Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Korupsi Tidak Mungkin Diberantas dalam Sistem Demokrasi


Topswara.com -- Sistem demokrasi meniscayakan setiap orang yang ingin duduk dalam tampuk kekuasaan butuh modal besar. Makin tinggi jabatan yang ingin diraih, makin besar modal yang harus dikeluarkan. 

Modal yang sangat besar itu sangat sulit dipenuhi secara pribadi atau oleh partai yang mengusungnya. Bahkan partai pengusung pun minta jatah khusus karena sudah mau mengusung sang calon.

Sudah bukan rahasia lagi bahwa para pemodal bagi bakal calon pemimpin, para caleg dan lain-lain adalah para pengusaha. Para pengusaha tak mungkin memberikan modal secara cuma-cuma. Semua punya kepentingan. Yang ingin menjabat butuh modal, para pengusaha butuh proyek-proyek. Dua kepentingan itu akhirnya melakukan simbiosis mutualisme, bekerja sama yang saling menguntungkan. 

Sehingga wajar jika Presiden Prabowo Subianto menyebut ada bahaya besar yang mengintai Indonesia sebagai negara berkembang, yaitu state capture, kolusi antara kapital besar dan pejabat pemerintahan serta elite politik. Kolusi ini tidak membantu mengentaskan kemiskinan atau memperluas kelas menengah. 

State capture sejatinya keniscayaan dalam sistem politik Demokrasi kapitalisme sekuler yang diterapkan hari ini. Akibatnya dunia menjadi tujuan bahkan dengan menghalalkan segala cara. 

Selain itu, sistem ini juga meniscayakan terjadinya politik transaksional karena penguasa membutuhkan banyak modal untuk maju dalam kontestasi sehingga membutuhkan kucuran dana dari pengusaha. Dan pengusaha akan menuntut balas budi dalam bentuk kebijakan penguasa yang terpilih yang bisa menguntungkan para pengusaha.

Jadi sebenarnya masyarakat tidak bisa berharap bahwa terpilihnya pemimpin-pemimpin yang baru mampu membawa perubahan di tengah umat. Selama sistem demokrasi yang digunakan, tidak mungkin muncul pemimpin yang benar-benar tulus ingin menyejahterakan rakyatnya. 

Para pemimpin itu sudah tersandera dengan kepentingan pengusaha yang memberikan modal. Masyarakat harus cerdas, jangan tertipu dengan pencitraan apapun dari para calon pemimpin, karena sejatinya mereka bukan bekerja untuk rakyat semata, tapi di belakang mereka ada kepentingan banyak pengusaha. 

Dalam Islam, seorang dipilih menjadi pemimpin karena kemampuannya dan kredibilitasnya sebagai orang yang amanah sehingga akan mampu bersikap adil dan bijaksana. Pemimpin umat akan benar-benar bekerja untuk kepentingan umat. 

Mereka digaji negara dan diberi semua fasilitas yang dibutuhkan untuk menjalankan tugasnya. Hidupnya total didedikasikan untuk mengatur urusan-urusan umat sesuai dengan ketentuan syariat-Nya. Mereka sangat takut dengan pertanggungjawaban kelak di yaumil akhir.  

Umar bin Khattab menyatakan bahwa jika ada seekor keledai yang terperosok di Irak karena jalanan rusak, ia merasa bertanggung jawab dan khawatir akan ditanya oleh Allah mengapa ia tidak memperbaiki jalan tersebut. Ini menunjukkan bahwa Umar tidak hanya memperhatikan urusan besar, tetapi juga hal-hal kecil yang dapat mempengaruhi kehidupan rakyatnya.  

Umar telah memberikan teladan bagi semua pemimpin untuk berhati-hati dalam memimpin rakyatnya karena semua kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. Pemimpin yang amanah seperti Umar bin Khattab tentu hanya mungkin muncul dalam sistem kepemimpinan Islam, bukan dari sistem demokrasi kapitalis seperti saat ini.

Lantas bagaimana mekanisme memilih pemimpin dalam Islam? Dalam sistem Islam seorang pemimpin atau khalifah diangkat melalui beberapa cara, termasuk pemilihan oleh Ahlul Halli wal Aqdi (tokoh-tokoh umat yang berpengaruh), penunjukan oleh khalifah sebelumnya. 

Pemilihan oleh Ahlul Halli wal Aqdi, yang merupakan sistem yang paling umum, melibatkan proses seleksi dan musyawarah untuk memilih individu yang paling memenuhi kriteria kepemimpinan yang ditetapkan oleh syariat Islam. 

Berikut adalah beberapa cara pengangkatan pemimpin dalam sistem khilafah: 

Pertama, pemilihan oleh Ahlul Halli wal Aqdi. Ahlul Halli wal Aqdi adalah sekelompok orang atau tokoh umat yang memiliki pengetahuan, pemahaman agama, dan pengaruh yang diakui dalam masyarakat. 

Mereka bertugas untuk memilih pemimpin yang dianggap paling layak.
Proses pemilihan ini melibatkan musyawarah dan diskusi untuk menentukan kandidat terbaik yang memenuhi kriteria kepemimpinan yang ditetapkan oleh syariat. 

Setelah kandidat dipilih, mereka akan diminta untuk menerima bai'at (janji setia) dari umat Islam, menandakan penerimaan mereka sebagai pemimpin.

Kedua, penunjukan oleh khalifah Sebelumnya (bai'at). Seorang khalifah yang berkuasa dapat menunjuk penggantinya sebelum meninggal atau mengundurkan diri. Ini dikenal sebagai "wilayatul 'ahdi" (penunjukan penerus).

Penunjukan ini harus disetujui oleh Ahlul Halli wal Aqdi dan umat Islam secara umum. Contoh dari cara ini adalah penunjukan Umar bin Khattab oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq.

Ketiga perwakilan umat. Umat Islam secara keseluruhan atau perwakilan mereka dapat memilih khalifah melalui musyawarah. Cara ini menekankan pada partisipasi umat dalam memilih pemimpin mereka.

Meskipun terdapat beberapa cara pengangkatan pemimpin dalam sistem khilafah, tujuan utama dari semuanya adalah untuk memastikan bahwa pemimpin yang dipilih adalah orang yang adil, mampu menegakkan hukum Allah, dan mampu membawa kemaslahatan bagi umat Islam. 

Meskipun berbeda-beda cara dalam pemilihan khalifah, tapi ada satu metode baku yang tidak pernah berubah, yaitu semua khalifah dipilih melalui proses baiat dari umat.

Adapun dalam sistem Islam, pengangkatan wali (gubernur atau pemimpin wilayah) tidak dilakukan melalui pemilihan langsung oleh rakyat, melainkan diangkat oleh kepala negara (khalifah). Rasulullah SAW dan para khalifah setelahnya, seperti yang tercatat dalam sejarah, mengangkat para wali (gubernur) untuk wilayah-wilayah tertentu dalam kekhalifahan. 

Dalam sistem Islam, pemilihan kepala daerah tidak dilakukan melalui mekanisme Pemilu seperti yang kita kenal sekarang. Para gubernur atau wali yang diangkat harus memenuhi kriteria tertentu, seperti laki-laki, merdeka, Muslim, baligh, berakal, adil, dan memiliki kemampuan untuk memimpin. 

Pengangkatan para wali didasarkan pada pertimbangan ketakwaan kepada Allah SWT, keadilan, dan kemampuan mereka untuk menjalankan tugas-tugas pemerintahan. 

Sejarah mencatat bagaimana Rasulullah SAW dan para khalifah mengangkat para wali untuk berbagai wilayah dalam kekuasaan Islam, seperti Muadz bin Jabal yang diangkat menjadi gubernur Yaman. Khalifah atau pemimpin tertinggi memiliki wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan para wali, serta memberikan tugas-tugas tertentu kepada mereka.

Demikian mekanisme sistem Islam dalam memilih pemimpin baik khalifah atau gubernur/wali. Sistem yang sangat sederhana dan minim biaya. 

Pemimpin atau penguasa dipilih karena ketakwaan dan kemampuannya, bukan karena punya modal atau didukung para pengusaha sebagaimana dalam sistem demokrasi kapitalis saat ini. Dengan mekanisme seperti itu maka korupsi yang dilakukan oleh para kepala daerah atau penguasa sangat minim terjadi. []


Oleh: Rini Suyatinah
(Aktivis Muslimah)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar