Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Gaji Emas, Martabat Tinggi: Kesejahteraan Guru di Masa Kejayaan Islam


Topswara.com -- "Jika bukan karena para guru, maka umat akan tenggelam dalam kebodohan."

Pernyataan ini tidak hanya sebuah penghargaan moral, tetapi pernah benar-benar diwujudkan dalam bentuk nyata khususnya di masa kejayaan Islam, saat khilafah menjamin kesejahteraan para guru dengan sangat layak, bahkan melebihi martabat profesi lainnya.

Dalam Islam, guru bukan sekadar pengajar ilmu, tetapi pendidik akhlak dan penanam takwa dalam jiwa generasi. Peran guru sangat strategis dalam membentuk manusia yang tidak hanya cerdas intelektual, tapi juga lurus spiritual dan tangguh moralnya. 

Dengan kata lain, tugas guru dalam Islam adalah untuk membentuk generasi berkepribadian Islam yang memiliki pola pikir dan pola sikap Islami. Islam memandang guru bukan sekadar profesi duniawi, melainkan pengemban amanah ideologis.

Dalam sistem Islam, pendidikan bukan alat ekonomi atau kepentingan politik, melainkan sebagai sarana mencetak generasi bertakwa dan berkepribadian Islam. Guru menjadi ujung tombak dari misi ini. Sebab itu, mereka mendapat kedudukan yang sangat mulia. Rasulullah SAW bersabda:

"Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya serta seluruh makhluk-Nya, sampai semut di lubangnya dan ikan di laut, mendoakan orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia" (HR. Tirmidzi).

Ini menunjukkan kemuliaan guru dalam pandangan Islam, dan sistem khilafah memastikan penghormatan itu berlaku secara sistemis, bukan hanya slogan.

Dalam Islam, guru adalah aparat negara, bukan buruh pendidikan swasta. Negara memberikan gaji yang layak (bahkan emas di masa lampau) dan jaminan hidup.

Di masa Kekhalifahan Abbasiyah, terutama di era Khalifah Harun Ar-Rasyid dan Al-Ma'mun (750 - 1258 M), profesi guru bukan sekadar pengabdi ilmu, tapi dianggap sebagai aset negara. Mereka diberi gaji tetap, bahkan dalam bentuk dinar emas. 

Menurut catatan sejarawan, seperti Dr. Ahmad Shalabi, Tarikh Al-Tarbiyah al-Islamiyyah dan Syaikh Abdurrahman al-Baghdadi, dalam buku Sistem Pendidikan dalam Islam mencatat, banyak guru memperoleh penghasilan setara 15–50 dinar per bulan. Jumlah yang sangat besar jika dikonversi hari ini.

Guru dan ulama di Baitul Hikmah (pusat ilmu di Baghdad) menerima antara 15 hingga 50 dinar per bulan. 1 dinar emas = ± 4,25 gram emas. Jika harga emas hari ini ± Rp1.200.000 per gram, maka: 15 dinar ≈ Rp76 juta/bulan. Sedangkan 50 dinar ≈ Rp255 juta/bulan.

Lalu pada masa Khilafah Utsmaniyah (1299-1924 M) dalam buku History of the Ottoman Empire karya Stanford J. Shaw, menggambarkan pada masa itu, gaji guru ditentukan oleh jabatan dan tempatnya mengajar, seperti di madrasah sipil, militer, atau istana.

Guru di madrasah biasa mendapat 2–5 dirham per hari. Guru di madrasah elite seperti Sahn-ı Seman (Istanbul) bisa mendapat 20–30 dirham per hari. 

Jika dikonversi (± nilai historis): 1 dirham perak = ± 2,975 gram perak. Jika 1 gram perak = Rp20.000, maka, 5 dirham = Rp297.500/hari atau Rp8–9 juta/bulan (guru biasa) dan 30 dirham = Rp1,7 juta/hari atau Rp50 juta/bulan (guru elite).

Selain gaji emas, sistem pendidikan diatur langsung oleh negara untuk membentuk generasi ideologis, bukan sekadar pencari kerja.

Dengan prinsip ini, guru tidak dibebani administrasi rumit, target proyek, atau dikomersialisasi. Mereka fokus mendidik, membina, dan membentuk akhlak serta kecerdasan umat. 

Negara khilafah islamiah menanggung penuh kebutuhan hidup mereka, memberikan tempat tinggal, memuliakan mereka dalam struktur masyarakat, dan menjadikan pendidikan sebagai tanggung jawab negara, bukan komoditas. 

Nasib Guru di Bawah Kapitalisme: Berilmu tetapi Terhina

Bandingkanlah dengan kondisi guru hari ini, khususnya di negeri-negeri Muslim yang tunduk pada sistem kapitalisme sekuler. Di Indonesia, 2025, nasib guru honorer masih jadi ironi tahunan. Banyak dari mereka digaji tidak manusiawi, yaitu antara Rp.300 ribu hingga Rp. 1 juta per bulan. Gaji yang bahkan tak cukup untuk biaya makan 10 hari, apalagi membangun keluarga.

Tak sedikit guru yang harus nyambi ojek online, ngisi les di sana-sini, jualan pulsa, atau jualan online demi bertahan hidup. Mereka diberi gelar pahlawan tanpa tanda jasa, tapi diperlakukan seperti warga kelas dua. Bahkan tunjangan dan sertifikasi seringkali menjadi alat politisasi, bukan murni bentuk penghargaan atas jasa.

Ini adalah buah dari sistem kapitalisme yang menjadikan pendidikan sebagai ladang bisnis dan pengeluaran negara dianggap beban, bukan kewajiban. Negara tak merasa wajib menjamin hidup guru. Sebaliknya, para guru dipaksa bersaing di pasar kerja yang bebas dan kejam.

Sungguh, sangat berbeda nasib guru di bawah sistem kapitalisme dan dibawah sistem khilafah. Dalam sistem khilafah, pendidikan termasuk kebutuhan dasar masyarakat yang wajib dipenuhi negara secara gratis dan berkualitas. 

Negara membiayai penuh pendidikan dari Baitul Mal, yang bersumber dari harta milik umum, kharaj, jizyah, dan lain-lain. Tidak ada ruang bagi privatisasi dan komersialisasi pendidikan.

Guru adalah pelanjut risalah peradaban. Mereka diberi kemuliaan material dan spiritual, karena negara memahami bahwa kualitas manusia tergantung pada kualitas pendidikannya dan itu dimulai dari kesejahteraan guru.

Saat kapitalisme memperlakukan guru sebagai beban, khilafah justru menjadikan mereka sebagai pilar kejayaan. Guru di masa Islam dibayar dengan emas karena dihargai. Guru hari ini dibayar murah karena hanya dianggap pekerja biasa.

Oleh karena itu, jika umat Islam ingin mengembalikan martabat ilmu, maka harus ikut berjuang mengembalikan sistem Islam, yaitu khilafah islamiah. Karena, hanya sistem khilafahlah jalan satu-satunya. Tidakkah kita semua merindukan dan menginginkannya? Allahu Akbar! []


Oleh: Nabila Zidane
(Jurnalis)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar