Topswara.com -- Di era media sosial, rasa “terhubung” tidak selalu berarti dekat. Banyak orang aktif di TikTok, Instagram, atau platform lain, tetapi justru merasa kosong dan kesepian. Fenomena ini diteliti mahasiswa Ilmu Komunikasi UMY, yang menyebutnya Lonely in the Crowd kesepian di tengah keramaian dunia maya.
Dalam riset berjudul “Loneliness in the Crowd: Eksplorasi Literasi Media Digital pada Fenomena Kesepian di TikTok melalui Konfigurasi Kajian Hiperrealitas Audiovisual”, dijelaskan bahwa dunia digital sering kali lebih dipercaya daripada realitas.
Teori hiperrealitas menunjukkan bagaimana konten audiovisual membentuk emosi dan persepsi, hingga membuat orang merasa lebih hidup di balik layar ketimbang di dunia nyata.
Akibatnya, kesehatan mental, kualitas relasi sosial, bahkan kehidupan keluarga ikut terganggu. Orang bisa punya ribuan pengikut, tetapi tak punya satu pun sahabat sejati (Detik.com, 23/09/2025).
Generasi yang Sepi di Tengah Keramaian
Fenomena ini bukan hal aneh. Kita melihat generasi muda seolah tidak pernah lepas dari gawai, aktif di banyak platform, tetapi merasa tidak punya teman dekat atau tak benar-benar dimengerti. Gen Z bahkan disebut generasi paling kesepian dan penuh rasa insecure. Mereka fasih dengan emoji, tetapi gagap saat berinteraksi nyata.
Ini bukan sekadar kurang literasi digital atau gagal mengatur waktu online. Masalahnya jauh lebih dalam: ada sistem yang menciptakan pola ini. Sistem sekuler liberal menempatkan individu sebagai konsumen pasar digital. Industri kapitalis di balik media sosial memang sengaja menciptakan candu.
Algoritma dirancang agar pengguna betah berlama-lama. Semakin lama mereka bertahan, semakin besar profit yang masuk ke dalam kantong kapitalis.
Dampaknya, kualitas interaksi kian terkikis. Anak-anak kehilangan waktu dengan orang tuanya, suami-istri sibuk dengan gawai masing-masing, relasi sosial di masyarakat pun hambar.
Dari sini lahir generasi yang sepi, mudah rapuh, overthinking, dan candu hiburan semu. Potensi besar mereka untuk berkarya dan membela umat justru terkubur.
Lebih jauh, kesepian ini melemahkan kepedulian sosial. Bagaimana mungkin seorang anak muda peduli pada Palestina, Rohingya, atau bahkan tetangga terdekat, jika ia sibuk menambal kekosongan batin dengan konten hiburan? Generasi harapan umat pun bergeser menjadi generasi rapuh.
Dari Sosial Menjadi Asosial
Kesepian yang dibiarkan berlarut melahirkan sikap asosial. Orang makin sulit menyapa, makin canggung berinteraksi di dunia nyata. Padahal Islam menekankan pentingnya silaturahmi dan ukhuwah.
Rasulullah ï·º menegaskan bahwa Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya. Nilai ini kian terkikis, digantikan algoritma yang membungkus manusia dalam gelembung digital.
Fenomena ini membuktikan masalah kesepian bersifat sistemik, bukan sekadar psikologis. Sistem sekuler liberal gagal memahami kebutuhan ruhani manusia. Manusia dianggap hanya makhluk fisik yang butuh hiburan, padahal ia juga makhluk spiritual yang haus ketenangan jiwa.
Khilafah Wujudkan Media Sehat dan Mencerdaskan
Islam hadir membawa solusi. Media sosial seharusnya bukan sarana mengasingkan, melainkan bisa menjadi wasilah dakwah, amal kebaikan, dan pengikat ukhuwah. Jika Islam dijadikan identitas, umat tidak akan mudah terjebak ilusi kebahagiaan digital. Generasi pun tumbuh produktif, bukan rapuh korban algoritma.
Dalam Islam, media diarahkan untuk mencerdaskan umat: membangun akhlak, menanamkan ilmu, serta meneguhkan standar benar-salah sesuai syariat.
Islam tidak mengenal kebebasan pers tanpa batas, tetapi tetap memberi ruang bagi masyarakat untuk mengkritik, menyampaikan informasi, dan berpendapat selama sesuai aturan Allah.
Media di bawah khilafah menjadi corong amar makruf nahi mungkar, menumbuhkan budaya kritis, dan melatih keberanian menasihati penguasa. Negara memastikan media bersih dari konten perusak seperti pornografi, kekerasan, dan tontonan melalaikan.
Sebaliknya, media Islam menyuplai pemikiran sehat, membentuk pribadi tangguh, serta menampilkan teladan generasi emas Islam.
Bagi generasi muda, peran media Islam sangat vital. Mereka diposisikan bukan sebagai komoditas pasar digital, melainkan aset berharga umat. Media mendukung lahirnya generasi berkarakter kokoh, berilmu, dan peduli. Dengan konten sehat, mereka tidak terjerat kesepian maya, tapi tumbuh sebagai pemimpin perubahan.
Negara Tidak Boleh Lepas Tangan
Di sinilah peran negara menjadi kunci. Negara Islam tidak boleh membiarkan industri kapitalis digital merusak generasi. Teknologi harus diarahkan untuk mendukung produktivitas, bukan candu. Konten menjerumuskan, algoritma mencandu, dan model bisnis rakus profit wajib dikendalikan.
Selain itu, negara wajib menyediakan lingkungan sehat: pendidikan berbasis akidah Islam, ruang sosial yang mendorong interaksi nyata, serta sistem yang menumbuhkan kepedulian. Dengan begitu, media sosial tidak lagi jadi pabrik kesepian massal, melainkan sarana membangun masyarakat cerdas, berukhuwah, dan taat Allah.
Fenomena Lonely in the Crowd menunjukkan rapuhnya peradaban sekuler liberal yang gagal menyejahterakan jiwa manusia. Kesepian di tengah keramaian hanyalah satu dari sekian penyakit lahir dari sistem kapitalistik.
Saatnya umat berhenti jadi korban. Identitas sejati generasi bukan diukur jumlah like atau followers, melainkan sejauh mana taat pada Allah. Dengan Islam, generasi tidak akan rapuh, umat tidak terpecah, dan kesepian diganti ukhuwah nyata serta peradaban mulia. []
Oleh: Zahida Ar-Rosyida
(Aktivis Muslimah Banua)
0 Komentar