Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Gagalnya Tata Kelola Tambang dalam Kapitalisme


Topswara.com -- Pidato Presiden Prabowo Subianto dalam acara penyerahan aset Barang Rampasan Negara (BRN) dari enam smelter ilegal kepada PT Timah Tbk menyingkap borok besar tata kelola sumber daya alam di Indonesia. Ia menyebutkan bahwa negara mengalami kerugian hingga Rp300 triliun akibat tambang-tambang ilegal.

Data juga menunjukkan bahwa jumlah tambang bermasalah atau ilegal mencapai ribuan, tersebar di berbagai provinsi. Seperti yang dikutip dari website kementrian ESDM, Jumat 22 Agustus 2025. 

Ironisnya, di tengah kerusakan dan kerugian ini, pemerintah justru mengesahkan kebijakan pengelolaan tambang dan sumur minyak oleh koperasi, ormas serta UMKM, dengan dalih penciptaan lapangan kerja dan perputaran ekonomi daerah.

Pemerintah resmi membuka peluang bagi koperasi, ormas, hingga UMKM untuk mengelola wilayah usaha pertambangan. Kebijakan ini ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2025 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. PP ini merupakan perubahan kedua atas PP Nomor 96 Tahun 2021. 

Secara khusus, Pasal 17 Ayat 4 Huruf a PP Nomor 39/2025 menyebutkan bahwa koperasi, badan usaha kecil dan menengah, serta badan usaha milik organisasi kemasyarakatan akan diprioritaskan dalam pengelolaan tambang. (Tirto.id, 10/10/2025)

Dalam Syariat Islam, tambang termasuk kategori kepemilikan umum, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
“kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ibn Majah)

Para ulama menjelaskan bahwa kata “api” mencakup semua sumber energi dan bahan tambang yang menjadi kebutuhan banyak orang. Artinya, tambang bukan milik individu, kelompok, atau korporasi tertentu, melainkan milik seluruh umat yang pengelolaannya wajib dilakukan oleh negara sebagai wakil rakyat, bukan diserahkan ke pihak swasta.

Ketika tambang diserahkan kepada perusahaan swasta, baik domestik maupun asing, sesungguhnya negara telah menyerahkan harta milik umum kepada individu atau kelompok tertentu, yang secara syar’i merupakan bentuk ghashab (perampasan hak milik umat).

Kebijakan swastanisasi termasuk dalam bentuk kerja sama bagi hasil, izin usaha pertambangan (IUP), maupun skema koperasi-ormas-UMKM yang melibatkan investor adalah pelanggaran terhadap hukum Allah.

Islam memandang tambang besar yang produksinya strategis dan vital harus dikelola langsung oleh negara, sedangkan tambang kecil yang tidak vital boleh dikelola rakyat secara terbatas, tetap di bawah pengawasan negara. Tidak ada ruang bagi liberalisasi sumber daya alam dalam syariat.

Kebijakan pemerintah yang memberikan izin pengelolaan tambang kepada koperasi, ormas dan UMKM tampak seperti langkah populis untuk memperluas pemerataan ekonomi. Namun pada kenyataannya, koperasi, ormas dan UMKM tidak memiliki kapasitas teknis maupun modal besar untuk mengelola tambang secara mandiri.

Kondisi ini hampir pasti membuat mereka bermitra dengan pihak ketiga, yaitu investor besar atau perusahaan tambang swasta, yang justru mengulang praktik lama yaitu eksploitasi sumber daya alam tanpa kendali dan tanpa tanggung jawab lingkungan.

Selain itu, ketika orientasi ekonomi lebih menekankan pada keuntungan material, standar kelayakan, keamanan kerja, dan kelestarian lingkungan sering diabaikan. Maka, kebijakan ini justru membuka peluang baru bagi praktik rente, korupsi perizinan, dan kerusakan ekologis yang semakin parah.

Kesalahan mendasar tata kelola tambang di Indonesia berakar pada penerapan sistem kapitalisme sekuler, yang memisahkan urusan agama dari pengaturan ekonomi dan politik. Dalam sistem ini, negara berperan sebagai regulator dan fasilitator bagi korporasi, bukan sebagai pengelola dan pelindung rakyat. 

Akibatnya, negara kehilangan kendali atas aset strategisnya sendiri. Ketika tambang merusak lingkungan atau menyebabkan bencana, tanggung jawab moral dan finansial pun kerap dialihkan ke masyarakat.

Sistem seperti ini telah nyata gagal. Bukan hanya menimbulkan kerugian finansial, tetapi juga merampas hak rakyat atas sumber daya alam yang seharusnya menjadi milik bersama.

Berbeda dengan kapitalisme, sistem Islam menetapkan bahwa sumber daya alam yang termasuk kepemilikan umum dikelola oleh negara untuk sebesar-besar kemaslahatan umat. 

Negara mengelola hasil tambang, mengalokasikannya untuk kebutuhan publik, seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, serta subsidi kebutuhan pokok. Tidak ada privatisasi atau bagi hasil dengan korporasi.

Selain itu, Islam memiliki sistem pengawasan internal yang kuat. Para pejabat negara adalah pelayan umat (khadimul ummah), bukan penguasa yang mencari keuntungan.

Negara juga bertanggung jawab atas dampak lingkungan dari aktivitas pertambangan, memastikan tidak ada kerusakan yang menimbulkan mudarat bagi manusia dan alam.

Pidato Prabowo dan pengungkapan kerugian negara Rp300 triliun seharusnya menjadi refleksi mendalam, bukan sekadar berita sesaat. Fakta ini membuktikan bahwa negara selama ini lalai dalam mengurus harta milik umat. 

Alih-alih memperbaiki sistem dan menegakkan pengelolaan tambang sesuai prinsip amanah, negara justru menempuh jalan pragmatis melalui kebijakan populis seperti pemberian izin kepada koperasi, ormas dan UMKM.

Padahal, dalam pandangan Islam, negara wajib mengelola tambang besar secara langsung, sementara tambang kecil boleh dikelola rakyat, tetapi tetap di bawah tanggung jawab negara. 

Hanya dengan penerapan sistem Islam secara kaffah, pengelolaan sumber daya alam dapat dikembalikan pada hakikatnya: untuk kemaslahatan seluruh rakyat, bukan segelintir pemilik modal. 

Walalhu'alam.


Oleh: Lia Julianti 
Aktivis Dakwah Tamansari Bogor
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar