Topswara.com -- Di zaman ini, kata inovasi seolah menjadi mantra suci. Semua orang mengagunginya. Pemerintah menjadikannya slogan, kampus menjadikannya target, dan perusahaan menjadikannya simbol kemajuan. Tetapi di tengah gegap gempita itu, ke mana arah semua inovasi ini dituntun?
Sebab, inovasi tanpa iman seperti kapal tanpa kompas. Ia bisa berlayar jauh, tapi mudah tersesat. Ia bisa mencipta kemudahan, tapi juga kehancuran. Di tangan manusia yang salah arah, inovasi bisa menjadi pedang bermata dua membangun sekaligus merusak.
Kita baru saja menyaksikan Kalsel Innovation Award 2025 yang digelar oleh Badan Riset dan Inovasi Daerah (Brida) Provinsi Kalimantan Selatan pada 14–15 Oktober 2025 di Banjarbaru. Sebanyak 90 proposal inovasi daerah diterima tahun ini, terdiri dari 42 usulan dari SKPD Provinsi, 26 dari kabupaten/kota, dan 22 dari masyarakat umum.
Kepala Brida Kalsel, Thaufik Hidayat, menyebut kegiatan ini sebagai wujud komitmen membangun budaya inovasi yang berkelanjutan dan berdampak nyata bagi masyarakat (kanalkalimantan, 14/10/2025). 
Inisiatif ini tentu patut diapresiasi. Namun jika kita cermati lebih dalam, arah inovasi yang dikembangkan tetap berada dalam bingkai sekularisme—sebuah sistem yang menempatkan kemajuan hanya pada dimensi ekonomi dan material, bukan spiritual.
Sekularisme: Menuntun Inovasi dengan Pasar
Sekularisme memisahkan iman dari kehidupan. Ia menempatkan manusia dan pasar sebagai pusat arah peradaban. Dalam paradigma ini, inovasi diukur dari seberapa besar nilai jual dan daya saing yang dihasilkan, bukan seberapa besar manfaat moral dan keberkahan yang ditimbulkan.
Maka, lahirlah berbagai teknologi yang canggih namun menggerus kemanusiaan: robot menggantikan tenaga kerja, tambang merusak ekosistem, dan industri digital mengasingkan manusia dari fitrahnya. Inovasi yang seharusnya membawa maslahat justru menciptakan ketimpangan baru.
Padahal Allah telah memperingatkan: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya...” (QS. Al-A‘rāf: 56).
Inilah problem mendasar sistem sekuler: ia menuntun inovasi dengan logika pasar.
Yang menjadi pertimbangan bukan halal–haram, tapi untung–rugi. Inovasi diarahkan bukan untuk memenuhi kebutuhan hakiki manusia, tapi untuk memenuhi selera konsumsi.
Maka lahirlah masyarakat produktif, tapi kehilangan makna. Kaya teknologi, tetapi miskin spiritualitas.
Islam: Menuntun Inovasi dengan Iman
Berbeda dari sekularisme, Islam tidak pernah memisahkan ilmu dari iman. Islam memandang inovasi sebagai bagian dari ibadah dan amanah kekhalifahan manusia di bumi.
Allah berfirman: “Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di bumi, dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian yang lain beberapa derajat untuk mengujimu terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.” (QS. Al-An‘ām: 165).
Ayat ini menegaskan: ilmu dan inovasi adalah ujian, bukan kebanggaan.
Mereka harus diarahkan untuk maslahat, bukan keserakahan.
Dalam sistem Islam, negara bukan sekadar fasilitator riset, tapi penuntun moral dan arah peradaban. Khilafah akan mendorong penelitian dan sains dengan ruh iman bukan sekadar demi efisiensi ekonomi atau eksistensi global.
Pembiayaan inovasi diambil dari baitul mal, bukan dari sponsor kapitalis. Arah kebijakannya menjaga keseimbangan alam, bukan mengeksploitasi sumber daya tanpa batas.
Itulah sebabnya, dari peradaban Islam lahir ilmuwan besar seperti Al-Khawarizmi, Al-Jazari, Ibnu Sina, dan Jabir bin Hayyan. Mereka berinovasi bukan untuk popularitas, tapi untuk menjalankan amanah Allah. Inovasi dalam Islam lahir dari hati yang tunduk dan akal yang tercerahkan oleh wahyu.
Saat Iman Jadi Cahaya bagi Inovasi
Dunia hari ini mungkin terang oleh teknologi, tetapi gelap oleh nilai. Kita memiliki mesin yang cerdas, tetapi kehilangan arah hidup. Maka, tugas besar umat Islam bukan sekadar berinovasi, tetapi menuntun inovasi itu dengan cahaya iman.
Sebab iman menundukkan nafsu ilmu, mengarahkan akal agar tidak sombong, dan menjadikan teknologi sebagai sarana ibadah, bukan alat keserakahan. “Apakah orang-orang yang mengetahui sama dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (QS. Az-Zumar: 9).
Ilmu tanpa iman akan menyesatkan, tapi iman tanpa ilmu akan melemahkan. Maka keduanya harus bersatu di bawah panji Islam sistem yang menempatkan Allah sebagai pusat segala arah inovasi dan peradaban.
Peradaban Islam pernah menuntun dunia dengan ilmu yang berakar dari tauhid. Dari masjid lahir ilmuwan, dari madrasah lahir penemu, dari iman lahir cahaya yang menerangi dunia.
Kini, dunia menunggu kebangkitan itu lagi kebangkitan iman yang menuntun inovasi. Sebab sejatinya, inovasi yang tak dituntun iman hanyalah cahaya semu. Dan ketika iman kembali memimpin inovasi, saat itulah peradaban sejati akan kembali bersinar bukan hanya cemerlang secara teknologi, tetapi juga bercahaya dalam keberkahan. []
Oleh: Zahida Ar-Rosyida
(Aktivis Muslimah Banua)

0 Komentar