Topswara.com -- Pakar Konsultan Keluarga dan Konselor, Dr. Ruziah Ibrahim menyatakan bahwa pemikiran anak perlu dibentuk berdasarkan keyakinan kepada Allah dan rukun iman sebagai dasar.
“Pemikiran itu harus disandarkan pada keimanannya, bukan? Pada kepercayaannya terhadap rukun iman, dan hal ini harus dipastikan. Jadi pemikiran itu disandarkan pada keyakinannya kepada Allah SWT,” ujarnya dalam Forum Muslimah Ideal bertajuk Seni Membentuk Generasi Pemimpin, di Putrajaya, Ahad (27/4/2025).
Dia juga mengaitkan bagaimana peran pemikiran, emosi, dan perilaku yang dalam psikologi disebut sebagai segitiga kognitif dapat membentuk karakter seorang anak atau individu. Dengan analogi sederhana, ia mencontohkan jika terjadi suatu situasi tertentu, maka pemikiran yang sehat akan memandu emosi dan selanjutnya perilaku.
“Kita harus menyeimbangkan ketiga komponen ini, yaitu pemikiran, emosi, dan perilaku yang dalam psikologi disebut segitiga kognitif. Jadi saya ingin memberi contoh, jika ada kejadian seperti anak menumpahkan minuman di baju lebaran, maka pemikiran harus berfungsi lebih dulu, bukan emosi atau perilaku. Jika pemikiran kita adalah ‘Allah sedang menguji,’ maka emosi akan terkendali dan perilaku kita akan menjadi tenang dan rasional,” tuturnya.
Dalam membentuk kepemimpinan, dia menjelaskan bahwa tidak cukup hanya memiliki jiwa kepemimpinan tanpa karakter (akhlak) yang kokoh. Ini karena kepemimpinan membutuhkan keseimbangan antara jiwa dan tindakan (amal).
“Sebenarnya kita tidak ingin hanya jiwa saja yang memimpin, karena kalau hanya jiwa saja, amalnya tidak ada. Kita tidak ingin seperti itu. Kita ingin ia memiliki karakter, memiliki akhlak kepemimpinan,” katanya.
Ia menambahkan bahwa pembentukan jati diri dan kepemimpinan dalam diri anak-anak dapat dibentuk melalui kesinambungan beberapa aspek. Di antaranya adalah peran nature dan nurture (keturunan dan lingkungan). Dia menjelaskan bahwa pembentukan anak perlu didukung oleh gabungan antara faktor keturunan dan lingkungan.
“Membentuk anak itu ada nature dan nurture. Itu istilah psikologi, tapi bahasa orang tua kita, itu adalah keturunan dan lingkungan. Jadi anak-anak tumbuh harus memiliki dua aspek ini,” jelasnya.
Dia menekankan pentingnya aspek keturunan yang dapat menghasilkan potensi. Selanjutnya, lingkungan dan suasana yang kondusif juga penting, namun yang lebih penting adalah bagaimana seorang anak dapat membawa suasana yang kondusif, sehat, dan berpandukan syariat dalam dirinya.
“Kalau anak-anak pintar, kepintarannya memang bisa diturunkan secara genetik atau melalui keturunan. Kalau kita bicara soal lingkungan yang kondusif, bagaimana kita memastikan anak kita bisa membawa lingkungan yang kondusif itu dalam dirinya ke mana pun ia pergi. Memang kita paham bahwa teman dan lingkungan itu penting. Tapi yang lebih penting, kita ingin anak kita membawa suasana yang kondusif, suasana yang sehat, dan bernuansa syariat di dalam dirinya,” tutupnya.
[]Rahmah
0 Komentar