Topswara.com -- Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW Muslimat NU Kal-Sel berlangsung khidmat dan penuh kebersamaan dengan kehadiran langsung Ketua Umum PP Muslimat NU, Hj. Khofifah Indar Parawansa.
Pernyataan Khofifah dalam kunjungannya ini kembali memantik diskusi tentang posisi perempuan dalam kepemimpinan. Ia menegaskan bahwa perempuan harus berani memimpin dan membuktikan kapasitas (newsway.co.id, 19/09/2025).
Kesetaraan Gender yang Semu
Pernyataan ini tidak bisa dilepaskan dari konteks semakin menonjolnya kiprah perempuan di ranah publik. Di Indonesia, banyak perempuan menduduki posisi strategis: gubernur, wali kota, bupati, anggota legislatif, hingga pimpinan lembaga publik dan swasta.
Fakta ini sering dijadikan argumen bahwa perempuan memiliki kapasitas sama dengan laki-laki dalam memimpin, bahkan bisa bersaing di ranah politik maupun birokrasi.
Namun, apakah kepemimpinan perempuan semata soal membuktikan kapasitas? Sistem demokrasi-sekuler memang membuka jalan bagi perempuan untuk tampil sebagai pemimpin publik. Akan tetapi, sistem yang sama gagal menyediakan ruang yang sehat, adil, dan terlindungi.
Banyak perempuan akhirnya hanya dijadikan simbol politik, alat legitimasi partai, atau ikon elektoral. Sementara itu, problem nyata seperti kekerasan terhadap perempuan, diskriminasi upah, beban ganda dalam rumah tangga, serta eksploitasi tenaga kerja perempuan tetap tak terselesaikan.
Kepemimpinan dalam Pandangan Islam
Islam memandang perempuan dengan perspektif yang utuh dan mulia. Islam tidak pernah meragukan kapasitas perempuan. Mereka adalah makhluk mulia yang berdaya, dan memiliki peran penting dalam membangun peradaban.
Namun kepemimpinan dalam Islam bukanlah sekadar soal hak atau klaim kesetaraan, melainkan amanah syariah. Rasulullah SAW bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya” (HR. Bukhari Muslim).
Hadis ini menegaskan bahwa kepemimpinan adalah tanggung jawab, bukan privilege. Suami memimpin rumah tangganya, istri memimpin anak-anaknya, seorang pemimpin negara mengurus rakyatnya.
Kemuliaan bukan ditentukan oleh posisi, melainkan oleh takwa. Sebagaimana firman Allah SWT, “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa” (QS. Al-Hujurat [49]: 13).
Karenanya, Islam membedakan jenis kepemimpinan. Untuk kepemimpinan rumah tangga, perempuan justru diberi mandat besar. Ia bertanggung jawab mengasuh, mendidik, dan melahirkan generasi saleh yang kelak menjadi pemimpin umat.
Di ranah publik, perempuan tidak dilarang menjadi guru, dosen, dokter, ilmuwan, pengusaha, bahkan aktivis politik seperti mengoreksi dan memberikan masukan pada penguasa. Melakukan aktivitas menyeru pada kebaikan dan mencegah kemungkaran di tengah masyarakat.
Teladan Muslimah dalam Sejarah
Sejarah mencatat banyak perempuan agung yang berperan besar tanpa harus duduk di kursi kekuasaan. Aisyah r.a. menjadi ulama rujukan dalam hadis dan fiqih. Nusaibah binti Ka’ab) terkenal sebagai sosok pemberani yang melindungi Rasulullah SAW di Perang Uhud.
Syafiyyah binti Abdul Muthalib berperan memberi semangat jihad dan bahkan turun menghadapi musuh. Semua ini membuktikan bahwa Islam tidak pernah membatasi perempuan untuk berkontribusi di ruang publik hanya saja perannya ditata sesuai syariat.
Larangan pada Kepemimpinan Politik
Namun ketika terkait dengan wewenang penentuan kebijakan publik secara langsung seperti kepala negara, gubernur wilayah, atau pejabat yang memegang otoritas politik menyeluruh—Islam memberikan batasan.
Rasulullah SAW bersabda, “tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan” (HR. Bukhari).
Dalil ini ditambah ayat tentang kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga (QS An-Nisa: 34) serta ijmak sahabat, menjadi dasar hukum bahwa jabatan khalifah (kepala negara), wali, maupun ami dan kekuasaan yang langsung terkait dengan pengambilan kebijakan, tidak boleh dipegang perempuan.
Lantas, apakah larangan ini berarti Islam merendahkan perempuan? Sama sekali tidak. Justru Islam memuliakan perempuan dengan menjaga fitrah, mengangkat perannya dalam keluarga dan masyarakat, serta membebaskan mereka dari beban yang tidak seharusnya dipikul.
Khilafah sebagai sistem pemerintahan Islam, memberikan jaminan agar perempuan bisa berperan maksimal. Negara menanggung kebutuhan pokok rakyat, menyediakan pendidikan dan kesehatan gratis, serta melindungi kehormatan perempuan dengan hukum syariah.
Dengan itu, perempuan bisa mengoptimalkan kapasitasnya, baik sebagai ibu generasi maupun kontributor publik, tanpa terbebani tuntutan ekonomi maupun permainan politik.
Perempuan boleh berani tampil dan membuktikan kapasitasnya. Tetapi keberanian itu harus berpijak pada syariat, bukan pada kesetaraan semu yang menjadikan perempuan sebagai alat politik.
Tanpa penerapan Islam kaffah, perempuan akan terus terjebak dalam lingkaran eksploitasi yang dibungkus cantik dalam racun keseteraan gender. Saatnya perempuan kembali pada tatanan negara yang memposisikan dirinya sebagai ibu generasi terbaik dan patner para laki-laki yang akan membangun peradaban mulia dalam bingkai syariah kaffah. []
Oleh: Zahida Ar-Rosyida
(Aktivis Muslimah Banua)
0 Komentar