Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Jaminan Perlindungan Siber bagi Anak-Anak dan Perempuan, Akankah Menyelesaikan?


Topswara.com -- Perlindungan siber adalah sebuah upaya pengendalian dari serangan digital baik dari sistem maupun jaringan yang merusak atau mencuri informasi secara tidak sah.

Adanya siber ini mengkhawatirkan dan dipicu sebagai sebab maraknya kekerasan terhadap perempuan dan anak melalui media sosial, sehingga butuh jaminan perlindungan.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Arifatul Choiri Fauzi menegaskan sebagian besar kekerasan disebabkan oleh media sosial atau melalui gadget. Ia menerangkan beberapa waktu terakhir ada 11.800 kasus pada perempuan dan anak dan naik mencapai 13.000 kasus hingga 7 Juli 2025 (tempo.co.id, 11/07/2025).

Fenomena ini haruslah menjadi perhatian yang serius, mengingat tingginya keterpaparan anak terhadap dunia digital, dan minimnya penyaringan informasi, serta rentan tayangan pornografi di semua platform media. Gawai yang memanjakan mereka dengan hal menyenangkan dan mudah aksesnya tetapi minim kontrol ini bisa menjadi bencana.

Diperkuat pula statement dari Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, Kepala BKKBN, Wihaji bahwa "Penggunaan gawai atau gadget pada remaja menjadi tantangan dalam mencapai bonus demografi yang diharapkan. Usia remaja justru biasanya rentan terhadap ancaman siber. Negara-negara maju sudah mulai memberlakukan pembatasan gawai, di Australia misalnya gawai baru boleh diakses oleh anak berusia 16 tahun, di Jepang bahkan durasi penggunaan gawai maksimal dua jam per hari," tuturnya dalam laman antara.com (09/07/2025).

Kebebasan yang Memanjakan dan Sistem yang Menjebak

Berdasarkan survei National Center of Missing dan Exploited Childern (NCMEC), Indonesia menempati peringkat keempat secara global dan kedua di kawasan Asia Tenggara dalam jumlah kasus pornografi anak di ruang digital dengan rata-rata penggunaan gawai paling tinggi di dunia mencapai 6,05 jam perhari.

Tidak semua hal yang mudah dan bebas itu menyelamatkan. Alih-alih mencari kebebasan justru ancaman dan peluang kejahatan yang didapatkan, sebab minimnya kontrol dan keamanan. 

Menyikapi atas maraknya kejahatan siber dan penggunaan gawai yang sudah mulai menandakan warning, Kementerian Komunikasi dan Digital RI telah mengeluarkan regulasi untuk melindungi anak di ruang digital, tanpa menghilangkan hak berekspresi dan pembatasan akses melalui Peraturan Pemerintah tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP Tunas).

Hal yang diatur di antaranya menyediakan fitur sesuai usia dan mewajibkan menyaring konten yang membahayakan, seiring dengan terus dilakukannya edukasi melalui Generasi Berencana, Pusat Informasi dan Konseling Remaja, komunitas, organisasi dan forum remaja. 

Akankah regulasi dan peraturan yang diterapkan mampu mencegah siber dan dilakukan oleh semua elemen masyarakat tanpa terkecuali? Bukankah siber juga pasti akan lebih canggih lagi mengutak-atik sistem jaringan agar tetap eksis dan terakses? 

Benarkah kebebasan berekspresi harus diberikan ruang-ruang di ranah digital, tanpa memperhatikan dampak jangka panjang atau jejak digital yang mudah ditangkap dan disimpan? Siapa yang seharusnya menyaring konten untuk bisa akses informasi aman bagi anak-anak, mengingatkan kontrol ini juga diberlakukan bagi orang tua masing-masing saja? 

Simalakama bukan? Remaja yang harus mengurangi penggunaan gawai? Atau produksi gawai dibatasi? Atau orang tua memaksa untuk meregulasi sendiri aturan dalam rumah terkait penggunaan gawai? Mana yang efektif? Mengapa berjuang maju kena mundur kena, seolah setiap pembatasan pasti akan ada akhirnya terpapar siber.

Kemajuan digital pasti ada hal positif dan negatifnya, banyak persoalan yang pasti bakal muncul. Penggunaan gawai terlalu sering atau kecanduan, rentan menurunkan empati sosial, regulasi emosi, dan brainrot (kebusukan otak). 

Sehingga anak tidak bisa mengontrol dirinya. Inilah tantangan bonus demografi yang digadang menjadi Indonesia Emas. Namun belum pencapaian yang ditargetkan sudah cemas memikirkan nasib generasi di masa mendatangnya.

Salah satu dampak negatif digitalisasi yaitu banyak siber kejahatan, berakhir pada kekerasan dan maraknya pornografi yang mengakibatkan pornoaksi bahkan kriminal, hal ini disebabkan rendahnya literasi digital dan lemahnya kontroling negara.

Arus digitalisasi akhir-akhir ini ditengarai membawa keuntungan materi, bahkan bukan anak-anak atau remaja saja. Platform penghasil dollar juga sudah dibanjiri ibu-ibu yang mengekspresikan diri dalam kontennya. 

Meski akhirnya ada yang mendapat komentar positif atau negatif berujung pada pembullyan dan menghancurkan mental. Inilah yang luput dari aspek keselamatan penggunaan gawai dan kebebasan berekspresi yang dibenarkan dalam sistem hari ini.

Wadah kebebasan memang menjadi fasilitas sistem demokrasi hari ini, sistem yang lahir dari induk liberalisme atau kapitalisme, hidupnya mengakui tuhan dan beragama namun tidak mau diatur dengan agama karena membatasi kebebasan mereka, hingga berujung pada apa yang terjadi dalam semua praktik dan aturan kehidupan hari ini. Kebebasan dan untung-rugi atau materi belaka. Inilah konsekuensi hidup dalam sistem pemerintahan demokrasi.

Sistem Islam Menyelamatkan dan Menjaga Marwah 

Penggunaan teknologi memang menjadi bentuk kemajuan fasilitas kehidupan, bukan berarti segala bentuk teknologi harus dikurangi atau stagnan, justru teknologi bisa menjadi keberkahan dan membawa banyak manfaat apabila penggunaannya sesuai dan tepat sasaran. 

Oleh karenanya buah daripada ilmu berupa kemajuan sains dan teknologi ini tidak bisa dihindari, justru dimanfaatkan secara benar. Di sinilah Islam menempatkan penggunaan teknologi dan juga pentingnya peran negara dalam meriayah rakyatnya, agar tidak tumpang tindih.

Dalam buku Nizhamul Islam, dibahas terkait hadharah dan madaniyah. Islam menegaskan teknologi sebagai bentuk atau hasil dari hadharah (peradaban). Atau bisa disebut juga madaniyah (produk peradaban), yang sifatnya memang madaniyah amm (atau produk umum tanpa tercampur keyakinan tertentu). Penggunaannya boleh-boleh saja. 

Islam tidak kuno, atau ketinggalan zaman. Sebab Islam sejatinya akan terus sesuai dengan zaman meski kehidupan berubah. 

Selanjutnya, dalam konteks pengaturan kehidupan, maka ada negara. Islam juga memiliki pengaturan bagaimana negara dan pemimpin hadir utuh melayani rakyatnya. Negara dalam Islam wajib membangun sistem teknologi digital mandiri tanpa ketergantungan infrastruktur atau fasilitator dari asing. 

Sebab negara dalam Islam memiliki visi untuk menjadi negara mandiri dan kuat serta tidak mudah terkecoh dan didikte oleh musuh. Sehingga dapat menjaga keamanan dan keselamatan dalam negerinya. 

Teknologi digital mandiri artinya negara mampu mewujudkan informasi yang sehat dan sesuai standar syariat yaitu pada batasan halal-haram. Wujud keberadaan negara sebagai pelindung dan penjaga rakyat sangat dibutuhkan, dan itu diutamakan dalam Islam, tidak asal bekerjasama dengan negara asing dan memberikan regulasi semata. 

Karena negara Islam tidak mengambil keuntungan dalam mengatur dan melayani rakyatnya, semua harus mudah, murah, dan efisien. Sehingga tidak menimbulkan kecurangan atau kejahatan digital dalam negara. 

Keamanan data pribadi juga menjadi tanggungj awab negara agar tidak sampai pada kebocoran data yang mengundang kejahatan siber. Ruang digital diatur sebagaimana ruang publik, terjaganya aurat secara sempurna.

Sebab yang menjadi patokan dalam setiap aktivitas di negara Islam adalah hukum syarak atau syariat sebagai asas pengaturan dalam kehidupan. Segala bentuk kecurangan dan kriminal dituntaskan sebagaimana syariat mengatur. []


Oleh: Nadia Fransiska Lutfiani 
(Aktivis Muslimah Semarang)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar