Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Menjaga Ideologi, Menegakkan Kedaulatan Akidah


Topswara.com -- Setiap bangsa berbicara tentang ideologi. Tapi tidak semua memahami dari mana ideologi itu lahir, dan kepada siapa ia harus tunduk. Ada bangsa yang mengagungkan akalnya sendiri, menuhankan kehendak mayoritas, dan menyebutnya demokrasi. 

Ada pula yang menjadikan ideologi sebatas warisan simbolik, dirawat lewat upacara tahunan tanpa ruh yang menghidupinya.

Namun bagi umat Islam, ideologi bukan sekadar sistem politik atau filsafat sosial. Ia adalah mabda’, pandangan hidup yang bersumber dari akidah Islam keyakinan bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta, Pengatur, dan Pemilik hukum atas manusia. Dari akidah itulah lahir sistem kehidupan yang menyeluruh: politik, ekonomi, sosial, hingga budaya.

Belakangan ini, Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan menegaskan komitmennya untuk menjaga ideologi negara melalui peringatan Hari Kesaktian Pancasila 2025 yang digelar dengan khidmat di Banjarbaru. 

Upacara ini dihadiri oleh jajaran pemerintah daerah, yang menegaskan pentingnya memperkuat nilai-nilai Pancasila di tengah derasnya arus globalisasi dan ancaman disintegrasi (Diskominfomc Kalsel, 1/10/2025).

Di Banjarbaru, pejabat daerah bahkan mengajak generasi muda untuk memperkuat nilai-nilai luhur bangsa dan mewaspadai tantangan global (Mediacenter Banjarbaru, 2025).

Di atas kertas, semua ini tampak mulia. Namun, di balik kesungguhan itu kita layak bertanya: apakah ideologi yang dijaga benar-benar menjadi pedoman hidup, atau hanya tameng politik di tengah kabut demokrasi?

Islam: Ideologi dari Wahyu, Bukan dari Musyawarah

Dalam pandangan Islam, ideologi bukan hasil konsensus manusia. Ia tidak lahir dari perdebatan filsafat, tapi dari wahyu. Ia bukan sekadar pemikiran politik, tetapi pandangan hidup menyeluruh yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, dengan sesamanya, dan dengan alam.

“Katakanlah: Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.”
(QS. Al-An‘am: 162).

Ayat ini menggambarkan mabda’ Islam sebagai pandangan hidup total, yang mengatur seluruh aspek kehidupan bukan hanya ritual, tapi juga politik, sosial, dan ekonomi.

Karena itu, menjaga ideologi dalam Islam berarti menjaga kemurnian akidah dan penerapan syariat dalam seluruh aspek kehidupan. Negara, masyarakat, dan individu sama-sama bertanggung jawab agar hukum Allah tetap menjadi standar benar-salah, adil-zalim, halal-haram.

Kedaulatan dalam Islam bukan pada rakyat, melainkan pada syara’. Hukum tidak ditentukan oleh mayoritas, tapi oleh wahyu. Nilai tertinggi bukan keuntungan, tapi ridha Allah.

Ketika Ideologi Jadi Jargon

Sayangnya, dalam sistem sekuler hari ini, ideologi sering kehilangan makna. “Menjaga ideologi” diartikan sebagai menjaga stabilitas politik, bukan arah hidup bangsa. Ideologi dijaga lewat seremoni, tapi ditinggalkan dalam kebijakan. Nilai-nilai luhur diserukan, tetapi hukum yang diterapkan tetap buatan manusia.

Maka wajar bila bangsa ini tampak berjalan, tapi kehilangan arah. Kita bangga dengan kemerdekaan formal, namun terikat oleh hegemoni ideologis Barat. Kita bicara moralitas, tetapi sistemnya tetap liberal. Kita mengaku religius, tetapi hukum Allah ditinggalkan di pinggir kebijakan.

Menegakkan Kedaulatan Akidah

Khilafah Islam di masa lalu memahami bahwa menjaga ideologi berarti menegakkan kedaulatan akidah. Khalifah bukan sekadar pemimpin administratif, melainkan penjaga akidah umat. Ia memastikan bahwa pendidikan, hukum, dan kebijakan publik berporos pada syariat, bukan hawa nafsu manusia.

Inilah yang melahirkan peradaban Islam yang adil dan berkeadaban, karena berpijak pada wahyu, bukan kompromi. Sementara sistem hari ini hanya mempertahankan simbol, tapi melupakan sumber. Menjaga negara, tapi tidak menjaga arah hidup.

Padahal, ideologi sejati hanya akan hidup bila ditegakkan di atas landasan akidah yang benar. Tanpa itu, ideologi hanyalah slogan, bukan sistem. Hanya ingatan, bukan keyakinan.

Menjaga ideologi sejati berarti menegakkan kedaulatan akidah. Menempatkan Allah sebagai sumber hukum dan arah hidup. Itulah makna tertinggi dari kemerdekaan manusia tunduk hanya kepada Sang Pencipta, bukan kepada sesama ciptaan.

Selama hukum Allah belum menjadi dasar sistem kehidupan, umat Islam baru menjaga negara tetapi belum menegakkan ideologi yang hakiki.

Dan di sanalah letak kehilangan terbesar umat ini: kita sibuk menjaga ideologi, tapi lupa kepada Sang Pencipta ideologi sejati.

Allah mengingatkan dan menegaskan dalam firman-Nya: “Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? Dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al-Ma’idah: 50).

Wallahu'alam.


Oleh: Zahida Ar-Rosyida 
(Aktivis Muslimah Banua) 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar