Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Ayah Hadir, Fatherless Tersingkir


Topswara.com -- Pagi itu matahari masih malu-malu muncul, tetapi semangat para ayah di lapangan sudah nyala kayak lampu sorot konser Coldplay. Satu per satu mobil berhenti, anak-anak dengan ransel lebih besar dari tubuhnya berlari kecil menuju truk supercamp. 

Dan di antara wajah-wajah kantoran yang biasanya cuma kelihatan di waktu weekend, tampak sosok “abi” sang ayah, yang kali ini nggak cuma jadi pengantar formalitas.

Abi datang. Bukan sekadar datang, tetapi hadir. Bukan cuma antar tas dan titipan cemilan, tetapi antar doa, antar cinta, dan antar tanggung jawab yang sering kali diabaikan zaman.

Fenomena fatherless alias “ketiadaan figur ayah” kini makin jadi perbincangan serius. Di Indonesia, jutaan anak tumbuh tanpa peran ayah yang utuh. 

Entah karena perceraian, kepergian, atau bahkan kehadiran fisik tapi absennya jiwa. Iya, ada ayah di rumah, tetapi cuma jadi “bayangan dompet berjalan”. Nafkah iya, tapi kasih sayang? Waktu bicara? Teladan akhlak? Nanti dulu.

Padahal, kalau mau jujur, fatherless ini bukan muncul dari ruang hampa. Ia lahir dari rahim kapitalisme sekuler yang bikin ayah-ayah sibuk banting tulang, sampai lupa banting ego buat sekadar dengerin cerita anaknya yang nilainya jeblok. Sistem hidup yang ngukur kesuksesan dari saldo rekening, bukan dari keberhasilan menanamkan iman di dada keturunan.

Coba perhatikan, di sistem kapitalistik ini ayah digiring buat kerja dari pagi sampai malam, bahkan weekend pun masih meeting daring. Alasannya “demi anak”, padahal anaknya sudah tidur duluan. Ironisnya, semua ini dianggap normal.
“Yang penting tanggung jawab,” katanya.
Padahal tanggung jawab bukan cuma finansial, tetapi juga spiritual dan emosional.

Kalau mau dikulik lebih dalam, hilangnya fungsi qawwam dalam diri ayah adalah akibat dari rusaknya sistem hidup ini. Dalam Islam, ayah bukan sekadar ATM keluarga. Ia adalah qawwam pemimpin, pelindung, dan penuntun. Allah SWT berfirman,

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.”
(QS. An-Nisa: 34).

Ayah yang qawwam bukan cuma kuat di otot, tetapi juga kokoh di prinsip. Ia hadir dalam pendidikan anak, bukan hanya urusan belanja bulanan. Lihatlah kisah Luqman al-Hakim, bagaimana beliau menasihati anaknya dengan kelembutan dan hikmah.

 “Wahai anakku, janganlah engkau mempersekutukan Allah” (QS. Luqman: 13). 

Di sini kita belajar bahwa ayah itu guru pertama yang mengajarkan tauhid dan moral. Tetapi di sistem kapitalisme, fungsi ayah terkikis habis. Negara malah menambah beban, bukan meringankan. Lapangan kerja sempit, gaji kecil, harga sembako naik, tekanan sosial menggila. 

Akhirnya, banyak ayah yang kehilangan arah, bahkan kehilangan peran. Di rumah canggung, di kantor stres. Jadilah anak-anak kehilangan figur panutan, mencari perhatian di TikTok, curhat di medsos, dan menjadikan warganet sebagai “ayah digital” mereka.

Padahal Islam punya solusi yang bukan cuma menambal luka, tapi mengobati akar penyakitnya.

Solusi Islam

Dalam sistem khilafah Islam, negara wajib memastikan setiap kepala keluarga bisa menafkahi dengan layak tanpa harus kehilangan separuh waktunya di jalan. 

Khalifah akan membuka lapangan kerja luas, menstabilkan harga, mengelola kekayaan alam untuk rakyat, bukan untuk korporasi. Dengan begitu, ayah bisa punya waktu berkualitas mendidik anaknya bukan sekadar menitipkan kasih sayang lewat transfer.

Selain itu, sistem perwalian dalam Islam juga menjamin bahwa setiap anak akan punya figur ayah, entah lewat wali keluarga, wali hakim, atau pengganti yang ditunjuk syariat.

Jadi, istilah “fatherless” sejatinya enggak akan pernah eksis di masyarakat Islam, karena negara hadir memastikan setiap anak tumbuh dalam kehangatan keluarga dan keteladanan.

Balik lagi ke suasana supercamp tadi pagi. Di sana ada satu pemandangan yang menyentuh, seorang ayah memakaikan tas ransel pada anaknya dengan telaten, menepuk pundaknya sambil berkata, “abi bangga sama kamu sudah bisa mandiri.” 

Anak itu tersenyum malu, tetapi matanya berbinar binar yang mungkin tak pernah muncul dari sekadar uang jajan.

Di antara wajah-wajah ayah yang hadir, sesungguhnya ada secercah harapan. Bahwa di tengah gempuran sistem yang nyaris mematikan fitrah, masih ada para abi yang berjuang untuk tetap hadir.

Karena sejatinya, kehadiran ayah adalah energi kehidupan. Ia bisa membuat anak merasa aman di dunia yang keras, dan yakin bahwa surga itu bisa dicapai lewat ridha orang tua.

Rasulullah Saw bersabda, “Ridha Allah tergantung pada ridha orang tua, dan murka Allah tergantung pada murka orang tua.” (HR. Tirmidzi)

Maka bagi para ayah di luar sana, mungkin kita tak bisa mengubah sistem sendirian. Tapi kita bisa mulai dengan menjadi ayah yang hadir, bukan sekadar ada.

Dan untuk negara, berhentilah menutup mata terhadap akar masalah fatherless ini. Jangan cuma kampanye parenting di media sosial, tetapi ubah sistem yang merusak peran ayah di dunia nyata.

Karena kalau Islam yang memimpin, setiap anak akan punya abi bukan hanya di hari antar supercamp, tetapi di sepanjang perjalanan hidupnya.[]


Oleh: Nabila Zidane
(Jurnalis)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar