dan menyebarkan kabar.
Bahkan dalam dunia dakwah, lisan seorang da’i adalah pedang bermata dua. Ia bisa menyelamatkan umat atau justru menjerumuskan mereka bila salah arah.
Karenanya, tabayun adalah adab yang wajib, bukan opsional. Ia bukan sekadar etika, tapi perintah iman.
Maka berhati-hatilah, jangan jadi penerus pesan yang salah. Permainan pesan berantai itu memang berakhir dengan tawa. Tetapi kehidupan tidak sesederhana itu. Karena di dunia nyata, pesan yang salah bisa berujung fitnah, luka, bahkan hisab yang berat di hadapan Allah Ta'ala.
Maka, sebelum jari mengetik dan lisan berbicara, tanyakan dulu,
“Apakah ini benar?”
“Apakah ini bermanfaat?”
“Apakah aku siap mempertanggungjawabkan ini di hadapan Allah?”
Sebab di dunia, pesan boleh berubah dan jadi lucu. Tetapi di akhirat, tak ada yang lucu dari dosa lisan yang tak ditabayun.
Semoga Allah menjaga lisan, tulisan, dan jari kita dari kesalahan dan semoga dari Supercamp hari itu, bukan hanya tawa yang tertinggal, tapi juga hikmah besar tentang pentingnya tabayun bagi siapa pun terutama bagi kita yang sudah tahu ilmunya.[]
Oleh: Nabila Zidane
(Jurnalis)
0 Komentar