Topswara.com -- Di Tapin, Kalimantan Selatan, fenomena nikah dini nyata adanya. Sekitar 32,5 persen anak usia 15–19 tahun sudah menikah, jauh di atas rata-rata nasional. Fakta ini disampaikan Ketua TP PKK Tapin dalam upaya mengingatkan pelajar agar menghindari nikah dini (antaranews, 6/10/2025).
Safari Pendidikan “Stop Perkawinan Dini” pun digelar (Kalsel Pos), sementara Ketua TP PKK menekankan dampak buruk nikah dini terhadap perempuan (tribunbanjarmasin, 6/10/2025).
Angka pernikahan anak yang tinggi di Tapin diduga kuat karena beberapa faktor:
Pertama, sistem sekuler gagal melindungi anak. Fokusnya hanya pada aturan administratif, bukan pembentukan akhlak. Anak tidak dibimbing memahami tanggung jawab, kesucian diri, atau pentingnya menjaga kehormatan.
Akibatnya, moral menjadi rapuh dan hubungan bebas dibiarkan. Nikah dini sering muncul bukan karena kesiapan, tetapi karena lingkungan yang kehilangan arah moral.
Kedua, regulasi usia nikah hanya angka di atas kertas. Banyak anak “cukup umur” secara hukum, tapi belum siap menghadapi tanggung jawab rumah tangga. Ironisnya, sistem sekuler menunda nikah yang halal namun membiarkan pergaulan bebas yang haram. Ketika halal dihambat dan haram dibiarkan, rusaklah tatanan masyarakat.
Ketiga, faktor ekonomi dan pendidikan. Banyak keluarga miskin melihat nikah dini sebagai jalan keluar dari kesulitan hidup atau terbatasnya akses pendidikan. Pernikahan menjadi pelarian, bukan pilihan sadar yang disiapkan dengan matang.
Keempat, lemahnya koordinasi antarinstansi. Lembaga pendidikan, sosial, dan agama berjalan sendiri-sendiri. Perlindungan anak minim, intervensi lamban, dan laporan pernikahan dini sering tak ditindak. Akibatnya, praktik pernikahan anak terjadi tanpa kendali.
Kelima, pergaulan bebas yang tidak terkendali. Anak tumbuh dalam budaya permisif, tanpa batas jelas antara laki-laki dan perempuan. Ketika pergaulan bebas menimbulkan tekanan sosial atau kehamilan di luar nikah, pernikahan dini dijadikan “jalan keluar”.
Islam: Nikah Sebagai Ibadah dan Amanah
Dalam Islam, nikah adalah ibadah dan sunnah Rasulullah SAW, bukan sekadar hubungan sosial atau reproduksi. Tujuannya menjaga manusia dari zina, membentuk keluarga sah, dan menciptakan masyarakat bermartabat.
Allah SWT berfirman: “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri agar kamu merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang” (QS. Ar-Rum: 21).
Ukuran kesiapan nikah dalam Islam adalah akil baligh dan kematangan tanggung jawab, bukan sekadar angka umur. Bila belum siap secara moral dan fisik, nikah bisa ditunda namun bukan karena tekanan hukum atau stigma sosial.
Islam menolak pernikahan dini yang lahir dari ketidaksiapan atau paksaan, tetapi juga menolak sistem yang menunda halal sementara membiarkan zina.
Negara dalam Islam wajib menjamin kebutuhan rakyatnya agar keluarga tidak terpaksa menikahkan anak karena kemiskinan. Pendidikan Islam juga wajib diberikan sejak dini, menanamkan rasa malu, tanggung jawab, dan kesadaran bahwa menjaga kehormatan adalah ibadah.
Khilafah: Sistem Penata Moral dan Keluarga
Dalam khilafah, pendidikan dibangun di atas akidah Islam. Anak-anak tidak sekadar diajari ilmu dunia, tetapi dibentuk kepribadian Islam yang utuh pola pikir dan pola sikap yang berlandaskan iman. Mereka memahami batas pergaulan, adab berinteraksi, dan tanggung jawab menjaga kehormatan.
Pergaulan antara laki-laki dan perempuan diatur untuk menjaga kesucian, bukan mengekang kebebasan. Masyarakat memiliki tanggung jawab sosial dalam mengingatkan dan menegakkan amar makruf nahi mungkar. Hukum syariah ditegakkan sehingga zina, pelecehan, dan pemaksaan nikah ditindak tegas.
Negara menjamin kebutuhan dasar rakyat sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan sehingga tidak ada yang menikahkan anak karena tekanan ekonomi. Lembaga keulamaan dan tokoh masyarakat menjadi bagian dari sistem negara, bukan simbol moral semata. Mereka membimbing keluarga, memberi pendidikan pra-nikah, dan memastikan kesiapan setiap calon pengantin.
Dengan tatanan seperti ini, pernikahan dini yang disertai kesiapan dan niat ibadah tidak dianggap masalah, justru menjadi bentuk penjagaan diri dan masyarakat dari kerusakan moral.
Islam tidak menunda yang halal dan tidak menoleransi yang haram. Berbeda dengan sekularisme yang menghambat nikah tapi membiarkan zina, Islam menata kehidupan agar setiap individu hidup dalam ridha Allah. Pernikahan bukan urusan administratif, tetapi amanah suci yang harus dijalankan dengan kesiapan akidah dan akhlak.
Bukan usia yang salah, tapi sistem telah gagal menyiapkan generasi yang matang kepribadian Islamnya dan siap mengemban tanggungjawab. Bila negeri ini menata pendidikan, ekonomi, dan pergaulan sesuai syariat, maka nikah dini yang matang secara iman dan tanggung jawab tidak akan menjadi masalah, melainkan jalan menuju masyarakat yang bersih dan bermartabat.[]
Oleh: Zahida Ar-Rosyida
(Aktivitas Muslimah Banua)

0 Komentar