Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Fatamorgana Kebangkitan Pesantren dalam Bingkai Sekularisme


Topswara.com -- Mengawal Indonesia merdeka menuju peradaban dunia adalah tema yang diusung untuk peringatan Hari Santri Nasional yang jatuh pada tanggal 22 Oktober nanti. 

Sebuah tema besar yang menggambarkan harapan kiprah santri yang tidak hanya berkontribusi untuk bangsa ini, melainkan visi yang lebih jauh untuk perdaban dunia. 

Harapan ini senada dengan pernyataan Mentri Agama Nasaruddin Umar dalam pembukaan acara Musabaqah Qira'atil Kutub Internasional (MQKI) 2025 yang mengajak seluruh elemen pondok pesantren di Indonesia mengembalikan zaman keemasan peradaban Islam seperti yang pernah terjadi pada masa kepemimpinan Harun Ar Rasyid di Baghdad. 

Menurut Menag Nasaruddin, masa keemasan peradaban Islam itu terwujud karena integrasi ilmu yang tidak hanya mahir ilmu agama dalam kitab kuning saja, tetapi mahir pula dalam kitab putih atau ilmu umum seperti Bahsa Inggris, sosiologi, ilmu politik, dan sains. 

Langkah pertama kebangkitan ini harus bermula dari pesantren dengan mempertahankan 5 unsur sejatinya yakni masjid, kiai, santri, kuat membaca kitab turats, memelihara habbit pesantren. (kemenag.go.id, 2/10/2025)

Sungguh sebuah visi yang besar harus diemban oleh pesantren untuk meraih kebangkitan hakiki menuju perdaban Islam yang gemilang. Satu sisi, visi ini sangat mulia dan Istimewa, namun disisi yang lain, tema dan visi yang diusung sangat kontradiktif dengan kehidupan sekuler yang saat ini kita jalani. 

Tidak terbayang bagaimana para santri harus bekerja lebih keras untuk bisa tetap berada dalam pemahaman yang benar ketika realita kehidupan di luar lingkungan pesantrennya berbanding terbalik dengan apa yang mereka pelajari. 

Kebebasan, hedonism, gaya hidup permisif dan sekuler, serta segudang pemahaman lainnya siap menggempur mereka kapan saja. 

Belum lagi aplikasi integrasi antara ilmu agama dan ilmu dunia di dunia pesantren mendorong para santri menjadi agen perubahan sosial dan penggerak ekonomi kreatif yang sesuai dengan versi sekulerisme, serta menempatkan Islam hanya sebagai agama saja yang kuat mengatur ibadah ritual dan spiritual semata, bukan sebagai sistem hidup yang mengatur seluruh aspek kehidupan. 

Tentu hal ini bersebrangan dengan fungsi dan tujuan pesantren yang melahirkan calon para ulama pewaris nabi. Fungsi ini terkikis secara alami karena sistem hidup yang menaunginya adalah sekluerisme yang sejatinya memisahkan agama dengan kehidupan dan bernegara.

Akhirnya tidak mengherankan, ketika Islam terpisah dari sendi-sendi kehidupan. Muslim yang politis tapi alergi dengan pandangan politik Islam itu sendiri. 

Muslim yang paham ekonomi syariah tetapi kesulitan menerapkan muamalah dalam skala makro ekonomi, ataupun muslim yang paham pengaturan sosial dalam Islam namun kelelahan mengikutinya karena kondisi lingkungan yang serba bebas dan tidak mendukung pemahaman yang diyakini. 

Semua kondisi ini bukan karena masalah iman yang lemah semata, tetapi memang sistem hidup yang mendampingi kita saat ini berbenturan dengan ajaran Islam. 

Sekuat apapun iman kita, ketika gempurannya sudah dalam bentuk sistem dan aturan, pasti terlalu sulit untuk dihadapi dan kelelahan dalam kondisi bertahan yang hanya akan didapat.

Tidak dipungkiri, eksistensi pesantren yang merupakan bagian dari elemen masyarakat memang memiliki peranan penting. Namun, kapasitasnya terbatas. Jika kebangkitan yang diinginkan adalah kembalinya peradaban Islam yang mulia, maka terlalu berat jika dibebankan pada pesantren dan santri semata. 

Diperlukan sinergi dari berbagai elemen masyarakat untuk memiliki pemahaman dan kesadaran menyuara kebangkitan yang sama. 

Perjuangan dakwah politik yang telah Rasulullah wariskan melaui sirahnya patut kita jadikan pedoman dan kompas, untuk mengarahkan langkah-langkah yang harus ditempuh. 

Sebagaimana sabda Rasulullah Saw, “Sesungguhnya telah aku tinggalkan pada kalian dua perkara yang tidak akan tersesat selagi (kalian) berpegang teguh dengan keduanya yaitu Al-Qur’an dan Sunnahku “ (HR Al Hakim). 

Sabda ini adalah pesan kuat bagi kita untuk menjalani kehidupan, termasuk melakukan perubahan dan kebangkitan sesuai dengan garis yang telah Allah dan RasulNya tentukan.

Peradaban Islam hanya bisa lahir ketika Islam menyatu sebagai aturan dan sistem hidup yang mengatur seluruh aspek kehidupan, mulai dari sistem pemerintahan, ekonomi, sosial kemasyarakatan, pendidikan sampai kehidupan individu. 

Selama kita masih terkurung dalam sistem kapitalisme dengan sekulerisme sebagai asasnya, maka kebangkitan Islam sebagai peradaban emas yang dicita-citakan hanya sebatas khayalan dan fatamorgana.


Oleh: Sheila Nurazizah 
Aktivis Muslimah 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar