Topswara.com -- Diketahui pada hari Senin (25/8/2025) Israel kembali menyerang Rumah Sakit Nasser di Gaza. Peristiwa tersebut menewaskan 15 orang termasuk empat jurnalis Salah satu korban adalah Hussam al-Masri, juru kamera sekaligus kontraktor Reuters.
Saat kamera masih menyala dan dunia menyaksikan, drone-drone zionis menjatuhkan bom ke arah jurnalis dan paramedis, orang-orang yang sedang menyelamatkan dan menyampaikan kebenaran. Rekaman siaran langsung Reuters dari rumah sakit, yang dioperasikan oleh Masri, tiba-tiba terputus tepat saat serangan itu terjadi.
Secara langsung Israel membungkam para jurnalis yang mengungkap kehjahatan Zionis pada dunia. Serikat Jurnalis Palestina menyebutnya sebagai perang terbuka terhadap media independen. Tentu hal ini memicu kecaman keras dunia terhadap kebiadaban Israel (beritasatu.com, 25/08/2025).
Kini Gaza menjadi lokasi paling berbahaya di seluruh dunia bagi para jurnalis, dengan hampir 270 personel media terbunuh sejak Oktober 2023. Reporters Without Borders mencatat 2024 sebagai tahun paling mematikan, dengan lebih dari 120 jurnalis terbunuh di seluruh dunia. Dari jumlah itu, lebih dari 50 jurnalis terbunuh di Gaza pada 2025.
Di tengah meningkatnya jumlah jurnalis yang menjadi korban, para pendukung kebebasan pers mempertanyakan keseriusan Israel dalam menghormati hukum kemanusiaan internasional yang seharusnya melindungi mereka di medan konflik. Para ahli hukum internasional menekankan bahwa jurnalis adalah warga sipil di bawah Konvensi Jenewa dan berhak mendapatkan pelindungan khusus.
Serangan Israel yang berulang kali dilakukan terhadap tenda-tenda pers, kantor-kantor, dan kendaraan-kendaraan yang diberi tanda merupakan pelanggaran terhadap hukum-hukum ini, yang berpotensi menjadi kejahatan perang (tempo.co, 15/08/2025).
Mengapa Dunia Bungkam?
Dunia melihat dengan mata kepala sendiri penderitaan rakyat Palestina akibat penjajahan, pembantaian warga sipil, dan pelanggaran HAM yang terus dilakukan oleh rezim Zionis. Namun, respons internasional masih sebatas kecaman tanpa tindakan konkret.
Amerika Serikat dan sekutunya memilih bungkam karena aliansi strategis mereka dengan Israel lebih diutamakan ketimbang keadilan bagi rakyat Palestina. Kemudian PBB dan lembaga HAM sering kali hanya mengeluarkan kecaman tanpa tindakan nyata. Resolusi yang menentang Israel banyak yang diveto, terutama di Dewan Keamanan oleh negara-negara sekutu Israel.
Meskipun jumlah kaum Muslimin di dunia mencapai sekitar dua miliar jiwa, mereka belum mampu bersatu secara nyata untuk menghadapi kekejaman Zionis terhadap rakyat Gaza. Fakta ini mencerminkan lemahnya kepemimpinan serta perpecahan serius yang terus menghantui dunia Islam.
Selain isu kemanusiaan yang sering dipolitisasi, tampak standar ganda yang nyata, kekejaman oleh negara-negara tertentu dihukum, sementara pelanggaran berat oleh Israel justru diabaikan. Media yang menjadi arus utama seringkali memainkan peran dalam membelokkan persepsi publik, dengan menyajikan narasi yang tidak adil dan menutupi realitas kekejaman yang sebenarnya terjadi.
Negara-negara Muslim belum mampu bersatu secara politik dan strategis untuk membela Palestina karena terhalang oleh sekat nasionalisme.
Meskipun jumlah kaum Muslimin di dunia mencapai sekitar dua miliar jiwa, mereka belum mampu bersatu secara nyata untuk menghadapi kekejaman zionis terhadap rakyat Gaza. Hal ini mencerminkan krisis kepemimpinan dan perpecahan dalam dunia Islam.
Dunia Islam terpecah dalam banyak negara dengan kepentingan nasional masing-masing. Identitas nasional lebih dominan daripada ukhuwah islamiyah (persatuan umat), sehingga solidaritas terhadap Gaza sering berhenti pada retorika tanpa aksi konkret.
Ketergantungan para penguasa Muslim terhadap bantuan dan dukungan Barat, khususnya dari Amerika Serikat, menjadi salah satu faktor utama lemahnya sikap mereka terhadap isu-isu keadilan global. Pertimbangan politik dan kekhawatiran terhadap stabilitas kekuasaan sering kali menghalangi para pemimpin untuk mengambil sikap tegas terhadap tindakan Israel.
Membebaskan Palestina?
Palestina bukan sekadar tanah yang dijajah, ia adalah warisan umat Islam yang menyimpan nilai sejarah, budaya, dan spiritual yang suci bagi seluruh kaum Muslimin. Di sana terletak Masjid Al-Aqsha, kiblat pertama umat Islam dan salah satu dari tiga masjid suci.
Sejak awal abad ke-20, Palestina mengalami perampasan tanah yang sistematis oleh gerakan zionis, sebuah ideologi kolonial yang menginginkan berdirinya negara Yahudi di jantung dunia Islam.
Dengan dukungan dari penjajah Barat, terutama Inggris (melalui Deklarasi Balfour 1917) dan kemudian Amerika Serikat, zionis berhasil mencaplok tanah Palestina melalui penjajahan bertahap, dengan imigrasi massal Yahudi dan pengusiran penduduk asli.
Tahun 1948 menandai deklarasi sepihak negara Israel, yang dibarengi dengan pembantaian dan pengusiran paksa rakyat Palestina—peristiwa tragis yang dikenal sebagai Nakba. Pendudukan lanjutan wilayah Tepi Barat, Gaza, dan Yerusalem Timur setelah perang 1967.
Pembebasan tanah Palestina dari penjajahan zionis bukan sekadar urusan diplomasi atau bantuan kemanusiaan, tetapi memerlukan jihad fi sabilillah, yaitu perjuangan bersenjata yang ditujukan untuk membela umat Islam dan mengusir penjajah dari tanah kaum Muslimin.
Jihad merupakan kewajiban yang ditetapkan oleh syariat.
Allah SWT berfirman: "Dan perangilah mereka itu sampai tidak ada lagi fitnah dan (sehingga) agama itu hanya untuk Allah" (QS. Al-Baqarah: 193).
Sepanjang sejarah, jihad telah terbukti menjadi jalan efektif mengakhiri penjajahan, seperti saat perang salib diakhiri dengan jihad yang dipimpin Shalahuddin Al-Ayyubi.
Penjajahan kolonial Barat diusir dari banyak negeri Muslim melalui perlawanan bersenjata umat. Penjajahan tidak akan berakhir dengan kecaman atau negosiasi semata.
Pembebasan Palestina hanya dapat terwujud melalui jihad yang terorganisir di bawah kepemimpinan yang ikhlas dan berani, sebagaimana yang tercatat dalam sejarah perjuangan umat Islam. Maka seruan jihad bukan radikal, tetapi solusi nyata yang telah ditetapkan syariat untuk membebaskan tanah yang dirampas.
Sejak keruntuhan Khilafah Utsmaniah pada tahun 1924, umat Islam kehilangan institusi pemersatu yang memimpin mereka secara politik dan militer di tingkat global. Tanpa ini, koordinasi untuk aksi militer membela Gaza nyaris mustahil.
Edukasi secara masif tentang kewajiban umat Islam membela Palestina sangat penting karena banyak kaum muslimin yang belum memahami bahwa membela tanah suci yang dijajah, seperti Palestina, adalah kewajiban syar’i, bukan sekadar simpati kemanusiaan. Untuk itu hanya khilafahlah yang mampu menyolusi atas permasalahan yang menimpa Palestina.[]
Oleh: Pani Wulansary
(Pendidik dan Ibu Generasi)
0 Komentar