Topswara.com -- Beberapa waktu lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani membuat pernyataan yang bikin heboh. Ia mengatakan bahwa kewajiban membayar pajak sama dengan zakat dan wakaf. Tujuannya jelas: supaya masyarakat makin patuh bayar pajak, karena kondisi penerimaan negara lagi seret.
Pernyataan ini tentu mengundang banyak tanya. Apa iya pajak bisa disamakan dengan zakat dan wakaf? Bukankah keduanya punya aturan masing-masing dalam Islam? Mari kita bahas pelan-pelan.
Pajak, Sang Penopang APBN
Fakta pertama, pajak memang jadi tulang punggung APBN. Hampir 70 persen lebih penerimaan negara tiap tahun datang dari pajak. Kalau pajak seret, APBN langsung ngos-ngosan. Karena itu, pemerintah terus mencari cara agar pajak makin banyak.
Mulai dari menaikkan tarif pajak yang sudah ada, seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang nilainya bisa melonjak berkali-kali lipat, sampai membuat objek pajak baru. Beberapa di antaranya cukup bikin kening berkerut: pajak warisan, pajak karbon, hingga pajak untuk rumah ketiga.
Singkatnya, rakyat jadi tumpuan utama keuangan negara. Dari bangun tidur sampai tidur lagi, nyaris semua aktivitas ada pajaknya: beli bensin, makan di restoran, belanja online, bahkan punya rumah pun kena pajak tahunan.
Kapitalisme: Rakyat Dicekik, Kapitalis Dimanjakan
Pertanyaan pentingnya: ke mana larinya semua uang pajak itu? Sayangnya, dalam sistem kapitalisme yang kita jalankan sekarang, pajak lebih banyak dipakai untuk hal-hal yang ujung-ujungnya menguntungkan para pemodal besar.
Contoh gampang, proyek infrastruktur. Memang ada manfaatnya buat rakyat, tapi jangan lupa: jalan tol, pelabuhan, dan bandara yang dibangun juga memudahkan distribusi barang bagi perusahaan besar. Kapitalis yang menikmati, rakyat tetap bayar mahal.
Ironisnya lagi, para pemodal justru sering mendapat fasilitas khusus. Ada keringanan pajak, ada tax holiday, bahkan ada tax amnesty yang bikin mereka bisa “cuci dosa” pajaknya dengan mudah. Jadi, ketika rakyat kecil bayar pajak sampai ngos-ngosan, para kapitalis malah dimanjakan oleh aturan.
Inilah wajah kapitalisme: rakyat diperas, pemodal dipeluk.
Pajak versus Zakat dan Wakaf: Jelas Beda!
Nah, di sinilah letak persoalan dari pernyataan Menkeu. Pajak disamakan dengan zakat dan wakaf. Padahal, keduanya punya perbedaan yang mendasar.
Pertama, zakat. Ini kewajiban syariat yang jelas aturannya. Hanya diwajibkan bagi muslim yang hartanya sudah mencapai nisab dan haul. Penerimanya pun ditentukan langsung oleh Allah dalam Al-Qur’an: delapan golongan (asnaf) yang berhak, mulai dari fakir, miskin, hingga fi sabilillah. Jadi, zakat benar-benar terarah untuk membantu mereka yang membutuhkan.
Kedua, wakaf. Hukumnya sunnah, bukan wajib. Wakaf lahir dari kerelaan seseorang untuk menyerahkan sebagian hartanya demi kemaslahatan umat. Biasanya untuk membangun masjid, sekolah, atau fasilitas sosial. Jadi, wakaf bukan pungutan yang bisa dipaksakan.
Ketiga, pajak dalam Islam. Pajak memang ada, tapi sifatnya temporer. Pajak hanya dipungut dalam kondisi darurat, misalnya ketika kas negara kosong dan ada kebutuhan mendesak. Itu pun hanya diambil dari muslim yang kaya, bukan dari semua orang. Jadi, jelas sekali pajak dalam Islam tidak sama dengan zakat atau wakaf.
Baitulmal: Kas Negara dalam Islam
Kalau begitu, dari mana negara dalam Islam mendapatkan pemasukan? Apakah hanya mengandalkan zakat? Jawabannya: tidak.
Dalam sistem Islam, ada lembaga keuangan negara yang disebut baitulmal. Pemasukannya beragam: zakat, kharaj, jizyah, ghanimah, fai’, hingga pengelolaan sumber daya alam (SDA).
Nah, di sinilah letak bedanya dengan sistem sekarang. Dalam Islam, SDA seperti tambang, hutan, air, dan energi dikelola langsung oleh negara. Hasilnya digunakan sebesar-besarnya untuk rakyat. Bukan diserahkan ke swasta atau asing.
Dengan cara ini, baitulmal punya sumber pemasukan yang sangat kuat. Negara tidak perlu menjadikan pajak sebagai tulang punggung, apalagi sampai mencekik rakyat dengan pajak yang bertubi-tubi.
Kesejahteraan Sejati Hanya dengan Islam
Kalau kita mau jujur, sistem pajak yang berlaku saat ini memang tidak adil. Rakyat kecil yang gajinya pas-pasan tetap wajib bayar pajak. Sementara pemilik modal besar justru bisa mencari celah, bahkan difasilitasi untuk mengurangi kewajiban mereka.
Padahal, dalam Islam, keadilan ekonomi ditegakkan dengan tegas. Zakat disalurkan untuk yang berhak, wakaf menjadi amal jariyah sukarela, pajak hanya diambil saat darurat, dan SDA dikelola negara untuk kemaslahatan semua orang.
Bayangkan kalau sistem ini benar-benar diterapkan. Tidak akan ada lagi rakyat yang kelimpungan karena pajak rumah melonjak. Tidak ada lagi yang takut makan enak karena harga kebutuhan melonjak akibat pajak. Semua orang akan merasakan hasil kekayaan negeri ini secara adil.
Khatimah
Maka, menyamakan pajak dengan zakat dan wakaf jelas keliru. Pajak dalam sistem kapitalisme adalah beban yang menindas rakyat. Zakat dan wakaf adalah ibadah mulia yang punya aturan syariat jelas.
Jika benar ingin menyejahterakan rakyat, bukan dengan menambah pajak atau mencari objek pajak baru. Solusinya adalah dengan kembali pada sistem ekonomi Islam yang kaffah, di mana negara tidak bergantung pada pajak, melainkan mengelola kekayaan alam untuk kepentingan rakyat.
Uwais al-Qarni dimuliakan karena baktinya pada ibunya. Begitu juga sebuah negara akan dimuliakan bila ia berbakti kepada rakyatnya—bukan kepada kapitalis.
Oleh: Ema Darmawaty
Praktisi Pendidikan
0 Komentar