Topswara.com -- Ketika berbicara tentang kemerdekaan, mayoritas manusia sering mengaitkannya dengan terbebasnya suatu bangsa dari belenggu penjajahan fisik, lepas dari penjajahan militer, ekonomi, atau politik.
Namun, hakikat kemerdekaan sejatinya jauh lebih mendalam daripada sekadar berdiri di atas kaki sendiri secara lahiriah. Kemerdekaan hakiki adalah ketika manusia benar-benar terbebas dari segala bentuk penghambaan kepada sesama manusia, kepada hawa nafsu, atau kepada ideologi buatan manusia, lalu mengikatkan diri hanya kepada Allah SWT semata.
Allah SWT berfirman, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56).
Ayat ini menegaskan bahwa hakikat eksistensi manusia adalah untuk menjadi hamba Allah. Ketika manusia menyembah selain Allah, baik dalam bentuk tunduk kepada aturan ciptaan manusia, menjadikan hawa nafsu sebagai penentu hidup, ataupun menerima dominasi peradaban asing, maka sesungguhnya mereka tengah terjerumus dalam bentuk penjajahan spiritual dan ideologis.
Kemerdekaan sejati adalah ‘ubudiyyah lillah yaitu mengabdi hanya kepada Allah SWT. Inilah kemerdekaan yang membebaskan manusia dari segala bentuk perbudakan modern yang tersamar.
Syaikh Taqiyyudin An-Nabhani, pendiri Hizb ut-Tahrir, menjelaskan bahwa hakikat penjajahan (al-isti‘mar) bukan semata-mata penguasaan fisik atau pengambilalihan kekayaan suatu negeri.
Menurut beliau, penjajahan yang paling berbahaya adalah penjajahan pemikiran dan perasaan, yaitu ketika suatu bangsa dipaksa atau diarahkan untuk meninggalkan ideologinya (Islam) dan menggantinya dengan ideologi asing, seperti kapitalisme atau sosialisme.
Dalam kitab Nizham al-Islam dan karya lainnya, beliau menegaskan bahwa Barat tidak sekadar menjajah negeri-negeri muslim untuk merampas sumber daya alam, tetapi lebih dari itu, mereka berusaha menguasai pola pikir, cara pandang, dan sistem kehidupan umat Islam.
Inilah bentuk ist‘imar fikri (penjajahan intelektual) yang membuat umat Islam jauh dari syariat Allah dan menggantungkan diri pada aturan buatan manusia.
Dengan kata lain, ketika umat Islam merasa “merdeka” karena lepas dari kolonialisme fisik, padahal masih terikat dengan sistem kapitalisme, hukum sekuler, dan standar hidup buatan manusia, maka itu bukanlah kemerdekaan hakiki. Mereka masih dalam jeratan penjajahan, hanya saja bentuknya lebih halus dan terselubung.
Kemerdekaan yang sesungguhnya hanya bisa diwujudkan dengan kembali kepada aturan Allah SWT secara total, yaitu melalui penerapan Islam kaffah dalam seluruh aspek kehidupan.
Rasulullah SAW telah menunjukkan jalan ini ketika beliau berhasil membebaskan manusia dari penghambaan kepada sesama manusia, lalu mengikatkan mereka kepada penghambaan kepada Allah semata.
Saat itu, umat Islam tidak lagi tunduk pada aturan buatan Kaisar Romawi atau Raja Persia, melainkan kepada syariat yang diturunkan Allah SWT. Maka lahirlah masyarakat yang benar-benar merdeka, karena tidak ada kekuatan selain Allah yang ditaati.
Kemerdekaan hakiki bukanlah slogan politik atau sekadar simbol perayaan tahunan. Kemerdekaan hakiki adalah kondisi di mana manusia benar-benar terlepas dari penjajahan ideologis, perasaan, dan hukum selain Allah.
Pandangan Syaikh Taqiyyudin An-Nabhani mengingatkan kita bahwa penjajahan paling berbahaya adalah ketika umat Islam merasa “merdeka”, padahal masih terikat dengan sistem kufur buatan manusia.
Oleh karena itu, tugas umat Islam hari ini bukan hanya memperingati kemerdekaan, melainkan memperjuangkan tegaknya Islam sebagai satu-satunya aturan hidup. Hanya dengan cara inilah manusia akan benar-benar terbebas dan meraih kemerdekaan sejati, yakni penghambaan total kepada Allah SWT semata.
Wallahu’alam.
Oleh: Lia Julianti
Aktivis Dakwah Tamansari Bogor
0 Komentar