Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Jerit Suara Hati di Tengah Riuh Rendah Kehidupan Virtual: Sebuah Introspeksi

Topswara.com -- Manusia itu mahluk yang unik. Bukan sekadar bisa bergerak, tumbuh, dan berkembang biak, tetapi manusia bisa belajar, bisa menyampaikan apa yang ingin diketahui ataupun yang sudah difahaminya dengan cara berbicara. Hanya manusia yang bisa belajar, sehingga hanya manusialah yang bisa berbicara. 

Kuncinya ada pada potensi akal. Ya, akal itulah yang membedakan kita dari makhluk hidup lainnya, yaitu tumbuhan dan hewan. Dengan akal itu pula, kita bisa mengabstraksi persoalan, berkreasi, berinovasi, bahkan memahami makna tentang keberadaan dan tujuan hidup kita didunia ini. 

Akal adalah tempat masuknya petunjuk, penuntun bagi langkah dan tindakan, serta kompas kita dalam menapaki perjalanan kehidupan.

Namun pernahkah anda merasakan, bahwa akhir-akhir ini ada yang tidak beres dengan akal manusia? Seolah-olah ada sesuatu yang mengikisnya perlahan, membuatnya tumpul, bahkan rusak kehilangan fungsi utamanya. Ini bukan sekadar perasaan belaka, tapi realitas yang semakin lama semakin nyata, dan korbannya pun terus berlipat ganda.

Sebenernya apa penyebanya? Ada yang mengatakan bahwa biang keladi kerusakan akal justru dekat dengan kita. Penyebabnya adalah apa yang setiap hari ada pada genggaman kita. Sebab kerusakan itu tertransmisi lewat sesuatu yang kta suka, yaitu media sosial dan kecanggihan teknologi informasi.

Dulu, teknologi hadir untuk mempermudah kehidupan manusia. Kini, ia justru membuat kita tercabut dari tujuan dan hakikat penciptaan diri kita, yaitu sebagai hamba. Hamba yang seyogyanya tunduk pada aturan Tuhan nya, terikat pada nilai-nilai luhur dan pada tujuan hidup sebagai khalifah di dunia, malah makin melupakan fitrah penciptaanya. Semakin individualis dan semakin menjauh dari kehidupan sosialnya.

Mari kita mulai memperhatikan dan jujur pada diri sendiri sendiri. Apakah ada beberapa dari tanda-tanda dibawah ini, yang anda atau orang-orang di sekitar anda yang sedang mengalaminya? 

Interaksi dunia maya lebih dari ¼ dari waktu terjaga.
Bayangkan, seperempat dari waktu diluar tidur kita dihabiskan untuk berinteraksi di depan layar kaca, bukan dengan dunia nyata. Kita lebih sering berinteraksi dengan teknologi dibandingkan dengan manusia yang menciptakannya. 

Rentang perhatian yang sangat pendek.
Sulit fokus pada satu hal dalam waktu lama? Cepat bosan? Ini bukan hanya tentang karakter generasi Z. Bahkan hal ini melanda generasi Baby Boomer yang tidak bijak dalam menerima gempuran informasi.

Kecanduan konten yang tidak berfaedah bagi kehidupan nyata.
Scroll tanpa henti, menonton video yang idak relevan, menghabiskan waktu berjam-jam pada hal-hal yang justru menguras energi tanpa memberi manfaat nyata bagi kehidupan. 

Preferensi pada solusi praktis dan segera.
Kita ingin segala sesuatu instan. Hasil cepat, tanpa usaha, tanpa proses. Padahal, kebijaksanaan dalam menghadapi permasalahan seringkali lahir dari kesabaran.

Menunda-nunda aktivitas fisik.
Tubuh kita dirancang untuk bergerak, namun kita lebih memilih untuk rebaha, terpaku pada layar, sementara kesehatan dan vitalitas kita tergerus perlahan.

Impulsif.
Mudah tergoda bujukan, sulit menahan diri dari penawaran, memutuskan sesuatu berdasarkan emosi sesaat, tanpa pertimbangan matang. Apakah itu anda alami? 

Mudah cemas dan kompulsif.
Merasa gelisah tanpa sebab yang jelas? Terus-menerus ingin memeriksa notifikasi? Ini adalah alarm yang mengindikasikan akal yang sedang tertekan.

Menganggap realitas eksternal di luar dirinya buruk.
Kita terlalu mudah menyalahkan keadaan, menyalahkan orang lain, tanpa mau melihat ke dalam diri. Dunia terasa kejam, tidak adil pada kita, padahal mungkin kita sendiri seringkali menciptakan kondisinya. 

Mudah menyerah dan pasrah.
Hambatan sedikit saja membuat kita patah semangat. Kehilangan motivasi, merasa tak berdaya. Padahal hidup itu perjalanan, maka akan selalu ada ujian. 

Mengabaikan interaksi sosial.
Kita punya ribuan "teman" di media sosial, tapi merasa sepi di tengah keramaian. Interaksi tatap muka makin berkurang, digantikan oleh emoji dan komentar virtual.

Ini bukan sekadar daftar keluhan. Ini adalah panggilan kegawat-daruratan. Panggilan untuk menyadari bahwa akal kita, karunia terbesar dari Sang Pencipta Alam Semesta, sedang mengalami kerusakan. 

Jika kita terus membiarkannya terjadi, kita akan makin jauh dari esensi kemanusiaan itu sendiri. Semakin tercerabut dari tujuan sejati keberadaan kita didunia, semakin jauh kita dari Ridho dan Ampunan Allah SWT. 

Lalu, apa yang bisa kita lakukan?
Pertama, sadari. Kesadaran adalah langkah awal dari setiap perubahan. Akui bahwa kita mungkin sedang berada dalam perangkap ini. Dengan sadar akan keburukan dan kerusakan fakta, kita pasti ingin bergerak untuk mengubahnya. 

Kedua, hadir. Berusaha untuk hadir seutuhnya disetiap momen kehidupan anda. Matikan notifikasi, tatap mata orang yang sedang berbicara dengan anda, rasakan makanan yang anda santap, konsentrasi dalam kajian, dan sebagainya. 

Ketiga, selektif. Pilih dengan bijak apa yang anda konsumsi, baik itu konten digital, informasi, maupun pergaulan. Fokus pada hal-hal yang memberdayakan, yang mengisi akal anda sebagai manusia, agar jiwa anda bisa tunduk pada Sang Pencipta. 

Keempat, bergerak. Jangan tunda lagi aktivitas fisik anda. Tubuh yang sehat adalah wadah bagi akal yang berdaulat. Jangan mencukupkan diri hanya melakukan aktivitas virtual. Bukankah kita dihisab berdasarkan amal perbuatan? 

Kelima, berinteraksi secara nyata. Jalin kembali hubungan dengan orang-orang di sekitar Anda. Sapa tetangga, ajak teman mengobrol, habiskan waktu berkualitas bersama keluarga, lakukan riayah dan kontak secara simultan agar menjadi kebiasaan. 

Kita adalah manusia, bukan sekadar algoritma buatan. Kita punya akal, punya hati, juga punya ruh. Jangan biarkan riuh rendah dunia digital merenggut semua itu dari kita. Saatnya mengembalikan kendali atas diri kita, atas akal kita, dan atas kehidupan kita didunia. Saatnya kembali pada fitrah penciptaan kita, sebagai hamba yang bertakwa. 

Saatnya bangkit dengan pemikiran, dan hidup dengan penuh kemuliaan. 

Wallahu A'lam bish Shawab.


Trisyuono D. 
(Aktivis Muslim)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar