Topswara.com -- Perundungan terhadap anak kembali menyayat nurani publik. Kali ini terjadi pada seorang siswa SMP di Gunungkidul yang menjadi korban kekerasan oleh teman satu sekolah. Tak hanya dianiaya, pelaku juga membawa tuak saat melakukan aksi tersebut. Ironisnya, pelakunya adalah teman sebaya sang korban (detik.com, 16/05/2025).
Peristiwa itu bukan kasus tunggal. Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat peningkatan kasus kekerasan di sekolah dari 285 kasus (2023) menjadi 293 kasus per Oktober 2024. Sebanyak 31 persennya adalah kasus perundungan (Jawapos.com, 24/10/2024).
Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sepanjang tahun 2023 hingga awal tahun 2025, sebanyak 3.800 anak mengalami trauma mental akibat kekerasan dan perundangan (svr.nu.or.id, 19/02/2025).
Ratusan bukanlah angka yang sedikit. Bahkan yang trauma mencapai ribuan anak. Ini memberikan fakta bahwa perundungan bukan satu dua peristiwa saja. Inilah fenomena gunung es, yang nampak sedikit di permukaan namun jauh lebih banyak dari yang terdata.
Pemerintah tidak menutup mata atas persoalan ini. Ada berbagai upaya yang dilakukan untuk mengatasinya, seperti membuat aturan, membentuk Satgas dan mengadakan sosialisasi serta pelatihan.
Ironisnya, alih-alih berhenti, kasus kekerasan dan perundangan terus terjadi, bahkan cenderung meningkat. Fakta ini menunjukkan bahwa segala upaya yang dilakukan masih belum menyentuh akar persoalan.
Sekularisme dan Kapitalisme Biang Keroknya
Perundungan hanyalah salah satu dari banyak kerusakan moral yang lahir dari sistem hidup sekuler liberal kapitalistik yang tengah diterapkan saat ini. Sistem ini memisahkan agama dari kehidupan dan menjadikan kebebasan sebagai standar bertindak.
Maka tidak heran, anak-anak hari ini tumbuh tanpa akidah yang membimbing, tanpa standar halal-haram dalam berpikir dan bersikap.
Pendidikan berasaskan sekuler hanya melahirkan individu yang pintar akademik namun miskin moral. Atau kaya akan tsaqofah Islam namun nihil implementasi. Sebab pendidikan hanya sekadar transfer ilmu akademik. Lahirlah generasi yang split kepribadiannya.
Orientasi hidup hanya untuk kenikmatan jasadiyah, kebahagiaan semu yang untuk meraihnya pun dengan menghalalkan segala cara, termasuk melakukan tindak kekerasan dan perundungan.
Kapitalisme menjadi lahan subur tumbuhnya kekerasan. Ide kebebasan yang digaungkannya menormalisasi segala tontonan yang dikonsumsi siapa pun termasuk anak-anak.
Meskipun tontonan atau konten tersebut mengarah kepada tindakan kekerasan dan perundungan, masih tetap dianggap hiburan selama belum ada laporan atau protes dari masyarakat. Termasuk media sosial yang sarat dengan ujaran kebencian dan konten kekerasan tidak dikendalikan secara ketat oleh negara.
Lebih ironis lagi, negara tidak memiliki pijakan ideologis dalam menetapkan batas pertanggungjawaban hukum bagi anak. Dalam sistem sekuler, usia menjadi standar, bukan kedewasaan berdasarkan syariat. Maka wajar jika pelaku anak di bawah umur lebih sering “dibina” ketimbang diberi sanksi yang menjerakan.
Semua ini adalah buah busuk dari sistem sekuler kapitalistik. Sistem yang gagal membentuk manusia bertakwa dan justru memproduksi generasi dengan jiwa kosong dan perilaku bengis.
Islam Kaffah dan Solusi Sistemis
Berbeda dengan sistem sekuler, Islam memandang anak sebagai amanah yang harus dipersiapkan menjadi mukallaf. Baligh adalah awal pertanggungjawaban manusia dalam Islam, bukan sekadar usia.
Rasulullah SAW bersabda, “Diangkat pena (catatan amal) dari tiga golongan: orang yang tidur hingga ia bangun, anak kecil hingga ia baligh, dan orang gila hingga ia sadar kembali” (HR. Abu Dawud).
Dengan standar ini, anak yang sudah baligh dikenai tanggung jawab penuh atas amal perbuatannya, termasuk perundungan.
Maka, pelaku akan dikenai sanksi sesuai dengan hukum syariat, baik dalam bentuk hudud (jika masuk kategori kriminal berat) maupun ta’zir (untuk pelanggaran selain hudud dan qishash). Sanksi ini mendidik sekaligus memberi efek jera bagi pelaku dan pelajaran bagi masyarakat.
Di sisi lain, Islam mewajibkan negara membangun sistem pendidikan yang berbasis akidah Islam. Tujuannya bukan sekadar mencetak tenaga kerja, tetapi melahirkan manusia berkepribadian Islam. Yaitu manusia yang memiliki pola pikir dan pola sikap yang islami sejak dini.
Negara juga bertanggung jawab menyediakan sistem informasi yang bersih dan mendidik. Media tidak boleh menjadi corong kekerasan, pornografi, atau kebebasan destruktif. Semua siaran dan konten harus sejalan dengan visi mencetak masyarakat yang bertakwa.
Khilafah juga memastikan bekerjanya pilar-pilar utama yang dapat menjaga anak-anak yaitu orang tua, masyarakat dan negara. Orang tua dibekali pendidikan, masyarakat didorong aktif amar makruf nahi mungkar, dan negara sebagai pilar utama menjadi pelindung sekaligus pendidik generasi.
Saatnya Kembali pada Sistem Islam Kaffah
Realitas hari ini makin menunjukkan bahwa solusi tambal sulam tidak akan menyelesaikan persoalan. Selama paradigma sekuler kapitalistik masih dijadikan pijakan, kasus perundungan akan terus bermunculan, dengan bentuk dan eskalasi yang makin mengerikan.
Hanya Islam yang mampu menyelesaikan masalah ini secara sistemis dan ideologis. Islam tidak hanya melarang perundungan secara moral, tetapi menyediakan sistem pendidikan, hukum, dan informasi yang melahirkan generasi bertakwa.
Sudah saatnya umat menyadari bahwa solusi sejati bukan pada perbaikan regulasi, melainkan pada perubahan total sistem kehidupan. Sudah waktunya kembali pada sistem Islam kaffah di bawah naungan khilafah yang menerapkan syariat secara menyeluruh. []
Oleh: Mahrita Julia Hapsari
(Aktivis Muslimah Banua)
0 Komentar