Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Pajak Serupa dengan Zakat: Propaganda Kapitalis Menjerat Rakyat


Topswara.com -- Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjadi pembicara pada acara Sarasehan Nasional Ekonomi Syariah Refleksi Kemerdekaan RI 2025, Rabu (13/8/2025). Dalam pidatonya, Sri Mulyani mengatakan kewajiban membayar pajak sama seperti menunaikan zakat dan wakaf. (cnbcindonesia.com, 14-8-2025)

Sementara itu, Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal mengapresiasi kajian CELIOS. Ia mengaku juga baru mendengar beberapa potensi perpajakan tersebut, salah satunya dari biodiversity alias keanekaragaman hayati. (cnnindonesia.com, 12-8-2025)

Dalam pidato Menteri Keuangan Sri Mulyani tersebut sekilas pernyataan itu terdengar manis. Namun faktanya, ucapan tersebut justru menyamarkan realitas pahit bahwa penerimaan pajak sedang seret, sementara kebutuhan belanja negara terus membengkak. 

Pajak masih dijadikan tulang punggung APBN, bahkan kini pemerintah mencari objek baru untuk dipajaki mulai dari warisan, karbon, hingga rumah ketiga. Pajak lama pun dinaikkan berkali-kali lipat, seperti PBB, yang kini memicu gejolak sosial di berbagai daerah.

Rakyat makin dicekik oleh kebijakan ini. Banyak keluarga terpaksa mengorbankan kebutuhan pokok hanya untuk membayar pajak. Di sisi lain, para kapitalis justru semakin dimanjakan dengan fasilitas pemerintah dari keringanan regulasi hingga izin menguasai sumber daya alam yang mestinya menjadi milik rakyat. 

Dengan kata lain, sistem kapitalisme yang diterapkan negara telah menempatkan pajak sebagai instrumen untuk memiskinkan rakyat, sementara keuntungan mengalir deras ke kantong pemodal besar.

Inilah perbedaan mendasar antara pajak dalam kapitalisme dengan zakat dan wakaf dalam Islam. Zakat adalah kewajiban syar’i yang dikenakan hanya pada muslim kaya dengan syarat tertentu (nisab dan haul). Distribusinya pun jelas, hanya untuk delapan asnaf sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an (QS. At-Taubah: 60). 

Wakaf hukumnya sunnah, menjadi amal jariyah bagi mereka yang mampu. Sedangkan pajak dalam Islam tidak permanen, hanya dipungut dari lelaki muslim kaya pada kondisi darurat ketika kas negara kosong, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Al-Amwal.

Lebih jauh, dalam sistem Islam (khilafah), keuangan negara tidak bergantung pada pajak. Baitulmal memiliki banyak sumber pemasukan, terutama dari pengelolaan sumber daya alam milik umum seperti tambang, energi, dan hutan yang dikelola langsung oleh negara, bukan diserahkan kepada korporasi. 

Dengan sistem ini, negara mampu menjamin kebutuhan pokok setiap rakyat dari pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan hingga keamanan.

Kesejahteraan akan dirasakan oleh rakyat tanpa harus menzalimi mereka dengan beban pajak berlapis. Sistem Islam menutup rapat peluang kapitalis untuk menguasai kekayaan negeri dan memastikan bahwa setiap rupiah dari kekayaan umat kembali untuk kemaslahatan umat.

Karena itu, menyamakan pajak dengan zakat dan wakaf adalah kekeliruan serius. Pajak dalam kapitalisme bersifat zalim, karena diambil tanpa batas bahkan dari rakyat miskin, lalu digunakan untuk proyek-proyek yang lebih menguntungkan kapitalis ketimbang menyejahterakan rakyat. Sementara zakat dan wakaf adalah ibadah yang suci, dengan aturan, objek, dan tujuan yang sudah jelas dari Allah.

Dan selama negeri ini tetap berada dalam jerat kapitalisme, rakyat akan terus diperas dengan pajak. Maka jelas, menyamakan pajak dengan zakat dan wakaf hanyalah propaganda murahan untuk menutupi rapuhnya sistem kapitalisme. 

Saatnya umat sadar bahwa solusi sejati bukan menambah atau memperluas pajak, melainkan meninggalkan sistem zalim kapitalisme dan kembali pada sistem ekonomi Islam kaffah dalam naungan khilafah.

Wallahu 'alam.


Oleh: Ana Rohmatin
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar