Topswara.com -- Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) kembali menorehkan prestasi di tingkat nasional. Tahun 2025 ini, Kalsel berhasil meraih peringkat pertama nasional Indeks Ketahanan Pangan (IKP) dengan skor 81,98 persen (infopublik.id, 27/9/2025).
Sebuah capaian yang tentu disambut gembira oleh pemerintah daerah maupun masyarakat, karena dianggap sebagai bukti keberhasilan dalam menjaga ketersediaan pangan.
Ada sejumlah faktor yang diklaim mendukung capaian ini. Pertama, adanya sinergi antara pemerintah provinsi dengan kabupaten/kota dalam mengawal ketersediaan pangan. Kedua, upaya stabilisasi harga kebutuhan pokok melalui intervensi pasar.
Ketiga, penanganan daerah rawan pangan dengan program bantuan yang dianggap tepat sasaran. Keempat, dukungan infrastruktur distribusi dan logistik pangan yang mulai diperbaiki dan diperluas.
Tidak hanya itu, pengakuan terhadap komitmen kolaborasi juga datang dari berbagai pihak. Misalnya, Polda Kalsel yang menerima penghargaan dari ULM atas komitmen kolaborasi dalam ketahanan pangan (restabalong.kalsel.polri.go.id, 26/9/2025).
Bahkan, agenda nasional pun mendorong langkah daerah. Seperti saat Wakil Bupati Hulu Sungai Selatan menghadiri Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan di Kalsel (hulusungaiselatankab.go.id, 25/9/2025). Tak ketinggalan, Gubernur pun menegaskan komitmen menjaga stabilitas harga melalui program GNPIP Kalimantan (jurnalispost.online, 27/9/2025).
Di Balik Capaian Angka
Jika kita menengok realitas di lapangan, masih ada banyak pekerjaan rumah yang belum terselesaikan. Para petani, yang seharusnya menjadi aktor utama dalam ketahanan pangan, justru masih menghadapi persoalan klasik yang tak kunjung berakhir.
Akses pupuk dan modal semakin sulit, harga jual produk pertanian seringkali tidak sebanding dengan biaya produksi, sementara infrastruktur irigasi dan modernisasi pertanian masih jauh dari memadai.
Tak hanya itu, rantai distribusi pangan masih sangat bergantung pada korporasi besar. Situasi ini menempatkan petani pada posisi yang lemah, karena mereka harus menjual hasil panen dengan harga murah, sementara konsumen membeli dengan harga mahal. Di tengah kondisi demikian, monopoli pasar dan spekulasi harga menjadi ancaman nyata.
Inilah ironi dari capaian indeks semacam IKP. Ia memang mampu memotret keberhasilan administratif dan teknis, tetapi tidak serta-merta mencerminkan kesejahteraan petani maupun keadilan distribusi pangan. Angka bisa saja tampak indah, tetapi realitas di lapangan sering jauh dari narasi keberhasilan itu sendiri.
Kapitalisme: Pangan Sebagai Komoditas
Dalam sistem kapitalisme yang hari ini menaungi kebijakan pangan di negeri ini, pangan lebih dipandang sebagai komoditas ekonomi, bukan sebagai kebutuhan dasar yang wajib dijamin oleh negara.
Tak heran jika segala program ketahanan pangan cenderung bersifat jangka pendek, bergantung pada anggaran tahunan, dan rawan intervensi kepentingan korporasi besar.
Capaian IKP akhirnya lebih menonjolkan “sukses angka” ketimbang solusi mendasar. Ia tak banyak menyentuh akar persoalan, seperti kesejahteraan petani, distribusi pangan yang adil, atau kemandirian bangsa dalam mengelola sumber daya pangan.
Bahkan, jika jujur diakui, masih ada daerah di Kalsel yang tergolong rawan pangan. Artinya, angka indeks yang tinggi belum tentu mencerminkan kenyataan yang dirasakan oleh seluruh masyarakat.
Islam: Negara Penanggung Jawab Pangan
Berbeda dengan sistem kapitalisme, Islam melalui sistem Khilafah memiliki paradigma yang sangat jelas mengenai ketahanan pangan. Dalam pandangan Islam, pangan adalah hak mendasar rakyat yang wajib dijamin oleh negara.
Negara bukan hanya berperan sebagai regulator, tetapi sebagai penanggung jawab utama dalam memastikan setiap individu memiliki akses terhadap pangan yang layak.
Prinsip Islam Mengelola Pangan
Pertama, lahan dan air sebagai kepemilikan umum, sehingga negara wajib menjamin pengelolaannya demi kepentingan rakyat, bukan menyerahkannya pada korporasi besar.
Kedua, distribusi merata, sehingga tidak ada daerah atau kelompok masyarakat yang terpinggirkan dan mengalami kerentanan pangan.
Ketiga, keadilan bagi petani, dengan memberi mereka akses modal, teknologi, dan pasar yang adil.
Keempat, ketahanan jangka panjang, melalui pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan, bukan sekadar mengejar target indeks tahunan.
Dengan kerangka ini, ketahanan pangan bukan sekadar “proyek administrasi”, melainkan bagian integral dari tanggung jawab negara dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Angka Bukan Segalanya
Capaian IKP Kalsel tentu layak diapresiasi sebagai bentuk kerja keras pemerintah daerah. Namun, apresiasi ini tak boleh membuat kita abai terhadap persoalan mendasar yang masih menghantui.
Selama sistem kapitalisme yang menjadikan pangan sebagai komoditas tetap dipertahankan, maka capaian angka semacam ini akan selalu bersifat sementara, bahkan semu.
Islam mengajarkan kita untuk melihat pangan bukan dengan kacamata pasar, melainkan dengan kacamata akidah: bahwa memberi makan rakyat adalah amanah, dan negara wajib menjaminnya.
Maka, hanya melalui sistem Islam sajalah ketahanan pangan dapat diwujudkan secara nyata. Bukan hanya dalam angka, melainkan dalam kehidupan sehari-hari rakyat yang benar-benar merasakan keadilan, kesejahteraan, dan keberkahan.
Sampai kapan kita puas dengan angka? sementara petani terus merintih dan rakyat masih terbebani harga pangan yang tak stabil? Mau sampai kapan ketahanan pangan sekadar dipamerkan di podium penghargaan, sementara di sawah dan ladang, para petani masih berjuang sendirian?
Sudah saatnya kita sadar, ketahanan pangan sejati tidak lahir dari kapitalisme yang menjadikan pangan sebagai komoditas, melainkan dari Islam yang menjadikannya hak mendasar rakyat.
Maka, jika kita sungguh menginginkan pangan yang berdaulat, adil, dan menyejahterakan, jawabannya bukan sekadar indeks—tetapi perubahan sistem. Dan itu hanya akan terwujud dengan tegaknya khilafah. []
Oleh: Zahida Ar-Rosyida
(Aktivis Muslimah Banua)
0 Komentar