Topswara.com -- Banjir yang melanda Kalimantan Barat pada awal hingga pertengahan 2025 kembali mengingatkan kita bahwa persoalan lingkungan bukan sekadar urusan cuaca, melainkan kerusakan tata kelola yang sistemik dan kronis.
Berdasarkan laporan dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kalimantan Barat, hingga Maret 2025 tercatat sekitar 33.485 orang yang terdampak banjir di wilayah Sambas, Kubu Raya, Sanggau, Landak, dan Singkawang. Genangan air mencapai 30–60 cm, merendam ribuan rumah dan memutus akses jalan (Antara Kalbar, 2025).
Kabupaten Ketapang dan Kapuas Hulu menetapkan status tanggap darurat yang berlaku hingga April. BMKG juga mengeluarkan peringatan hujan ekstrem dan longsor sejak Februari.
Di tengah langkah mitigasi banjir yang sedang dilakukan, Kalimantan Barat kembali dihadapkan pada potensi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang berpotensi berlangsung sejak April hingga Oktober 2025. Dua wilayah, yakni Sambas dan Kubu Raya, telah menetapkan status siaga karhutla (Antara, 2025).
Fenomena ini menunjukkan krisis daya dukung lingkungan yang serius: musim hujan menyebabkan banjir, musim kemarau memicu kebakaran dan kabut asap.
Bencana Struktural, Bukan Sekadar Alam
Banjir tahunan di Kalbar bukan sekadar musibah alam. Deforestasi masif sejak dua dekade terakhir telah mengganti hutan lebat dengan perkebunan sawit dan pertambangan terbuka.
Menurut Forest Watch Indonesia (FWI), jutaan hektare hutan hilang antara 2000–2020. Hilangnya tutupan hutan mengurangi kemampuan tanah menyerap air, sehingga limpasan hujan langsung menggenangi sungai dan menyebabkan banjir.
Negara justru memfasilitasi eksploitasi dengan memberikan izin konsesi secara besar-besaran, sering tanpa kajian lingkungan yang memadai. Tata ruang diabaikan dan aturan sering dilanggar. Sistem sekularisme kapitalistik mendorong eksploitasi alam demi keuntungan ekonomi tanpa memperhatikan keberlanjutan ekologis.
Dalam sistem ini, alam diperlakukan sebagai objek komersial semata, sehingga hutan berubah menjadi ladang bisnis. Ketergantungan fiskal daerah pada sektor ekstraktif memperparah kerusakan lingkungan dan banjir pun menjadi konsekuensi langsung dari pola pembangunan tersebut.
Islam Kaffah Solusi Menyeluruh
Solusi jangka panjang atas krisis ini harus bersifat sistemik dan ideologis. Islam sebagai sistem hidup (nizham al-hayah) menawarkan tata kelola lingkungan yang berlandaskan tauhid, amanah, dan keberlanjutan.
Sumber daya alam adalah milik umum (milkiyah ‘ammah) yang dikelola negara untuk kemaslahatan seluruh rakyat, bukan untuk dikuasai segelintir pihak demi keuntungan pribadi. Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud menjelaskan bahwa umat Islam memiliki hak bersama atas air, padang rumput, dan api.
Dalam sistem khilafah, negara sebagai pelayan rakyat (ra’in) dan pelindung umat (junnah) wajib menjaga kelestarian alam serta membangun infrastruktur mitigasi bencana seperti tanggul dan drainase. Pendanaan tidak bergantung pada utang luar negeri, melainkan pada baitul mal (lembaga keuangan negara) yang mandiri.
Lebih penting, sistem Islam menanamkan kesadaran bahwa menjaga lingkungan adalah bagian dari ibadah dan tanggung jawab syar’i, sehingga umat termotivasi menjaga keseimbangan alam secara sadar.
Allah Swt. berfirman:
“Sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi.” (QS al-A‘râf [7]: 96)
Dengan penerapan syariat secara menyeluruh, tata kelola sumber daya alam akan berkeadilan dan seimbang, bukan semata demi keuntungan material.
Penutup
Banjir di Kalimantan Barat 2025 harus dipahami sebagai akibat dari sistem rusak, bukan semata bencana alam. Selama sistem sekularisme kapitalisme masih berkuasa, eksploitasi alam tanpa batas akan terus berlangsung, mengorbankan rakyat kecil. Solusi hakiki hanya datang dengan penerapan Islam kaffah di bawah naungan Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah.
Oleh: Hamzah Abu Shofiyah
Aktivis Islam Kaffah
0 Komentar