Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Rakyat Butuh Beras Murah dan Mudah Didapat, Bukan Makan Janji


Topswara.com -- Indonesia tuh kalau soal beras, ceritanya nggak ada habisnya. Hari ini kelangkaan, besok harga naik, lusa ada lagi istilah baru dari pemerintah yang katanya “Demi melindungi penggilingan kecil.” Padahal rakyat cuma mau satu hal sederhana, beras ada, harga normal, bisa makan nasi tanpa mikir panjang.

Nah, baru-baru ini Presiden Prabowo mewajibkan penggilingan padi skala besar punya izin khusus dari pemerintah. Katanya sih biar penggilingan kecil tetap hidup. Hmmm kayak dejavu ya? Soalnya kebijakan serupa juga udah pernah dilakukan presiden sebelumnya, mulai dari sinergi penggilingan kecil dengan Bulog, sampai program revitalisasi mesin pakai KUR.

Intinya banyak aturan teknis, tapi tetap aja masalah muncul lagi. Kenapa? Karena akar masalahnya nggak pernah disentuh.

Kalau kata anak gaul, ini tuh kayak nambal ban bocor pakai plester Hansaplast. Ya jelas nggak mempan. Bocornya sistem pangan kita itu bukan di mesin penggilingan, tetapi di paradigma keliru, yaitu pangan dianggap komoditas, bukan hak dasar rakyat.

Sistem sekularisme kapitalisme membuat negara memosisikan diri bukan lagi pengurus rakyat, tetapi lebih kayak event organizer yang ngatur panggung buat korporasi. Produksi, distribusi, sampai konsumsi, semua dikendalikan swasta besar. Aturan dibuat bukan untuk menyejahterakan rakyat, tetapi untuk memastikan cuan mereka tetap aman.

Hasilnya? Krisis berulang. Hari ini beras mahal, besok minyak goreng langka, lusa gula pasir nyusul. Polanya sama, rakyat kecil ngos-ngosan, petani nggak sejahtera, pedagang kecil megap-megap.

Contoh terbaru, banyak penggilingan padi berhenti operasi. Katanya baru 50 persen penggilingan yang jalan. Itu pun stok gabah tipis karena udah masuk musim kemarau. 

Akhirnya harga beras di pasar tradisional dilansir dari bbc.com (1/9/2025) nembus Rp12.500–Rp13.000/kg untuk medium, dan Rp15.000–Rp16.000/kg buat premium. Masyarakat banyak yang kesal. Ada yang terpaksa ngurangin porsi nasi, ada pedagang yang stop jualan karena nggak sanggup beli bahan baku.

Pertanyaan klasik, "Kok bisa sih negara yang disebut lumbung padi malah warganya kelaparan?"

Jawabannya simpel, karena pangan dilepas ke mekanisme pasar. Selama beras dianggap komoditas, ya rakyat cuma jadi korban permainan harga.

Solusi Islam: Beras Jadi Hak, Bukan Beban

Nah, kalau Islam bicara soal pangan, paradigma dasarnya beda total. Pangan itu hak dasar setiap orang, dan negara wajib memenuhinya. Seorang khalifah paham betul kepemimpinannya adalah amanah yang kelak ditanya Allah Swt. Jadi, enggak ada cerita rakyat sampai kelaparan atau susah beli beras.

Beras dipandang sebagai kebutuhan pokok. Maka negara harus jamin ketersediaan, harga terjangkau, dan akses gampang. Praktik curang kayak monopoli, kartel, penimbunan? Haram. Pelakunya kena sanksi tegas.

Terus gimana cara negara Islam memastikan stok selalu aman?

Pertama, lahan pertanian digarap maksimal. Tanah mati dihidupkan, pemilik lahan diwajibkan kelola, enggak boleh disewakan seenaknya.

Kedua, petani didukung penuh. Mulai dari benih, pupuk, pestisida, sampai alat mesin pertanian, disubsidi murah bahkan gratis.

Ketiga, riset pertanian didorong. Biar hasilnya makin produktif, varietas makin bagus.

Keempat, industri pertanian berkembang. Penggilingan padi didukung teknologi, pemilik kecil difasilitasi, bukan dimatikan oleh korporasi raksasa.

Kelima, distribusi diawasi qadhi hisbah. Jadi nggak ada kartel atau penimbunan nakal.

Negara juga punya cadangan pangan strategis. Jadi kalau ada musim paceklik atau bencana, rakyat tetap aman. Harga beras pun stabil, bukan karena dipatok paksa, tetapi karena sistemnya sehat.

Belajar dari Khalifah Umar bin Khaththab

Kalau mau lihat teladan, kita bisa tengok kisah Khalifah Umar bin Khaththab r.a. Saat masa paceklik, beliau sendiri turun tangan memanggul gandum untuk keluarga miskin. Bayangin, seorang kepala negara rela angkat karung demi rakyat. Bukan malah sibuk bagi-bagi izin penggilingan padi sambil ngitung komisi.

Khalifah Umar juga kasih subsidi ke petani, bahkan ambil alih tanah yang telantar lebih dari tiga tahun untuk diserahkan ke orang lain yang sanggup menggarap. Intinya, rakyat nggak boleh lapar. Itu harga mati.

Jadi, Mau Sampai Kapan?

Kelangkaan beras yang sekarang terjadi bukan pertama kali, dan kalau sistem kapitalistik ini terus dipertahankan, bukan yang terakhir juga. Pemerintah bisa bikin aturan ini-itu, tetapi selama logikanya masih sama, yaitu pangan sama dengan komoditas, maka rakyat tetap jadi korban.

Islam kasih solusi yang jelas, negara wajib menjamin kebutuhan pokok, termasuk pangan. Bukan sekadar “fasilitator” apalagi “pelayan korporasi,” tetapi betul-betul pengurus rakyat. Dan sistem kayak gini cuma bisa jalan kalau syariat Islam diterapkan secara kaffah lewat institusi khilafah.

Karena jujur aja sob, perut rakyat itu enggak bisa kenyang dengan pidato panjang. Rakyat butuh beras yang cukup, murah, dan gampang didapat. Jadi, kalau penguasa masih sibuk main regulasi setengah hati, jangan salahkan kalau rakyat makin kesal.

Karena nasi itu bukan sekadar makanan, tetapi nyawa. Kalau sistem pangan masih pakai logika kapitalisme, ya rakyat bakal terus makan janji, bukan nasi. []


Oleh: Nabila Zidane
(Jurnalis)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar