Topswara.com -- Sudah lebih dari delapan dekade Indonesia berdiri sebagai negara merdeka. Namun, bila kita jujur melihat kondisi di lapangan, masih banyak rakyat yang belum benar-benar menikmati hasil kemerdekaan. Dua sektor yang paling dekat dengan kehidupan masyarakat—pendidikan dan kesehatan—justru memperlihatkan jurang ketimpangan yang lebar.
Realitas yang Masih Menyayat
Di berbagai pelosok negeri, sekolah masih jauh dari kata layak. Gedung yang retak dan hampir roboh, fasilitas belajar seadanya, bahkan ketiadaan guru di beberapa daerah, adalah kenyataan pahit yang harus dihadapi anak-anak bangsa. Tak sedikit pelajar yang harus berjalan puluhan kilometer menembus hutan atau menyeberangi sungai hanya untuk bisa duduk di bangku sekolah.
Kesempatan untuk menempuh pendidikan lebih tinggi pun masih terbatas. Anak-anak yang ingin melanjutkan ke jenjang SMP atau SMA sering terkendala jarak, biaya, dan minimnya fasilitas. Banyak yang akhirnya berhenti sekolah dan bekerja membantu keluarga, bukan karena kurang semangat belajar, tetapi karena akses pendidikan masih jauh dari jangkauan.
Kesehatan pun tak kalah memprihatinkan. Di sejumlah daerah, layanan medis dasar belum tersedia. Banyak Puskesmas berdiri sekadar untuk formalitas, tanpa tenaga medis yang memadai atau obat-obatan yang lengkap. Masalah gizi buruk dan tingginya angka stunting menjadi potret nyata betapa rapuhnya sistem kesehatan yang ada.
Semua ini menunjukkan bahwa pendidikan dan kesehatan dua kebutuhan mendasar rakyat masih jauh dari pemerataan.
Kapitalisme: Sumber Masalah Utama
Mengapa kondisi ini terus berulang? Jawabannya ada pada sistem yang kita anut: kapitalisme.
Kapitalisme memandang pendidikan dan kesehatan bukan sebagai hak rakyat, melainkan sebagai peluang bisnis. Negara hanya berperan sebagai pembuat aturan, sementara pelaksanaan layanan banyak diserahkan kepada swasta. Akibatnya, kualitas layanan sangat bergantung pada kemampuan finansial.
Sekolah dengan fasilitas lengkap hanya bisa dinikmati mereka yang mampu membayar mahal. Rumah sakit dengan pelayanan modern pun lebih ramah pada kalangan berduit. Rakyat miskin terpaksa berpuas diri dengan layanan seadanya, bahkan sering tidak terjangkau sama sekali.
Kapitalisme juga hanya melirik daerah yang dianggap bernilai ekonomi. Infrastruktur pendidikan dan kesehatan di kota besar lebih diprioritaskan dibanding pelosok yang jauh dari pusat ekonomi. Inilah yang membuat ketimpangan semakin lebar.
Dengan kata lain, kapitalisme menjadikan pendidikan dan kesehatan sebagai komoditas. Hasilnya sudah jelas: diskriminasi, ketidakadilan, dan kesenjangan yang semakin dalam.
Islam: Menjamin Kesejahteraan Rakyat
Islam datang dengan pandangan berbeda. Dalam Islam, negara diposisikan sebagai raa’in—pengurus rakyat yang bertanggung jawab penuh terhadap kesejahteraan mereka. Rasulullah ï·º bersabda:
“Seorang imam adalah pengurus rakyat, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang ia urus.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Itu artinya, negara wajib memastikan seluruh rakyat mendapatkan hak dasarnya, termasuk pendidikan dan kesehatan, secara adil dan merata.
Dalam sistem Islam, pendidikan tidak sekadar mengejar capaian akademik, tetapi juga membentuk manusia yang memiliki kepribadian Islam, berilmu, sekaligus bertakwa.
Pendidikan diberikan gratis dan merata, tanpa memandang status sosial. Negara membangun sekolah, menyiapkan guru, serta menyediakan sarana prasarana yang menunjang proses belajar mengajar hingga pelosok.
Begitu pula dengan kesehatan. Negara Islam menjadikan layanan medis sebagai hak publik, bukan barang dagangan. Rumah sakit, klinik, hingga tenaga medis dikelola negara, bukan swasta.
Layanan kesehatan diberikan gratis, sehingga rakyat tidak terbebani biaya. Dengan begitu, tidak ada perbedaan layanan antara si kaya dan si miskin.
Dana dari Kekayaan Alam
Mungkin muncul pertanyaan: dari mana negara mendapatkan dana untuk semua itu?
Islam telah menetapkan mekanisme keuangan yang kokoh melalui baitulmal. Sumber dana negara berasal dari pengelolaan kekayaan alam seperti tambang, minyak, gas, hutan, laut yang berstatus kepemilikan umum. Semua itu dikelola negara, bukan diserahkan kepada swasta atau asing.
Hasil pengelolaan yang besar ini digunakan untuk membiayai kebutuhan rakyat, termasuk pendidikan dan kesehatan. Dengan model ini, negara Islam memiliki sumber keuangan yang sangat kuat untuk memberikan pelayanan publik secara gratis dan merata.
Menutup Jurang Ketimpangan
Dengan penerapan Islam secara kafah, jurang ketimpangan pendidikan dan kesehatan akan tertutup. Tidak akan ada lagi cerita anak putus sekolah karena biaya, atau rakyat miskin yang tidak berobat karena takut tagihan rumah sakit.
Islam memastikan semua warga negara, baik di kota maupun desa, di pusat maupun di pelosok, memperoleh akses yang sama. Fasilitas publik seperti sekolah, rumah sakit, jalan, jembatan, dan transportasi dibangun untuk mendukung layanan dasar rakyat. Semua itu bukan lagi mimpi, melainkan kenyataan yang pernah tercatat dalam sejarah peradaban Islam.
Khatimah
Pendidikan dan kesehatan adalah hak setiap warga negara, bukan barang dagangan yang diperjualbelikan. Namun, di bawah kapitalisme, keduanya diperlakukan layaknya komoditas. Akibatnya, rakyat miskin semakin terpinggirkan, sementara layanan berkualitas hanya bisa dinikmati kalangan tertentu.
Sudah saatnya kita menoleh pada sistem Islam yang menempatkan negara sebagai pengurus rakyat, bukan sekadar regulator. Dengan pengelolaan sumber daya alam yang adil dan mekanisme baitulmal yang kokoh, negara Islam mampu menyediakan pendidikan dan kesehatan gratis, merata, dan berkualitas.
Hanya dengan kembali pada Islam kaffah, janji kemerdekaan untuk menyejahterakan rakyat bisa benar-benar terwujud.
Oleh: Ema Darmawaty
Praktisi Pendidikan
0 Komentar