Topswara.com -- Ketika Menteri Pertahanan sekaligus Presiden terpilih, Prabowo Subianto, menyampaikan pidato terkait penyerahan aset Barang Rampasan Negara (BRN) dari enam smelter ilegal kepada PT Timah Tbk, publik sontak terkejut.
Angka yang disebutkannya fantastis—kerugian negara mencapai Rp300 triliun! Bayangkan, 300 triliun melayang hanya karena tambang ilegal yang selama ini dibiarkan beroperasi.
Ini bukan fenomena baru. Berdasarkan data dari berbagai lembaga, jumlah tambang bermasalah dan ilegal di Indonesia mencapai ribuan titik. Parahnya lagi, baru-baru ini pemerintah justru membuka peluang bagi koperasi dan UMKM untuk mengelola tambang, dengan alasan membuka lapangan kerja dan meningkatkan ekonomi daerah.
Kedengarannya indah, tetapi jika ditelusuri lebih dalam, kebijakan ini justru menyimpan bom waktu yang bisa menambah kerusakan dan kerugian negara.
Salah Kelola Tambang Negara Rugi, Rakyat Gigit Jari
Indonesia sejatinya kaya luar biasa. Dari tambang emas, batu bara, nikel, hingga minyak bumi semuanya berlimpah. Tetapi kekayaan itu tak berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyat. Yang muncul justru paradoks: sumber daya alam melimpah, tetapi kemiskinan masih merajalela.
Banyak tambang besar dikelola swasta bahkan asing, dengan kontrak-kontrak yang seringkali tidak transparan dan merugikan negara. Tambang-tambang kecil pun dikuasai oleh mafia lokal, yang bermain mata dengan pejabat.
Ketika negara seharusnya menjadi pengatur utama, justru “lepas tangan”. Akibatnya, tambang jadi sumber korupsi, kerusakan lingkungan, dan konflik sosial.
Kebijakan memberi izin kepada koperasi dan UMKM untuk mengelola tambang pun tampak populis, tetapi sejatinya problematik.
Mengelola tambang bukan perkara sederhana. Dibutuhkan teknologi tinggi, standar keselamatan, dan pengawasan lingkungan yang ketat. Realitanya, banyak koperasi atau UMKM tak punya kemampuan teknis dan finansial untuk itu.
Akibatnya, mereka berpotensi menggandeng pihak ketiga biasanya korporasi besar yang akhirnya justru kembali menguasai sumber daya alam dengan cara berlapis.
Kapitalisme Sekuler Akar Masalah
Kesalahan mendasar dalam tata kelola tambang kita bersumber dari ideologi yang melandasinya: kapitalisme sekuler. Dalam sistem ini, negara hanya berperan sebagai “regulator” dan bukan pengurus rakyat. Aset publik seperti tambang, hutan, dan laut diperlakukan sebagai komoditas ekonomi yang bisa dikuasai oleh individu atau korporasi.
Prinsip kapitalisme adalah “siapa punya modal, dia berkuasa”. Akibatnya, tambang yang seharusnya menjadi milik rakyat malah dikuasai segelintir elit. Negara sibuk memburu pajak, bukan mengelola kekayaan alamnya. Padahal, dampak lingkungannya banjir, longsor, pencemaran udara ditanggung oleh masyarakat kecil.
Inilah buah pahit dari sistem sekuler: pemisahan agama dari kehidupan, termasuk ekonomi dan politik. Ketika hukum Allah disingkirkan, maka hukum pasarlah yang berkuasa.
Islam: Ideologi Solutif untuk Tata Kelola Tambang
Islam memandang tambang sebagai bagian dari “milkiyah ‘ammah” (kepemilikan umum), bukan milik individu atau korporasi. Rasulullah ï·º bersabda:
“Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.”
(HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Para ulama menjelaskan bahwa “api” dalam hadis ini mencakup seluruh sumber energi dan tambang, seperti minyak, batu bara, gas, dan nikel. Artinya, tambang adalah milik bersama umat, dan negara wajib mengelolanya untuk kepentingan rakyat, bukan menyerahkannya pada swasta.
Imam Abu Ubaid dalam Kitab al-Amwal menegaskan, jika sumber daya alam jumlahnya besar dan dibutuhkan oleh banyak orang, maka tidak boleh dimiliki individu. Negara mengelolanya dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk pelayanan publik, kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan sosial.
Dengan sistem Islam, tambang besar dikelola langsung oleh negara. Adapun tambang kecil yang skalanya terbatas, boleh dikelola oleh rakyat, tapi tetap di bawah tanggung jawab dan pengawasan negara. Dengan demikian, tidak ada ruang bagi korporasi asing atau swasta rakus untuk mengeruk keuntungan tanpa batas.
Negara dalam Islam: Pengurus, Bukan Penonton
Dalam Islam, negara bukan sekadar regulator, tetapi ra’in (pengurus rakyat). Rasulullah ï·º bersabda:
“Imam (khalifah) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Artinya, negara wajib memastikan seluruh pengelolaan tambang memberi manfaat nyata bagi rakyat, bukan segelintir elit. Hasil tambang bisa digunakan untuk membiayai pendidikan gratis, kesehatan gratis, pembangunan infrastruktur, dan pengentasan kemiskinan tanpa perlu bergantung pada utang luar negeri.
Sistem politik dan ekonomi Islam menjamin hal itu berjalan, karena seluruh kebijakan bersumber dari hukum Allah, bukan kepentingan korporasi. Negara juga wajib menjaga keseimbangan alam, memastikan tidak ada eksploitasi berlebihan yang merusak lingkungan. Dalam Islam, menjaga bumi adalah bagian dari amanah kekhalifahan manusia di muka bumi (QS. Al-Baqarah [2]: 30).
Saatnya Beralih ke Sistem Islam
Kerugian negara hingga Rp300 triliun akibat tambang ilegal hanyalah satu bukti nyata bahwa sistem kapitalisme gagal total dalam mengelola kekayaan alam.
Negara dirugikan, rakyat menderita, alam rusak.
Kita butuh paradigma baru, bukan tambalan kebijakan lama. Islam menawarkan sistem yang paripurna, bukan hanya dalam aspek ibadah, tetapi juga ekonomi, politik, dan pengelolaan sumber daya alam.
Dalam sistem khilafah Islamiah, tambang menjadi milik umat yang dikelola negara demi kemaslahatan bersama. Tidak ada monopoli, tidak ada swastanisasi, tidak ada kapitalisasi atas milik rakyat.
Kesejahteraan bukan hanya cita-cita, tetapi realita. Semua itu bisa terwujud ketika ideologi Islam ditegakkan sebagai landasan pengaturan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Khatimah
Rp300 triliun bukan angka kecil. Tetapi lebih besar dari itu adalah kerugian moral dan sistemik akibat kita membiarkan hukum Allah diganti dengan hukum manusia.
Selama kapitalisme sekuler tetap menjadi sistem, tambang akan terus bocor, dan rakyat hanya dapat debu. Maka, mari berani berpikir solutif: kembalikan pengelolaan tambang sesuai syariat Islam, untuk kemakmuran seluruh umat.
Wallahu a'lam bishshawab.
Oleh: Ema Darmawaty
Praktisi Pendidikan
0 Komentar