Topswara.com -- Fenomena yang menyita perhatian besar dalam dunia pendidikan saat ini salah satunya adalah masalah perundungan (bullying) yang marak terjadi di lingkungan sekolah. Tak hanya melibatkan sesama siswa, kasus bullying kini bahkan menyasar hubungan antara siswa dan guru.
Fenomena ini bukan lagi bisa dianggap sebagai sekadar kenakalan remaja, melainkan sudah mengarah pada tindak kriminalitas yang mengancam keselamatan fisik dan psikis anak-anak.
Bullying berdampak sangat serius terhadap kesehatan mental, psikologis, dan perkembangan sosial anak. Ironisnya, kasus perundungan di sekolah justru semakin sering muncul ke permukaan, bahkan tak jarang menjadi viral di media sosial.
Salah satu kasus yang baru-baru ini menyita perhatian publik adalah kejadian tragis di Kabupaten Bandung, di mana seorang siswa mengalami luka serius di kepala setelah ditendang hingga terbentur batu, lalu diceburkan ke dalam sumur. Kejadian ini menunjukkan bahwa tindakan perundungan sudah melampaui batas dan dapat menghilangkan nyawa.
Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Lalu Hadrian Irfani, turut menyoroti kasus tersebut. Ia meminta agar pelaku ditindak secara hukum dan administratif karena perundungan seperti ini sudah masuk dalam kategori tindak pidana. Ini adalah sinyal bahwa negara tak bisa lagi menutup mata terhadap kekerasan di sekolah (rri.co.id, 27/6/25).
Salah satu penyebab utama maraknya perundungan di kalangan pelajar adalah konsumsi konten kekerasan di media sosial dan game online. Lemahnya kontrol orang tua dalam membatasi penggunaan gadget membuat anak-anak semakin mudah terpapar konten berbahaya.
Ketika kekerasan disajikan secara terus-menerus dalam bentuk hiburan, maka bukan tidak mungkin anak akan menganggapnya sebagai cara yang wajar dan keren dalam menyelesaikan konflik. Ini membentuk cacat berpikir, di mana kekerasan dianggap sebagai simbol kegagahan dan superioritas.
Menghadapi situasi ini, perlu ada upaya serius dan menyeluruh dari semua pihak orang tua, sekolah, dan negara. Pertama, nilai-nilai tauhid, adab, akhlak, dan tanggung jawab harus ditanamkan sejak dini kepada anak-anak sebagai kontrol diri dalam bersikap. Pendidikan seperti yang dicontohkan Luqman al-Hakim kepada anaknya, sebagaimana tertuang dalam Surat Luqman ayat 12-19, menjadi teladan penting dalam membentuk karakter anak.
Kedua, pendidikan di sekolah tidak boleh hanya berfokus pada aspek akademik semata. Sekolah semestinya membentuk pribadi unggul yang berakhlak mulia dalam Islam dikenal dengan istilah syakhsiyah islamiyah (kepribadian Islam), yakni pola pikir dan pola sikap yang berlandaskan pada syariat Islam.
Selain itu, penting juga untuk membangun budaya sekolah yang aman dan inklusif, di mana setiap siswa merasa dihargai, didengar, dan dilindungi. Guru dan tenaga pendidik harus bisa mendeteksi tanda-tanda perundungan sejak dini dan mengambil tindakan yang tepat.
Ketiga, negara memiliki peran krusial dalam menyelesaikan problematika perundungan ini. Negara harus menjamin kebutuhan dasar keluarga agar orang tua bisa memberikan perhatian maksimal pada anak-anak mereka.
Penyusunan kurikulum pendidikan harus berlandaskan pada nilai-nilai Islam yang mampu membentuk karakter unggul, serta membatasi masuknya tayangan yang meracuni pemikiran generasi muda.
Oleh karena itu, solusi tuntas atas maraknya kasus perundungan dan problematika sosial lainnya adalah dengan kembali menerapkan kehidupan yang berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hanya sistem yang bersumber dari wahyu Ilahi yang terbukti mampu memberikan solusi menyeluruh atas setiap persoalan dalam kehidupan manusia. []
Oleh: Satriani, S.K.M. (Aktivis Muslimah Yogyakarta)
0 Komentar