Topswara.com -- Awal Juni 2025, tagar #SaveRajaAmpat menggema di berbagai media sosial. Banyak orang tergerak untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di surga wisata Papua tersebut. Hasilnya mengejutkan, ditemukan aktivitas pertambangan nikel ilegal yang melibatkan berbagai pelanggaran serius, mulai dari perizinan yang tidak sah hingga buruknya manajemen lingkungan (tirto.id, 7/6/2025).
Terdapat empat perusahaan ilegal yang diketahui beroperasi di wilayah Raja Ampat, yakni PT. Gag Nikel, PT. Kawei Sejahtera Mining, PT. Anugerah Surya Pratama (asal China), dan PT. Mulia Raymond Perkasa
Isu ini mencuat setelah aktivis Greenpeace Indonesia bersama empat pemuda Papua melakukan aksi protes dalam konferensi Indonesia Critical Minerals Conference & Expo di Jakarta (3/6/2025). Dalam aksi itu, mereka menegaskan bahwa Raja Ampat yang dijuluki "Surga Terakhir di Dunia" kini berada di ambang kehancuran akibat eksploitasi tambang.
Jaringan Advokasi Tambang turut mengungkap bahwa pemerintah telah mengeluarkan izin kepada sekitar 308 usaha tambang nikel dengan total luas hampir 1 juta hektare di seluruh Indonesia.
Alih-alih membawa kesejahteraan, izin-izin ini justru mempercepat kerusakan lingkungan dan memperparah kemiskinan, khususnya di wilayah-wilayah kaya sumber daya seperti Papua.
Kapitalisme dan Kerusakan Ekologi
Kehancuran ekologi yang terjadi di Raja Ampat tidak dapat dilepaskan dari sistem kapitalisme yang menjadi dasar kebijakan ekonomi saat ini. Pemerintah memberikan izin kepada korporasi untuk mengeksploitasi sumber daya alam (SDA), namun tidak memastikan pengelolaan yang berkelanjutan dan adil bagi masyarakat.
Akibatnya, terjadi penggundulan hutan besar-besaran dan ketimpangan ekonomi yang nyata, daerah kaya sumber daya tetap miskin, sementara keuntungan mengalir ke kantong para pemilik modal.
Dalam sistem kapitalisme, para pengusaha memiliki kekuasaan lebih besar dibanding negara. Negara sering kali hanya menjadi fasilitator demi menarik investasi, dengan mengorbankan kelestarian hutan, laut, iklim, dan masyarakat adat.
Lebih parah lagi, para pemilik modal besar sering terlibat dalam proses politik—melalui lobi hukum, sumbangan politik, hingga pengaruh terhadap kebijakan publik—sehingga sulit dijerat oleh hukum.
Solusinya harus Islam
Melihat kondisi ini, sudah saatnya kita memikirkan jalan keluar yang lebih adil dan lestari. Islam menawarkan solusi menyeluruh dalam mengelola sumber daya alam dan lingkungan. Diantaranya :
Pertama, pemimpin Islam melindungi alam. Dalam sejarah Islam, para pemimpin bertindak sebagai pelindung umat dan penjaga amanah Allah. Mereka menerapkan hukum syariah yang bertujuan tidak hanya untuk menyejahterakan masyarakat, tapi juga menjaga kelestarian lingkungan.
Contohnya, Sultan Mehmed II pernah berkata, "Barang siapa yang menebang pohon dari hutanku, akan kupenggal kepalanya."nHal ini menunjukkan betapa seriusnya beliau menjaga kelestarian alam.
Demikian pula dengan Sultan Abdulhamid II dari Kekhilafahan Turki Utsmani yang memesan 69 jenis bibit tanaman dari Kebun Raya Bogor pada tahun 1883 untuk dilestarikan di wilayahnya. Para pemimpin Islam memahami bahwa lingkungan adalah amanah dari Allah yang harus dijaga dan dilestarikan, bukan dieksploitasi secara semena-mena.
Kedua, SDA adalah kepemilikan umum. Dalam Islam, SDA seperti air, hutan, dan api adalah kepemilikan umum, bukan milik pribadi atau korporasi. Hasil pengelolaannya harus dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk pendidikan gratis, fasilitas umum yang memadai,layanan kesehatan murah atau gratis, dan harga kebutuhan pokok yang terjangkau.
Dalilnya berasal dari hadis Rasulullah SAW: "Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api." (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Ketiga, Islam menjaga keseimbangan ekosistem. Islam juga menekankan pentingnya menjaga keseimbangan alam. Kerusakan lingkungan akan membawa bencana dan kesempitan hidup bagi manusia. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah SWT:
"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar)."
(QS. Ar-Rum: 41)
Saatnya Bertransformasi dengan Islam
Kerusakan di Raja Ampat adalah salah satu dari sekian banyak bukti kegagalan sistem kapitalisme dalam mengelola bumi dan mensejahterakan rakyat. Saatnya kita berpaling dari sistem yang hanya menguntungkan segelintir elite ekonomi dan kembali kepada sistem Islam, yang berdasarkan akidah dan syariah, untuk membawa perubahan nyata.
Dengan penerapan khilafah Islam, pengelolaan sumber daya akan dilakukan secara adil dan bertanggung jawab. Masyarakat tidak hanya terbebas dari kemiskinan struktural, tetapi juga hidup berdampingan dengan alam secara harmonis.
Wallahu a'lam bishshawab.
Oleh: Wilda Nusva Lilasari, S.M.
Aktivis Muslimah
0 Komentar