Topswara.com -- Sekali merdeka tetap merdeka
Selama hayat masih dikandung badan
Kita tetap setia, tetap sedia
Mempertahankan Indonesia
Kita tetap setia, tetap sedia
Membela negara kita
Itulah penggalan lagu ‘’Hari Merdeka’’ yang beberapa hari lalu dikumandangkan di penjuru negeri dari Sabang sampai Merauke. Di usia yang tak lagi muda sebagai sebuah negara yang "merdeka," sayangnya negeri ini tak betul-betul terasa merdeka jika melihat realitas yang ada.
Berbagai seremonial selama pekan kedua bulan Agustus ini telah berlangsung. Berbagai macam lomba diadakan, bahkan pesta rakyat yang menyediakan berbagai jamuan pun dihidangkan.
Semuanya merayakan, namun kiranya rakyat sadar dengan apa yang sesungguhnya menimpa mereka. Mungkin saja yang kita saksikan di bulan Agustus ini bukan gelak tawa, keseruan, dan rasa bangga.
Melainkan berubah menjadi kegeraman, kesedihan yang mendalam bahkan angkara murka atas apa yang dilakukan para penguasa.
Ilusi Merdeka
Beberapa pejabat negeri bahkan presiden saat ini seringkali mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang terkadang diluar nalar saat mengurusi negeri ini. Sebut saja, pernyataan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia yang mengomentari rakyat yang protes karena aktivitas deforestasi.
“Pertanyaan saya, siapa yang memprotes mereka di saat itu, sekarang negara kita negara-negara berkembang yang punya sumber daya alam yang baru memulai untuk berpikir ada nilai tambah, untuk kemudian bisa menyejahterakan rakyatnya, untuk bisa membangun, kok ada yang merasa terganggu. Ada apa di balik itu,” tukasnya.
Pusat Studi Bencana IPB mengeluarkan artikel yang menyatakan tentang bencana ekologis yang terjadi di Indonesia. Indonesia, yang pernah dikenal sebagai paru-paru dunia dengan hutan tropis terluas ketiga di dunia, kini menghadapi tekanan luar biasa akibat alih fungsi lahan yang tidak terkendali.
Pembukaan hutan untuk perkebunan sawit, pertambangan, pemukiman, dan infrastruktur telah menyebabkan hilangnya jutaan hektare tutupan hutan dalam beberapa dekade terakhir. Akibatnya, fungsi ekologis hutan sebagai penahan air dan pengatur tata air alami semakin melemah.
Bahkan bukan hanya sekaliber menteri, presiden kita pun memiliki pendapat serupa. Menurutnya, lahan sawit menyebabkan deforestasi adalah tuduhan yang keliru. "Enggak usah takut apa itu katanya membahayakan, deforestation, namanya kelapa sawit ya pohon, ya kan?" tutur Prabowo.
Seakan-akan para pengurus negeri ini, tak peduli jika mayoritas rakyatnya merasakan kesulitan hidup akibat bencana ekologis demi mengejar predikat negara maju yang dasar penyematannya pun tak jelas. Inikah yang kita sebut sebagai ‘’merdeka’’ yang diagung-agungkan dan dielu-elukan tiap tahunnya?
Merdeka tetapi Masih Terjajah
Meski penjajahan secara fisik melalui kekuatan militer sudah tidak lagi kita alami, bentuk penjajahan lain justru masih berlangsung. Penjajahan dalam wujud yang lebih halus namun menghancurkan yakni penjajahan dalam bidang pemikiran, ekonomi, politik, dan ideologi.
Kini, dominasi tersebut hadir dalam format yang lebih kekinian, menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Ia menjelma melalui regulasi hukum dan kesepakatan internasional yang lahir karena lemahnya posisi tawar bangsa kita di hadapan negara-negara adidaya.
Fenomena ini dikenal sebagai neokolonialisme, bukti nyata bahwa bangsa kita sesungguhnya belum sepenuhnya merdeka, terlebih secara ideologis dan sistemis. Sistem politik dan ekonomi dari negara penjajah telah berakar kuat di negeri ini, karena dibarengi dengan infiltrasi ideologi yang mereka sebarkan.
Inilah wajah baru dari imperialisme global. Penjajahan modern, yang digerakkan oleh ideologi kapitalisme, berorientasi penuh pada kepentingan materi. Tak heran, berbagai kebijakan di negeri ini kerap memihak kepentingan kaum kapitalis yang serakah.
Kemerdekaan yang sejati semestinya tercermin dalam tercapainya kesejahteraan rakyat, yaitu terpenuhinya kebutuhan pokok setiap individu. Namun, ketika banyak rakyat masih kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya, hal itu menunjukkan bahwa kemerdekaan kita belum sepenuhnya terwujud.
Selain itu, kemerdekaan juga seharusnya terlihat ketika umat Islam bebas berpikir berdasarkan ajaran Islam. Sayangnya, sistem sekuler kapitalisme yang diterapkan justru bertentangan dengan kepentingan rakyat.
Sistem ini lebih berpihak pada kepentingan kaum pemodal, sehingga yang terjadi adalah kesenjangan—kapitalis semakin kaya, sementara rakyat semakin terpuruk dalam kemiskinan.
Oleh karena itu, berharap kemerdekaan hakiki diraih melalui sistem sekuler kapitalistik adalah hal yang utopis, bak hayalan di siang bolong.
Tidak mungkin masyarakat mendapatkan kemakmuran, kesejahteraan, keamanan dan berbagai perlindungan yang akan diberikan oleh negara selama negara memandang rakyatnya hanya sebagai konsumen belaka dan jalan untuk meraih kekuasaan. []
Oleh: Muflihana, S.Pd.
(Aktivis Muslimah)
0 Komentar