Topswara.com -- Raja Ampat, gugusan pulau yang dikenal sebagai salah satu surga bahari dunia, kini menghadapi ancaman serius. Kekayaan biodiversitasnya yang luar biasa terancam punah akibat ekspansi tambang nikel yang massif.
Padahal, wilayah ini telah lama ditetapkan sebagai kawasan konservasi oleh dunia internasional karena menyimpan lebih dari 1.600 spesies ikan dan ratusan spesies terumbu karang yang tidak ditemukan di tempat lain.
Pemerintah memang telah memutuskan untuk menghentikan sementara aktivitas pertambangan nikel di Pulau Gag, Kawe, dan Manuran di Raja Ampat. Keputusan ini muncul setelah meningkatnya tekanan publik, khususnya dari para pemerhati lingkungan dan masyarakat adat setempat. Namun pertanyaannya, cukupkah dengan penghentian sementara?
Data yang dirilis Auriga Nusantara menunjukkan bahwa aktivitas pertambangan di wilayah ini telah menyebabkan kerusakan hutan seluas 494 hektare sejak 2020. Selain itu, sedimentasi tambang yang mencemari laut mengganggu ekosistem terumbu karang dan mengakibatkan nelayan lokal kehilangan mata pencaharian.
Wisatawan pun enggan datang karena keindahan alam yang menjadi daya tarik utama mulai tercemar. Ini bukan hanya masalah lingkungan, tetapi krisis sosial-ekonomi yang melanda rakyat kecil.
Direktur Program Kelautan Konservasi Indonesia, Victor Nikijuluw, menyatakan, “Sedimentasi dari tambang membayangi terumbu karang dan mengancam spesies laut yang hidup di sana. Ini bukan sekadar kerusakan ekosistem, tapi ancaman bagi ketahanan hidup masyarakat pesisir.”
Kita patut bertanya, mengapa pertambangan tetap berjalan meski jelas-jelas melanggar UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup? Jawabannya ada pada sistem yang mengatur negeri ini kapitalisme.
Dalam sistem ini, kekayaan alam tidak dipandang sebagai amanah, melainkan komoditas yang bisa diperjualbelikan. Negara berperan hanya sebagai regulator yang memberi izin, sementara kekuasaan sejati berada di tangan para pemilik modal.
Faisal Basri, ekonom senior, pernah menegaskan dalam sebuah forum SDA, “Kita kehilangan kedaulatan atas sumber daya kita sendiri. Korporasi lebih berkuasa daripada negara.” Maka tak heran jika UU lingkungan bisa diabaikan, asalkan keuntungan ekonomi diraih.
Islam memandang sangat berbeda. Dalam pandangan Islam, sumber daya alam seperti nikel termasuk dalam kategori milkiyah ‘ammah (kepemilikan umum). Negara tidak boleh menyerahkannya kepada swasta, apalagi korporasi asing. Negara wajib mengelolanya dengan amanah dan hasilnya dikembalikan sepenuhnya untuk kepentingan umat.
Islam juga memiliki konsep hima, yakni kawasan konservasi yang tidak boleh dirusak atau dimanfaatkan secara sembarangan. Rasulullah ï·º menetapkan beberapa hima pada masa hidup beliau, untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Ini menjadi bukti bahwa Islam telah lama memiliki mekanisme pelestarian lingkungan yang visioner dan solutif.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah menjelaskan,
“Sesungguhnya syariat Islam seluruhnya adalah keadilan, rahmat, maslahat, dan hikmah. Maka, setiap sesuatu yang keluar dari keadilan kepada kezaliman, dari rahmat kepada kebengisan, dari maslahat kepada kerusakan… maka itu bukan dari Islam.”
Pemimpin dalam Islam adalah ra’in (pengurus rakyat) dan junnah (pelindung). Ia tidak tunduk pada tekanan investor, tapi patuh sepenuhnya pada hukum syariat. Ia bertanggung jawab menjaga alam sebagai amanah Allah, bukan menjualnya atas nama pembangunan.
Dengan sistem Islam yang menyeluruh (kaffah), kekayaan alam dikelola berdasarkan hukum Allah. Tidak akan ada eksploitasi yang merusak lingkungan atau mengorbankan rakyat. Sebab tujuan pengelolaan bukan sekadar pertumbuhan ekonomi, tapi kemaslahatan manusia dan keberlanjutan bumi.
Karena itu, penghentian sementara tambang nikel di Raja Ampat hanyalah langkah kecil. Selama sistem kapitalisme masih menjadi dasar pengelolaan sumber daya, eksploitasi dan kerusakan akan terus berulang.
Solusi sejatinya bukan pada tambal-sulam regulasi, tapi pada perubahan sistemik: mengganti kapitalisme dengan sistem Islam yang adil, menjaga amanah, dan melindungi bumi.
“Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka, siapakah di antara mereka yang terbaik amalnya.” (QS. Al-Kahfi: 7).
Raja Ampat bukan milik korporasi. Ia adalah titipan Allah untuk dijaga. Saatnya umat menyadari bahwa hanya dengan syariat Islam, bumi akan selamat dan umat akan sejahtera.
Wallahu'alam bishawab.
Oleh: Retno Indrawati, S.Pd.
Aktivis Muslimah
0 Komentar