Topswara.com -- Kristiolog Ustazah Irena Handono mengungkapkan bahwa pengubahan membaca Al-Qur'an dan lafaz suara Azan menggunakan bahasa Turki di zaman dulu adalah sebuah upaya pengaburan ajaran Islam.
"Tujuan sebenarnya adalah pengaburan ajaran Islam dengan diterjemahkan dialih bahasakan seperti itu Islam menjadi agama sebatas ritual, pemahaman politik Islam dihilangkan," ungkapnya di akun Instagram irenahandono, Jumat (25/4/2025).
Ia menceritakan, dahulu di Turki membaca Al-Qur'an dan Azan dalam Bahasa Arab itu dilarang setelah Khilafah Utsmaniah runtuh. Mustafa Kamal Attaturk melarang segala sesuatu yang berbau Arab. Membaca kitab suci Al-Qur'an dalam bahasa Arab dilarang. Pelajaran Bahasa Arab di sekolah pun dilarang. Sampai adzan diganti Bahasa Turki.
"Apa tujuannya? Menurut Mustafa Kamal Attaturk menerjemahkan Al-Qur'an dalam bahasa Turki tujuannya untuk memudahkan rakyat Turki untuk memahami Al-Quran, tetapi ternyata ada tujuan lain," urainya.
Akibatnya, kata dia, umat Islam kehilangan pemahaman literatur asli (Al-Qur'an). Maka saat itupun umat Islam sudah mulai kehilangan jati diri, dan pengaburan ini tetap berlangsung sampai sekarang.
Penghapusan Kekhalifahan Utsmani
Sebagaimana dikutip Topswara.com dari Lostislamichistory.com bahwa ada awal berdirinya Republik Turki, pemerintahan sekuler ini tidak berani secara radikal menghapuskan sistem perundangan Islam di dalam negara ini bahkan khalifah pun masih memiliki otoritas di Istanbul.
Dualisme kekuasaan yang ada di Turki tentu saja menimbulkan polemik dan instabilitas pemerintahan Republik Turki modern. Pada tanggal 1 November 1922, Atatürk berhasil menghilangkan pengaruh Turki Utsmani yang berkuasa sejak 1299. Otoritas kekhalifahan diserahkan kepada GNA, dan kesultanan hanya sebagai raja tanpa mahkota, hanya sebagai simbol semata.
Ataurk sengaja tidak menghapuskan kekhalifahan secara total karena menurut hematnya itu bukanlah langkah yang populer, rakyat sudah terlanjur biasa dengan kekhalifahan selama enam abad lamanya.
Atatürk mengatakan kepada masyarakat Turki bahwa ia hendak mengembalikan sistem pemerintahan Abbasiyah antara tahun 900-an – 1500-an, dimana dibawah khalifah ada sultan atau emir yang berkuasa mengatur negara.
Politik Atatürk tersebut hampir tidak menimbulkan gejolak didalam negeri Turki, namun pendukung-pendukung khalifah di wilayah luar Turki, khususnya India, tidak menerima kebijakan Atatürk itu. Pendukung para khalifah itu mulai menggalang suara dan membuat organisasi yang bertujuan menyelamatkan khalifah.
Ternyata hal itu malah jadi senjata andalan Atatürk untuk menyingkirkan khalifah, dengan dalih politik dalam negeri Turki akan berdampak negatif karena campur tangan pihak luar, pada tanggal 3 Maret 1924, Atatürk dan GNA menghapuskan kekhalifahan dan mengirim semua anggota keluarga Utsmani yang tersisa ke pengasingan.
Demikian juga sistem perundangan, pemerintahan sekuler ini tidak berani langsung berterus terang menghapuskan undang-undang Islam dari wilayah Turki.
Atatürk memberi kekuasaan pada GNA, untuk menetapkan agama Islam sebagai agama resmi negara dan memilih pakar-pakar agama yang mengawasi setiap undang-undang yang baru dikeluarkan, apakah undang-undang tersebut sesuai dengan syariat Islam atau tidak. Namun kenyataannya ini adalah strategi Atatürk saja, agar kepemimpinannya tidak menimbulkan gejolak.
Serangan Terhadap Islam
Dengan diasingkannya khalifah keluar Turki, Atatürk semakin bebas menjalankan program sekulernya. Dengan selogan “Membersihkan Islam dari campur tangan politik”, ia mulai mengkritisi kebijakan-kebijakan yang Islami, sistem pendidikan dirombak, hal-hal yang berbau Islam dalam kurikulum dihapuskan. Infrastruktur agama juga dihilangkan, diantaranya Atatürk mengubah Masjid Hagia Shopia menjadi museum. Dewan syariat yang dibentuk GNA dua tahun yang lalu dihapuskan.
Atatürk juga membuat kebijakan bahwa harta baitul mal dikuasai negara, madrasah-madrasah ditutup, hakim-hakim agama dipecat, dan pengadilan-pengadialan agama ditutup.
Kebijakan-kebijakan sekuler Atatürk ini tidak hanya berhenti pada tataran pemerintahan, kehidupan sehari-hari masyarakat Turki juga tidak lepas dari ide-ide sekulernya, sperti:
Pertama, pemakaian surban dan kopiah dilarang negara dan diganti dengan topi gaya barat (hat). Kedua, penggunaan jilbab dianggap sebagai sesuatu yang memalukan dan dilarang dikenakan di ruang publik.
Ketiga, kalender Hijriah diganti dengan kalender Masehi. Keempat, pada tahun 1932, Turki melarang azan dengan bahasa Arab dan diganti dengan bahasa Turki. Kelima, hari jumat bukan lagi termasuk bagian dari akhir pekan, diganti dengan hari sabtu dan minggu mengikuti tradisi Eropa.
Setelah semua kejadian ini, GNA tidak lagi menutupi sandiwara yang mereka perankan selama ini. GNA menghapus pernyataan resmi mereka bahwa Islam sebagai agama negara, Islam secara nyata telah diganti dengan ideologi sekuler Atatürk.
Reformasi Bahasa
Atatürk menyadari reformasi sekuler ini akan berjalan sia-sia apabila orang-orang Turki berhasil menggalang persatuan dan mengadakan perlawan terhadapnya. Bahaya terbesar bagi tatanan baru Turki ini adalah sejarah bangsa Turki itu sendiri.
Selama berabad-abad orang-orang Turki berada dalam satu ikatan persatuan yaitu persatuan Islam. Untuk menjauhkan orang-orang Turki dari sejarahnya Atatürk berupaya agar sejarah tersebut tidak terbaca dengan cara mereformasi bahasa.
Atatürk mengubah bahasa resmi negara, bahasa Turki yang diakulturasi dengan bahasa Arab (seperti di Indonesia Arab Melayu), menjadi bahasa Turki dan banyak menyerap unsur-unsur Eropa; bahasa Inggris, Perancis, dan Spanyol.
Ia memanfaatkan keadaan tingginya prosentase buta aksara di Turki dengan menggalakkan program pemberantasan buta huruf, mengganti bahasa Arab dengan huruf latin.
Aksara Arab adalah sebuah ancaman serius bagi sekulerisasi Turki, karena dengan pahamnya rakyat Turki akan bahasa Arab, maka sumber-sumber ideologi dan sejarah mereka sangat mudah untuk dibaca sehingga menghubungkan rakyat dengan sejarah mereka kembali.
Reformasi ini berjalan cukup sukses. Dalam beberapa dekade generasi Turki yang lama (Utsmani) benar-benar terputus dari generasi modern. Semakin jauhlah Turki dengan identitas Islam yang ditanamkan Turki Utsmani selama berabad-abad silam.
Turki Sekuler
Semua politik dan strategi matang yang dilakukan Atatürk dan orang-orangnya secara efektif menghapus Islam dari kehidupan masyarakat Turki. Perjuangan-perjuangan kelompok Islamis seolah-olah tidak berarti lagi karena tekanan pemerintah dan ide-ide sekuler yang mereka terapkan serta dukungan militer yang semakin mengokohkan ideologi ini di tanah Turki.
Kesulitan mengembalikan syiar-syiar Islam di Turki terbukti dengan dikudetanya Adnan Menderes yang terpilih melalui proses demokrasi pada tahun 1950. Ia berhasil mengembalikan adzan dalam bahasa Arab, lalu dikudeta militer pada tahun 1960.
Baru-baru ini, pada tahun 1996, Necmettin Erbakan terpilih sebagai perdana menteri Turki. Dengan lantang ia mengatakan bahwa dirinya adalah seorang “Islamis”, sekali lagi militer melakukan kudeta dan menggulingkan kekuasaannya yang hanya berlangsung selama satu tahun.
Pada saat ini, syiar-syiar Islam di Turki sedikit demi sedikit kembali bergelora di tangan pemerintahan Perdana Menteri Recep Tayyib Erdogan. Jilbab sudah boleh dikenakan oleh pegawai-pegawai pemerintah, kebijakan-kebijakan luar negeri yang mendukung rakyat Suriah merdeka, mendukung Presiden Mursi di Mesir dan lain sebagainya.
Mudah-mudahan fanatisme yang membabi buta terhadap ideologi sekuler Eropa segera hilang dari tanah Turki dan berganti kembali menjadi negara Islam yang menjunjung nilai-nilai keadilan dan persaudaraan.[] Alfia Purwanti
0 Komentar