Topswara.com -- Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, namun hingga hari ini berbagai bentuk penjajahan masih dirasakan oleh bangsa ini.
Penjajahan tersebut memang tidak lagi hadir melalui invasi militer, tetapi melalui sistem, ideologi, dan kekuatan ekonomi global yang membelenggu kedaulatan bangsa. Jika dilihat secara fisik memang merdeka, tetapi secara hakiki masih terjebak dalam model penjajahan baru.
Berbagai problem juga muncul di berbagai sektor. Misalnya dalam bidang ekonomi, adanya PHK di banyak sektor seperti tekstil dan teknologi.
Penghasilan masyarakat tidak meningkat atau bahkan menurun, sementara biaya hidup terus naik akibat lonjakan harga dan banyaknya pungutan negara. Akibatnya, masyarakat terpaksa menguras tabungan mereka dan terancam jatuh ke jurang kemiskinan.
Menurut Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), Ristadi, dia mengatakan bahwa pada periode Agustus 2024 – Februari 2025 terjadi penurunan jumlah tenaga kerja secara signifikan. Berdasarkan data Sakernas BPS, tercatat sebanyak 939.038 pekerja terkena PHK di 14 sektor usaha.
Di saat yang sama, kebutuhan tenaga kerja hanya mencapai 523.383 orang, sehingga terdapat pengurangan total 415.655 pekerja. Gelombang PHK diperkirakan akan terus terjadi selama pasar domestik dibanjiri barang impor murah, apalagi di tengah turunnya tingkat konsumsi masyarakat. (Metrotvnews.com, 8/8/25)
Semua fakta tersebut menunjukkan bahwa kemerdekaan yang diraih baru bersifat formal. Secara substansial, bangsa ini masih terikat dan bergantung pada negara lain. Berbagai utang dan dominasi asing dalam pengelolaan sumber daya alam memperlihatkan hilangnya kedaulatan ekonomi.
Kebijakan pun lebih berpihak pada investor ketimbang kepentingan rakyat. Penjajahan hadir ketika suatu bangsa masih tunduk pada aturan dan standar global.
Wajar saja, jika rakyat belum merasakan kemerdekaan yang sesunguhnya. Persoalan demi persoalan tak menemukan titik terang. Keadilan dan kesejahteraan rakyat masih terabaikan.
Justru kepentingan segelintir orang yang memiliki kekuasaan mendapatkan kursi yang nyaman. Suara rintihan rakyat hanya dianggap angin lalu saja.
Hal itu dikarenakan sistem ekonomi liberal dan sekularisme telah memperkuat keadaan tersebut. Pertumbuhan ekonomi dijadikan tujuan utama meskipun harus mengorbankan keadilan dan kedaulatan. Pada saat yang sama, budaya Barat yang masuk melalui media dan pendidikan perlahan mengikis identitas bangsa.
Maka, meski bendera merah putih berkibar sebagai simbol kemerdekaan, pada kenyataannya bangsa ini masih dalam keterpurukan. Di sisi lain banyak orang berteriak merdeka, namun yang terjadi salah memahami maknanya.
Merdeka didefinikan sebagai kebebasan tanpa batas. Bahkan mereka beranggapan bebalepas dari aturan agama. Padahal Allah sudah memberi peringatan bagi manusia yang dikuasai hawa nafsu dan menjauhkan diri dari agama.
“Seandainya kebenaran itu menuruti keinginan mereka, niscaya binasalah langit dan bumi serta semua yang ada di dalamnya. Bahkan, Kami telah mendatangkan (Al-Qur’an sebagai) peringatan mereka, tetapi mereka berpaling dari peringatan itu." (TQS. Al-Mu'minun:71).
Dengan kata lain, bukan berarti konsekuensi dari ketaatan mengekang kemerdekaan. Islam datang membawa misi kemerdekaan yang sejati. Islam justru berhasil menghapus penderitaan rakyat akibat penindasan kekuasaan yang zalim dan sistem perbudakan yang berlaku.
Dengan demikian, sudah selayaknya negara ini melepaskan diri dari cengkeraman ideologi dan sistem politik asing, yaitu demokrasi. Lalu digantikan dengan penerapan sistem Islam kaffah. Sistem Islam akan menyejahterakan masyarakat melalui pengelolaan kepemilikan umum dan pendistribusian hasilnya untuk kepentingan rakyat.
Negara menjamin kebutuhan dasar (pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan), membuka lapangan kerja melalui industrialisasi, serta memberikan tanah kepada masyarakat yang ingin mengelolanya. Negara juga memberikan santunan kepada fakir miskin melalui baitulmal.
Dalam sistem khilafah, pengurusan rakyat menjadi prioritas. Negara tidak hanya mengatur, tetapi melayani dan menjamin kebutuhan rakyat secara langsung. Penguasa memiliki tanggung jawab penuh atas urusan rakyat.
Negara pun tidak akan membebani rakyat dengan pajak. Pajak hanya dipungut bila terjadi kekosongan pada kas negara. Itu pun hanya dari kalangan orang kaya saja. Adapun pejabat negara dituntut hidup sederhana dan tidak menyalahgunakan jabatan. Misalnya Umar bin Abdul Aziz mematikan lampu negara saat berbicara urusan pribadi.
Demikianlah sistem khilafah benar-benar menjadikan negara sebagai pelayan umat. Semua kebijakan diarahkan untuk memenuhi kebutuhan rakyat secara adil, serta mencegah kekuasaan digunakan demi kepentingan kelompok tertentu.
Wallahu a'lam bishawab.
Oleh: Nuril Ma'rifatur Rohmah
Muslimah Peduli Generasi
0 Komentar