Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Membakar Bumi, Menjual Amanah: Karhutla di Balik Kapitalisme


Topswara.com -- Setiap menjelang musim kemarau, jika langit memerah dan asap menutup cakrawala Banua, rakyat tahu musim karhutla tiba lagi. Data BMKG dan BNPB menunjukkan peningkatan signifikan titik panas menjelang puncak kemarau. 

Ribuan hektare lahan terbakar, termasuk area konsesi sawit. Menteri Lingkungan Hidup turun langsung ke Kalsel untuk menegaskan penegakan hukum dan penanganan darurat (kompas.com, 9/8/2025; KemenLHK, 10/8/2025).

Bagi masyarakat Kalsel, karhutla bukan sekadar bencana alam, melainkan “pandemi tahunan” yang menghantam kesehatan, merusak ekosistem, dan mengancam pangan. WALHI Kalsel mencatat ada 120 hotspot hingga akhir Juli 2025, sebagian berada di wilayah konsesi perkebunan (banjartimes.com, 4/08/2025).

Akar masalah karhutla tak lepas dari warisan regulasi Orde Baru. UU No. 5 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan memberi dasar hukum lahirnya Hak Pengusahaan Hutan (HPH) skala besar. Dengan UU ini, hutan diperlakukan sebagai komoditas kayu dan devisa. 

Korporasi diberi konsesi hingga ratusan ribu hektare, sementara masyarakat adat tersisih. Walau sudah diganti, jejak UU ini tetap terasa. Pola izin luas, monopoli, dan konsesi jangka panjang masih jadi wajah utama pengelolaan hutan.

Dari sinilah lingkaran setan bermula. Perusahaan membuka lahan murah dengan bakar, pemerintah menutup mata, rakyat jadi korban. 

Di bawah kapitalisme sekuler, mekanisme konsesi sederhana; izin dibuka, pengawasan lemah, dan pembakaran jadi cara paling murah membuka lahan. Biaya ditanggung rakyat lewat udara beracun, penyakit, dan gagal panen, sementara korporasi mengeruk laba.

Perspektif Islam

Islam memandang SDA sebagai amanah yang tidak boleh dimonopoli swasta. Negara bertugas mengelola agar manfaatnya kembali kepada rakyat. Rasulullah SAW bersabda: “Pemimpin adalah pengurus rakyat, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya” (HR. Bukhari dan Muslim).

Adapun solusi Islam untuk menangani karhutla:

Langkah Jangka Pendek (Darurat)

Pertama, pemadaman maksimal dengan seluruh sumber daya negara. Tidak ada alasan menunggu bantuan asing, karena negara wajib sigap mengerahkan satelit pemantau, drone, helikopter water bombing, hingga pasukan pemadam darat. Negara juga harus menutup celah korupsi dalam anggaran darurat agar setiap rupiah benar-benar sampai ke lapangan.

Kedua, layanan kesehatan gratis dan menyeluruh bagi korban asap. Rumah sakit dibuka tanpa syarat biaya, masker dan tabung oksigen didistribusikan ke desa-desa terdampak, serta posko kesehatan permanen didirikan. 

Islam mewajibkan negara menjamin kesehatan rakyat, berbeda dengan sistem kapitalisme yang masih membebankan biaya kepada masyarakat miskin.

Ketiga, bantuan hidup dari baitul mal untuk menjamin keberlangsungan keluarga korban. Kompensasi bukan sekadar janji politik, tetapi hak rakyat yang harus ditunaikan. Distribusi logistik dan bantuan tunai dilakukan cepat, tanpa prosedur birokrasi berbelit.

Keempat, penegakan hukum syariat yang adil. Dalam Islam, pelaku pembakaran akan dikenai sanksi sesuai tingkat kesalahan: jika disengaja maka dijatuhi ta’zir berat, jika lalai maka tetap wajib ganti rugi. 

Berbeda dengan hukum kapitalis yang sering tajam ke bawah namun tumpul ke atas, syariat menjerat korporasi besar sekalipun.

Langkah Jangka Panjang (Sistemis)

Pertama, menghapus kepemilikan swasta atas hutan, karena hutan adalah milik umum. Rasulullah SAW bersabda: “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api” (HR. Abu Dawud, Ahmad). Negara menjadi pengelola tunggal, memastikan hasil hutan dinikmati rakyat, bukan segelintir korporasi.

Kedua, tata kelola syariah yang berorientasi jangka panjang. Negara membangun sekat kanal untuk mencegah kebakaran gambut, melakukan penghijauan dengan tanaman endemik, serta membiayai penelitian teknologi ramah lingkungan dari Baitul Mal. Ini berbeda dengan pendekatan kapitalisme yang reaktif dan bergantung pada dana CSR perusahaan.

Ketiga, mengakhiri politik transaksional yang melahirkan obral konsesi. Dalam Islam, kepemimpinan bukan ajang mencari modal politik, melainkan amanah. Sistem demokrasi sekuler telah terbukti menjadi ladang barter izin lahan demi logistik pemilu, sedangkan khilafah menutup rapat ruang suap dan lobi kapitalis.

Keempat, membentuk lembaga qadhi hisbah sebagai pengawas permanen lingkungan. Qadhi hisbah memiliki otoritas menindak langsung pelanggaran tanpa harus menunggu laporan panjang. Dengan mekanisme ini, pengawasan lingkungan menjadi tegas, cepat, dan terhindar dari intervensi politik.

Kelima, membangun kesadaran rakyat bahwa menjaga hutan adalah ibadah, bukan sekadar agenda ekonomi. Edukasi berbasis akidah Islam menjadikan rakyat partner negara dalam melindungi hutan, bukan musuh yang dicurigai.

Karhutla adalah buah kerakusan kapitalis yang dilegalkan sistem demokrasi sekuler. Hukum buatan manusia gagal menjerat dalang utama, sementara rakyat jadi korban.

Allah SWT telah berfirman: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia; agar Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, supaya mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. ar-Ruum: 41).

Maka, solusi sejati adalah kembali pada sistem Allah. Dengan syariat Islam kaffah di bawah kepemimpinan khalifah, hutan akan terjaga, rakyat terlindungi, dan karhutla tak lagi menjadi rutinitas tahunan. []


Oleh: Zahida Ar-Rosyida, S.Hut.
(Aktivis Muslimah Banua)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar