Topswara.com -- Publik sempat dihebohkan dengan pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyamakan kewajiban membayar pajak dengan zakat dan wakaf.
Menurutnya, ketiganya sama-sama menyalurkan harta untuk pihak yang membutuhkan. (CNBC Indonesia 14/8/2025). Pernyataan ini jelas menimbulkan tanda tanya, benarkah pajak dapat disamakan dengan zakat dan wakaf?
Bagi rakyat kecil, perbandingan itu terasa janggal. Mereka sudah terbebani berbagai pajak, lalu masih wajib zakat, bahkan mungkin ingin berwakaf. Wacana pajak baru terus digulirkan pemerintah mulai dari pajak karbon, rumah ketiga, hingga warisan sementara pajak yang ada justru dinaikkan. Akibatnya, beban rakyat semakin berat.
Dalam sistem kapitalisme, pajak menjadi sumber utama APBN. Sayangnya, kekayaan alam yang seharusnya milik rakyat justru dikuasai korporasi atau bahkan asing. Rakyat kecil dicekik kewajiban pajak atas penghasilan, konsumsi, bahkan rumah sederhana.
Sebaliknya, korporasi besar justru mendapat fasilitas berupa insentif, keringanan, hingga tax amnesty. Tidak heran kesenjangan makin lebar: rakyat miskin makin terpuruk, sementara segelintir kapitalis makin kaya.
Dana pajak yang terkumpul pun sering tidak kembali untuk menyejahterakan rakyat. Banyak yang terserap ke proyek besar yang lebih menguntungkan korporasi, atau program politik yang minim manfaat langsung bagi masyarakat.
Tak heran bila pajak kerap dianggap sebagai instrumen zalim: tidak hanya menarik harta orang kaya, tetapi juga merampas pendapatan terakhir rakyat miskin.
Berbeda jauh dengan kapitalisme, Islam memiliki aturan yang khas maupun jelas tentang harta. Zakat adalah kewajiban ibadah yang hanya berlaku bagi muslim kaya ketika hartanya mencapai nisab dan haul.
Penerima zakat pun telah ditentukan dalam QS. At-Taubah:60, sehingga tak bisa dipolitisasi. Sementara wakaf hukumnya sunnah, berupa amal sosial sukarela untuk memberi manfaat jangka panjang seperti masjid, sekolah, dan rumah sakit. Tidak ada pemaksaan sebagaimana pajak kapitalis.
Adapun pajak dalam Islam bukanlah sumber utama negara. Pajak hanya dipungut secara temporer, dalam kondisi darurat ketika kas Baitul Mal kosong, dan hanya dari muslim laki-laki yang kaya.
Selain itu, Islam memiliki banyak sumber pemasukan: pengelolaan sumber daya alam (milik umum yang wajib dikelola negara untuk rakyat), kharaj (pajak tanah produktif), jizyah (kontribusi non-Muslim), fai dan ghanimah. Dengan beragam sumber ini, negara tidak menggantungkan keuangan pada pajak.
Maka jelaslah perbedaan keduanya. Kapitalisme menjadikan pajak sebagai urat nadi negara, meski menindas rakyat kecil dan memperkaya kapitalis.
Islam menempatkan zakat sebagai ibadah wajib yang menumbuhkan solidaritas, wakaf sebagai amal sukarela yang berkelanjutan, dan pajak hanya sebagai instrumen darurat. Menyetarakan pajak dengan zakat dan wakaf tidaklah tepat.
Kini pertanyaannya: sampai kapan rakyat akan terus dicekik pajak yang kian meluas? Tidakkah sudah saatnya meninjau ulang sistem ekonomi? Islam menawarkan solusi adil dan menyejahterakan, dengan sistem keuangan yang menjaga harta untuk kemaslahatan seluruh umat.
Kesejahteraan sejati tidak lahir dari kapitalisme yang rakus, melainkan dari penerapan Islam secara kaffah. Jika sistem Islam diterapkan, kesejahteraan bukan lagi janji, melainkan nyata dirasakan seluruh rakyat.
Wallahu A’lam bisshawwab.
Oleh: Shofiyah Amalia Achmad
Aktivis Muslimah
0 Komentar