Topswara.com -- Publik kembali dibuat geleng-geleng kepala. Beredar kabar bahwa anggota DPR bisa mengantongi penghasilan lebih dari Rp100 juta per bulan. Jumlah itu bukan sekadar gaji pokok, tetapi ditambah dengan beragam tunjangan: rumah, transportasi, bahkan tunjangan beras dengan nominal fantastis.
Di tengah rakyat yang kesulitan membayar listrik, membeli beras, hingga bertahan hidup dengan berutang, apakah pantas wakil rakyat menikmati fasilitas sebesar itu? Banyak pengamat menilai, besarnya tunjangan ini “tidak layak di tengah kondisi ekonomi yang serba sulit” dan jelas “tidak sepadan dengan kinerja DPR yang sering mengecewakan.”
Kesenjangan yang Menganga
Fenomena ini bukan hal baru. Dalam sistem demokrasi kapitalisme, kesenjangan antara penguasa dan rakyat adalah hal yang wajar.
Para wakil rakyat bisa hidup nyaman dengan berbagai fasilitas, sementara rakyat harus menanggung beban kenaikan harga BBM, tarif listrik, pajak tanah, hingga harga kebutuhan pokok. Ironisnya, gaji besar mereka justru berasal dari pajak rakyat yang dipungut tanpa henti.
Demokrasi dan Politik Transaksional
Kenapa hal ini terus berulang? Karena inilah wajah asli demokrasi kapitalisme, sistem yang dibangun atas asas manfaat. Jabatan tidak lagi dilihat sebagai amanah, melainkan sarana mengumpulkan keuntungan.
Politik transaksional menjadi lumrah. Kursi parlemen didapat dengan biaya politik yang tinggi, sehingga ketika sudah duduk di kursi empuk, fokus utamanya adalah “balik modal” dan mencari keuntungan sebesar-besarnya.
Alhasil, empati terhadap rakyat menguap. Jabatan yang semestinya digunakan untuk memperjuangkan kepentingan umat, justru dijadikan privilege untuk foya-foya. Tidak heran jika para wakil rakyat bisa menetapkan tunjangan besar untuk dirinya sendiri, seakan-akan rakyat hanya ada untuk membayar.
Islam: Jabatan Adalah Amanah
Islam memandang jabatan sebagai amanah berat yang akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah.
Rasulullah ï·º bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Seorang anggota Majelis Umat (semacam wakil rakyat dalam sistem Islam) sadar betul bahwa kedudukannya bukan hak istimewa, melainkan tugas berat untuk mengawasi penguasa sekaligus menyampaikan aspirasi umat.
Dalam sistem Islam, mereka tidak membuat undang-undang, karena hukum sudah jelas bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah. Tugas utama mereka adalah mengoreksi kebijakan penguasa agar tetap sesuai syariat, serta memastikan hak rakyat terjamin.
Gaji pejabat pun tidak ditentukan sesuka hati. Negara memberi secukupnya, sesuai kebutuhan, bukan angka berlebihan. Sejarah mencatat, Khalifah Umar bin Khattab mematikan lentera negara saat membahas urusan pribadi. Sebab, minyak lentera itu berasal dari harta umat, dan beliau tidak mau menggunakannya untuk kepentingan pribadi.
Harta Negara untuk Kesejahteraan Rakyat
Islam juga memiliki aturan jelas soal harta negara. Sumber daya alam, tambang, dan kekayaan publik adalah milik rakyat. Negara wajib mengelolanya, lalu hasilnya dikembalikan untuk kemaslahatan seluruh umat. Dari sinilah negara menyediakan pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan dasar secara gratis.
Allah SWT berfirman: “…supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.”
(QS. Al-Hasyr [59]: 7).
Ayat ini menegaskan bahwa distribusi kekayaan tidak boleh hanya dinikmati segelintir elite. Negara wajib memastikan kesejahteraan menyentuh seluruh lapisan masyarakat.
Zakat pun dikelola langsung oleh negara dan disalurkan tepat sasaran. Tidak ada ruang bagi pejabat untuk memperkaya diri, karena setiap rupiah akan dimintai hisab.
Saatnya Berpikir Ulang
Wajar jika rakyat kecewa dan marah melihat gaji fantastis DPR. Tetapi kita juga harus sadar bahwa persoalan ini bukan sekadar soal individu serakah, melainkan buah dari sistem demokrasi kapitalisme yang melahirkan pejabat minim empati dan kebijakan yang berat sebelah.
Islam menawarkan solusi. Dengan asas akidah Islam, jabatan dipandang sebagai amanah, bukan privilege. Dengan syariat Allah, harta negara dikelola untuk kesejahteraan umat, bukan untuk kepentingan segelintir orang.
Rasulullah ï·º bersabda “Imam (pemimpin) adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi)
Sudah saatnya kita bertanya dengan jujur mau terus bertahan dengan sistem yang menindas rakyat, atau berani menoleh pada sistem yang benar-benar menjamin keadilan dan kesejahteraan?
Wallahu a‘lam bish-shawab.
Oleh: Ema Darmawaty
Praktisi Pendidikan
0 Komentar