Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Kata Al-Nafs di Dalam Al-Qur'an yang Menjelaskan Personalitas Seseorang

Topswara.com -- Sobat, kata al-Nafs di dalam Al-Qur'an disebut sebanyak 302 kali. 
Benar, kata "al-Nafs" (نفس) disebutkan dalam Al-Qur'an sebanyak 302 kali. Kata ini memiliki beragam makna tergantung pada konteksnya, tetapi secara umum merujuk pada jiwa, diri, atau nafsu manusia. Dalam konteks psikologi pendidikan Islam, pemahaman tentang konsep "al-Nafs" dapat memberikan wawasan yang dalam tentang keadaan psikologis manusia, termasuk aspek-aspek seperti motivasi, emosi, dan kepribadian.

Kata al-Nafs dalam QS. Al-Baqarah ayat 48, 123, 233, 281. QS Ali Imran ayat 25 dan 30.

Berikut adalah ayat-ayat Al-Qur'an yang penulis sebutkan yang mengandung kata "al-Nafs":

1. QS. Al-Baqarah ayat 48: 
وَاتَّقُوا يَوْمًا لَّا تَجْزِي نَفْسٌ عَن نَّفْسٍ شَيْئًا وَلَا يُقْبَلُ مِنْهَا شَفَاعَةٌ وَلَا يُؤْخَذُ مِنْهَا عَدْلٌ وَلَا هُمْ يُنصَرُونَ
  
“Dan jagalah dirimu dari (azab) hari (kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikitpun; dan (begitu pula) tidak diterima syafa'at dan tebusan dari padanya, dan tidaklah mereka akan ditolong."

Sobat, Allah memperingatkan kepada Bani Israil yang ada pada waktu turunnya ayat ini agar mereka kembali ke jalan yang benar, mengikuti agama Allah, yang telah disempurnakan dengan wahyu-wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan jalan itu mereka dapat menjaga diri mereka dari azab hari kiamat yang tak akan dapat dibendung oleh siapa pun juga, tak seorang pun dapat menyelamatkan diri dari padanya kecuali orang-orang yang beriman dan bertakwa serta mengikuti syariat dan petunjuk-petunjuk Allah.

Allah SWT menjelaskan bahwa pada hari kiamat nanti tak seorang pun dapat memberikan pertolongan kepada orang lain agar terbebas dari azab-Nya, dan setiap orang bertanggung jawab atas perbuatannya masing-masing. Seseorang tidak dapat memikul dosa orang lain, walaupun dia bersedia. Hal ini merupakan ketegasan dari Allah atas ketidakbenaran anggapan mereka bahwa berdasarkan keutamaan yang ada pada mereka, mereka akan memperoleh syafaat. Padahal anggapan itu tidak benar, karena orang-orang yang berimanlah yang akan memperoleh syafaat dari Allah.

Syafaat ialah pertolongan yang diberikan oleh rasul atau orang-orang tertentu untuk meringankan azab atau beban seseorang di akhirat, atas izin Allah. Dalam hubungan ini Allah swt berfirman:
"Dan seseorang tidak akan memikul beban dosa orang lain." (al-An'am/6:164).

"Dan jika seseorang yang dibebani berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul bebannya itu, tidak akan dipikulkan untuknya sedikit pun, meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya." (Fatir/35:18).

"Pada hari itu manusia lari dari saudaranya, dan dari ibu dan bapaknya, dan dari istri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang menyibukkannya." ('Abasa/80:34-37)

Walau peringatan ini ditujukan kepada Bani Israil, tetapi berlaku juga bagi umat Islam agar mereka selama hidup di dunia berusaha mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya, agar kelak pada hari kiamat terhindar dari azab Allah. Caranya ialah dengan mengikuti petunjuk-petunjuk Allah dan melaksanakan syariat-syariat-Nya.

2. QS. Al-Baqarah ayat 123:
وَاتَّقُوا يَوْمًا لَّا تَجْزِي نَفْسٌ عَن نَّفْسٍ شَيْئًا وَلَا يُقْبَلُ مِنْهَا عَدْلٌ وَلَا تَنفَعُهَا شَفَاعَةٌ وَلَا هُمْ يُنصَرُونَ 
 
“Dan takutlah kamu kepada suatu hari di waktu seseorang tidak dapat menggantikan seseorang lain sedikitpun dan tidak akan diterima suatu tebusan daripadanya dan tidak akan memberi manfaat sesuatu syafa'at kepadanya dan tidak (pula) mereka akan ditolong,".

3. QS. Al-Baqarah ayat 233:
۞وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِۖ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ الرَّضَاعَةَۚ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَاۚ لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَّهُ بِوَلَدِهِۚ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَٰلِكَۗ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَن تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَاۗ وَإِنْ أَرَدتُّمْ أَن تَسْتَرْضِعُوا أَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُم مَّا آتَيْتُم بِالْمَعْرُوفِۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ  

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” 

Sobat, setiap ibu (meskipun ia janda) berkewajiban menyusui anaknya sampai anak itu mencapai usia dua tahun. Tidak mengapa kalau masa susuan itu kurang dari masa tersebut apabila kedua ibu-bapak memandang ada maslahatnya. Demikian pula setiap bapak berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan para ibu, baik sandang maupun pangan sesuai dengan kebutuhannya. Ibu laksana wadah bagi anak, sedang bapak sebagai pemilik wadah itu. Maka, sudah sewajarnya bapak berkewajiban memberi nafkah kepada orang yang di bawah tanggung jawabnya dan memelihara serta merawat miliknya.

Allah mewajibkan kepada ibu menyusui bayinya, karena air susu ibu mempunyai pengaruh yang besar kepada anaknya. Dari hasil penelitian para ahli medis menunjukkan bahwa air susu ibu terdiri dari saripati yang benar-benar murni. Air susu ibu juga merupakan makanan yang paling baik untuk bayi, dan tidak disangsikan lagi oleh para ahli gizi. Di samping ibu dengan fitrah kejadiannya memiliki rasa kasih sayang yang mendalam sehingga penyusuan langsung dari ibu, berhubungan erat dengan perkembangan jiwa dan mental anak. Dengan demikian, kurang tepat tindakan sementara para ibu yang tidak mau menyusui anaknya hanya karena kepentingan pribadinya, umpamanya, untuk memelihara kecantikan. Padahal ini bertentangan dengan fitrahnya sendiri dan secara tidak langsung ia kehilangan kesempatan untuk membina dasar hubungan keibuan dengan anaknya sendiri dalam bidang emosi.

Demikianlah pembagian kewajiban kedua orang tua terhadap bayinya yang diatur oleh Allah SWT. Sementara itu diberi pula keringanan terhadap kewajiban, umpama kesehatan ibu terganggu atau seorang dokter mengatakan tidak baik bila disusukan oleh ibu karena suatu hal, maka tidak mengapa kalau anak mendapat susuan atau makanan dari orang lain.

Demikian juga apabila bapak tidak mempunyai kesanggupan melaksanakan kewajibannya karena miskin, maka ia boleh melaksanakan kewajibannya sesuai dengan kesanggupannya. Keringanan itu membuktikan bahwa anak tidak boleh dijadikan sebab adanya kemudaratan, baik terhadap bapak maupun terhadap ibu. Dengan pengertian, kewajiban tersebut tidak mesti berlaku secara mutlak sehingga mengakibatkan kemudaratan bagi keduanya. Salah satu pihak tidak boleh memudaratkan pihak lain dengan menjadikan anak sebagai kambing hitamnya. Umpamanya karena ibu mengetahui bahwa bapak berkewajiban memberi nafkah, maka ia melakukan pemerasan dengan tidak menyusui atau merawat si bayi tanpa sejumlah biaya tertentu. Atau bapak sangat kikir dalam memberikan nafkah sehingga ibu menderita karenanya.

Selanjutnya, andaikata salah seorang dari ibu atau bapak tidak memiliki kesanggupan untuk melaksanakan kewajiban atau meninggal dunia, maka kewajiban-kewajiban itu berpindah kepada ahli warisnya. Lamanya masa penyusuan dua tahun, tetapi demikian apabila berdasarkan musyawarah antara bapak dan ibu untuk kemaslahatan anak, mereka sepakat untuk menghentikannya sebelum sampai masa dua tahun atau meneruskannya lewat dari dua tahun, maka hal ini boleh saja dilakukan.

Demikian juga jika mereka mengambil perempuan lain untuk menyusukan anaknya, maka hal ini tidak mengapa dengan syarat kepada perempuan yang menyusukan itu diberikan imbalan jasa yang sesuai, sehingga terjamin kemaslahatan, baik bagi anak maupun perempuan yang menyusui itu.

Ulama fikih berbeda pendapat tentang siapa yang berhak untuk menyusukan dan memelihara anak tersebut, jika terjadi perceraian antara suami-istri. Apakah pemeliharaan menjadi kewajiban ibu atau kewajiban bapak? Imam Malik berpendapat bahwa ibulah yang berkewajiban menyusukan anak tersebut, walaupun ia tidak memiliki air susu, kalau ia masih memiliki harta, maka anak itu disusukan pada orang lain dengan mempergunakan harta ibunya. Imam Syafi'i dalam hal ini berpendapat bahwa kewajiban tersebut adalah kewajiban bapak.

4.  QS. Al-Baqarah ayat 281:
وَاتَّقُوا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللَّهِۖ ثُمَّ تُوَفَّىٰ كُلُّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ  

“Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).” 

Sobat, setelah penjelasan seputar ayat-ayat riba diakhiri, maka manusia diberi peringatan agar takut kepada Allah. Di akhirat mereka akan kembali kepada-Nya, ketika seluruh perbuatan hamba dipertanggungjawabkan, termasuk harta yang pernah didapat dan dipergunakan. Jika mereka lalai atau sedang terpengaruh oleh harta benda dan sebagainya, maka hendaklah mereka sadar dan ingat akan kedatangan hari pembalasan/kiamat. Pada hari itu Allah menghukum dengan adil, tidak mengurangi pahala kebaikan sedikit pun dan tidak pula menambah siksa atas kejahatan yang diperbuat.

Menurut riwayat al-Bukhari dari Ibnu 'Abbas, ayat ini adalah ayat yang terakhir yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Jibril a.s berkata kepada Rasulullah SAW "Letakkanlah ayat ini antara ayat: Wa in kana dzu 'usratin .... (al-Baqarah/2:280) dan ayat: "Ya ayyuhalladzina amanu idza tadayantum bi dainin... (al-Baqarah/2:282).

Rasulullah SAW masih hidup selama 21 hari setelah turunnya ayat ini. Menurut riwayat yang lain beliau wafat 81 hari kemudian.

5. Dalam QS. Ali  Imran ayat 25 :
فَكَيْفَ إِذَا جَمَعْنَاهُمْ لِيَوْمٍ لَّا رَيْبَ فِيهِ وَوُفِّيَتْ كُلُّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ  

“Bagaimanakah nanti apabila mereka Kami kumpulkan di hari (kiamat) yang tidak ada keraguan tentang adanya. Dan disempurnakan kepada tiap-tiap diri balasan apa yang diusahakannya sedang mereka tidak dianiaya (dirugikan).“ 

Sobat, ayat ini membantah dan membatalkan apa yang dikatakan oleh orang Yahudi pada ayat yang lalu. Ayat ini tersusun dalam bentuk kalimat pertanyaan bagaimanakah keadaan orang Yahudi bilamana hari kiamat yang tidak diragukan lagi itu telah datang.

Bentuk kalimat seperti itu menggambarkan bagaimana kehebatan huru-hara yang terjadi di hari itu, dan tentang siksa besar yang akan ditimpakan kepada orang-orang Yahudi. Mereka akan jatuh kepada jurang penderitaan, tak akan ada jalan untuk menyelamatkan diri. Sesungguhnya anggapan orang Yahudi bahwa dirinya akan dapat lepas dengan mudah dari azab itu adalah angan-angan kosong.

Pada hari yang dahsyat itu orang akan melihat dengan jelas apa yang telah dikerjakannya, baik atau buruk akan dihadapkan kepada mereka. Kemudian segala amal perbuatan akan dibalas dengan kebahagiaan jika amal itu baik atau dengan kesengsaraan jika amal itu buruk. Tidak ada hak istimewa yang dapat diberikan kepada pemeluk suatu agama tertentu dan golongan tertentu. Tidak pula suatu bangsa mendapat keistimewaan atas bangsa-bangsa lainnya sekalipun mereka menamakan dirinya dengan sya'bullah al-mukhtar (rakyat Allah yang terpilih) atau anak Allah. Pembalasan pada hari kiamat itu sesuai dengan baik buruknya iktikad yang terkandung dalam hati dan sesuai pula dengan baik buruknya amal perbuatan yang telah dilakukan.

Pada hari itu akan terdapat keadilan yang sempurna. Tidak akan dikurangi sedikit pun balasan terhadap suatu perbuatan dan tidak pula akan ditambah. Yang menjadi pertimbangan pada hari itu ialah keimanan seseorang dan pengaruh iman itu terhadap amal perbuatannya sewaktu di dunia. Kalau dia tidak beriman, maka dia akan masuk ke dalam neraka, karena amal-amalnya yang buruk. Jika imannya tidak sampai rusak, karena diimbangi dengan amal saleh atau seimbang antara yang baik dengan yang buruk, maka dia mendapat balasan sesuai dengan derajat dan kadarnya masing-masing.

6. Dalam QS. Ali Imran ayat 30 :
يَوْمَ تَجِدُ كُلُّ نَفْسٍ مَّا عَمِلَتْ مِنْ خَيْرٍ مُّحْضَرًا وَمَا عَمِلَتْ مِن سُوءٍ تَوَدُّ لَوْ أَنَّ 
بَيْنَهَا وَبَيْنَهُ أَمَدًا بَعِيدًاۗ وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُۗ وَاللَّهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ  

“Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (dimukanya), begitu (juga) kejahatan yang telah dikerjakannya; ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh; dan Allah memperingatkan kamu terhadap siksa-Nya. Dan Allah sangat Penyayang kepada hamba-hamba-Nya.”

Sobat, selanjutnya pada ayat ini Allah memperingatkan hari yang pasti datangnya, tiap manusia akan menyaksikan sendiri segala perbuatannya selama masa hidupnya. Orang yang mendapatkan pahala amal kebajikannya, merasa senang dan gembira atas pahala yang diterimanya. Orang akan menyaksikan pula kejahatan-kejahatannya, dan menginginkan kejahatan itu dijauhkan daripadanya. Kemudian Allah mengulangi lagi ancaman-Nya dengan memperingatkan manusia terhadap siksa-Nya, yakni hendaklah manusia takut akan kemurkaan Allah, dengan cara mengerjakan kebajikan, menolak tipu muslihat setan dan bertobat kepada-Nya. Kemudian ayat ini ditutup dengan pernyataan bahwa Allah Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya.

Al-hasan al-Basri berkata, "Di antara kasih sayang Allah ialah Dia memperingatkan manusia akan kekuasaan Diri-Nya, memperkenalkan kepada mereka kesempurnaan ilmu dan kodrat-Nya, sebab barang siapa telah mengetahui hal itu dengan sempurna, maka ia pasti merasa terpanggil untuk mencari keridaan-Nya dan menjauhi kemurkaan-Nya."

Di antara belas kasihan Allah ialah: Allah menjadikan fitrah manusia cenderung kepada kebajikan serta senantiasa membenci hal-hal yang mengarah kepada kejahatan, sehingga pengaruh kejahatan dalam jiwa dapat dilenyapkan dengan tobat dan amal saleh.

Dr. Nasrul Syarif M.Si.
Penulis Buku Gizi Spiritual. Dosen Psikologi Dakwah Pascasarjana UIT  Lirboyo

Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar