Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Job Hugging: Antara Impian dan Kenyataan


Topswara.com -- Malam ini aku ditemani suami ke tempat cuci kering self-service. Lagi nungguin mesin muter, aku enggak sengaja denger obrolan suami sama pegawainya. Anak muda, 22 tahun, udah kerja di sana 2 tahun. Katanya, 

“Ya gimana pak, suka enggak suka ya dijalanin aja. Daripada nganggur. Sambil nyari-nyari kerjaan sesuai bidang, IT komputer.”

Aku senyum-senyum sendiri. Kayaknya obrolan itu mewakili isi hati jutaan anak muda zaman sekarang. Yang harusnya bisa “job hopping” alias lompat-lompat kerja demi pengalaman, eh sekarang malah jadi “job hugging.” Alias mendekap erat pekerjaan yang ada, meski hatinya nelangsa. Bukan karena mereka cinta mati sama kerjaannya, tetapi karena realitas bilang, “lebih baik bertahan daripada nganggur.”

Dari Job Hopping ke Job Hugging

Dulu tuh anak muda bangga kalau bisa pindah kerjaan. Katanya demi “pengembangan diri” sekarang? Lihat berita PHK rame-rame, antrean panjang job fair, plus gosip inflasi makin menggila, langsung bikin ciut nyali.

Di Amerika aja, tingkat resign tahun 2025 cuma 2 persen, terendah dalam sepuluh tahun terakhir. Bayangin, negeri penganut kapitalisme kelas kakap aja para pekerjanya nempel kayak perangko ke kerjaannya.

Di Indonesia? Sama aja. Banyak yang job hugging bukan karena nyaman, tetapi karena enggak ada pilihan. Bertahan, meski hati teriak, “aku enggak cocok di sini!”

Kenapa Job Hugging Jadi Tren?

Pertama, daripada nganggur. Serius deh, nganggur di rumah itu lebih horor daripada ketemu tetangga resek.

Kedua, cari aman. Gaji bulanan walau pas-pasan tetap lebih melegakan daripada gambling kerja baru.

Ketiga, realita lapangan kerja terbatas. Job fair penuh kayak konser K-pop, tapi lowongan yang sesuai minat cuma seupil.

Keempat, robot, AI, dan otomasi. Banyak kerjaan manusia diganti mesin. Anak muda yang kuliah IT aja bisa nyangkut di laundry.

Kapitalisme Biang Keroknya

Fenomena job hugging ini cuma efek domino dari rusaknya sistem kapitalisme. Kapitalisme itu jago banget bikin masalah lalu pura-pura kasih solusi, padahal tambah runyam.

Pekerja dianggap mesin. Kalau bisnis seret, tinggal PHK. Kalau untung, tenaga diperas lebih banyak. Ditambah negara cuek. Pekerjaan diserahkan ke mekanisme pasar. Kalau nggak laku, ya salah sendiri. Upah minim. Diatur sekadar cukup bertahan hidup. Pendapatan naik? Pengeluaran juga naik, jadi ya gitu-gitu aja.

Yang kaya makin kaya, yang miskin makin nelangsa. Makanya anak muda kita jadi generasi “peluk kerjaan erat-erat.” Padahal jelas, mereka punya potensi besar.

Islam Punya Solusi, Bro

Nah, kalau kita ngulik sejarah Islam, ternyata negara tuh enggak boleh cuek bebek soal urusan rakyat. Rasulullah SAW bersabda, “imam itu adalah pemimpin dan dia diminta pertanggungjawaban atas orang yang ia pimpin” (HR. Bukhari dan Muslim).

Artinya, negara dalam Islam wajib ngurusin rakyat sampai ke detail urusan pekerjaan. Bahkan, kalau ada orang lemah yang enggak bisa kerja, negara yang tanggung. Bukan dibiarkan cari aman dengan kerjaan yang enggak sesuai passion.

Dalam sistem khilafah itu, pertama, SDA dikelola negara. Tambang, minyak, energi dikelola buat rakyat, bukan buat konglomerat. Ini bisa nyerap jutaan tenaga kerja.

Kedua, tanah mati dihidupkan. Ada orang niat garap lahan terbengkalai? Dikasih sama negara. Rasulullah SAW bersabda, “barang siapa menghidupkan tanah mati, maka tanah itu jadi miliknya” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi, Abu Dawud).

Ketiga, tanah produktif dibagi. Namanya iqtha’. Supaya rakyat bisa bertani dan mandiri.

Keempat, modal tanpa riba. Negara kasih bantuan modal biar rakyat bisa buka usaha. Kebijakan kayak gini bikin lapangan kerja terbuka luas. Jadi nggak ada tuh drama job hugging karena enggak ada pilihan.

Percayalah, anak muda yang kami temui di laundry tadi hanyalah satu potret kecil dari kegelisahan besar generasi hari ini. Mereka berjuang, bertahan, dan berharap. Tetapi sayangnya, di bawah kapitalisme, harapan sering kali mentok di tembok tebal.

Kalau kita ingin kerja bukan sekadar “pelukan terpaksa,” tetapi benar-benar sesuai potensi dan bermanfaat buat umat, maka solusinya cuma satu, terapkan sistem Islam kaffah dalam bingkai daulah khilafah. Karena kalau terus bertahan dalam kapitalisme, job hugging bukan lagi pilihan, tapi keterpaksaan. []


Oleh: Nabila Zidane 
(Jurnalis) 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar