Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Penarikan Cukai Minuman Manis, Mampukah Atasi Kasus Diabetes

Topswara.com -- Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) akan segera dikenakan tarif cukai oleh Kementerian Keuangan melalui Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2023. Minuman berpemanis yang akan ditarif cukai ini dikenakan terhadap minuman yang mengandung gula, pemanis alami, ataupun pemanis buatan. 

Pemerintah juga menarget dari penerimaan cukai tersebut sebesar Rp4,39 triliun di tahun pertama ditetapkan yakni 2024. Meski optimis, akan tetapi diperkirakan akan sulit dan realisasinya akan lebih kecil, karena sampai akhir Februari 2024 saja pembahasan cukai masih berlangsung, ucap Fajry Akbar, pengamat pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA). (Tirto.id, 23/2/2024) 

Lebih lanjut Fajry mengatakan pengenaan cukai MBDK bukan semata-mata untuk menambah penerimaan negara, akan tetapi sebagai alat untuk mengatur dan melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi. 

Misalnya pada kasus minuman berpemanis yang bertujuan untuk menekan salah satu faktor risiko dari banyaknya penyakit tidak menular yang terjadi di masyarakat, seperti diabetes. 

Kebijakan tersebut bermula ketika Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan negara-negara anggota untuk menerapkan fiskal terhadap minuman berpemanis pada Tahun 2022 lalu. Hingga saat ini ada sekitar 85 negara yang sudah menerapkannya. 

Penyakit diabetes memang salah satunya akibat mengonsumsi zat gula yang berlebih. Di samping karena kurangnya aktivitas fisik, stress, obesitas, dan lain sebagainya. Namun, penyelesaian masalah ini membutuhkan upaya penanganan yang mendasar dan menyeluruh. 

Karena, penetapan cukai pada minuman berpemanis tidak serta merta menghalangi masyarakat mengurangi konsumsi minuman berpemanis. Apalagi di tengah kondisi masyarakat yang serba kekurangan, rendahnya tingkat pendidikan, serta rendahnya literasi kesehatan dan keamanan pangan. Kondisi demikian justru berpeluang membuka celah adanya minuman berpemanis yang tidak terkontrol di tengah masyarakat. 

Selain itu, penetapan cukai juga menjadi salah satu cara negara yang menganut sistem kapitalisme sekuler, untuk meningkatkan pendapatan negara karena diyakini begitu menjanjikan. Meskipun masih banyak persoalan terkait kepatuhan dan besarnya peluang penyelewengan pajak di negara ini. 

Negara kapitalis menjadikan perolehan keuntungan materi sebanyak-banyaknya sebagai tujuan, dan minim terhadap perhatian masyarakat termasuk risiko kesehatan yang akan menimpa akibat minuman berpemanis tersebut. 

Seharusnya, jika negara benar-benar serius ingin mengendalikan penyakit diabetes, negara dapat membuat aturan standar mutu makanan dan minuman yang boleh beredar di pasaran termasuk kadar gula yang dipakainya. Negara juga dapat memberikan sanksi tegas kepada perusahaan industri yang melanggar aturan tersebut. 

Di samping itu, masalah kemiskinan seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah dalam menyelesaikannya. Bagaimana agar rakyat tercukupi kebutuhan pangannya, tidak hanya sekadar kenyang tanpa memedulikan kesehatannya, akan tetapi harus bergizi. 

Namun sepertinya hal ini sulit diwujudkan. Karena bagaimanapun juga, industri minuman mampu memberikan keuntungan besar bagi negara. Maka tak heran, jika tidak sedikit industri minuman yang akhirnya kurang mempertimbangkan halal dan thayyib. Karena bagi mereka yang terpenting keuntungan terus meningkat. Sementara negara tidak dapat bersikap tegas. Yang ada justru semakin terlihat bukan lagi sebagai pelayan dan pelindung rakyat, akan tetapi lebih condong kepada para korporat. 

Inilah ketika masyarakat diatur dengan hukum buatan manusia kapitalisme sekuler, tidak ada jaminan keamanan terhadap apa yang hendak dikonsumsi. Negara tidak bertanggung jawab penuh, yang pada akhirnya masyarakat sendirilah yang harus memperhatikan makanan maupun minuman yang akan dikonsumsi.

Kondisi ini tentu sangat berbeda ketika masyarakat diatur dengan aturan yang datang dari Sang Pencipta Allah Swt., yakni syariat Islam. Islam mewajibkan negara melakukan upaya menyeluruh dan mendasar untuk mencapai derajat kesehatan yang prima, baik melalui kebijakan ataupun aturan dalam industri, penyediaan sarana kesehatan yang memadai serta meningkatkan edukasi masyarakat secara sungguh-sungguh. Karena negara Islam menjadikan pemimpinnya sebagai junnah (perisai) bagi rakyatnya. 

Negara akan menjamin keamanan pangan rakyatnya dan mencegah kebahayaan yang bisa menimpa mereka, termasuk makanan dan minuman yang keluar dari standar halal dan thayyib sebagaimana dalam sistem kapitalis ini.

Allah SWT. berfirman dalam QS Al-Maidah ayat 88, yang artinya: "Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepada kalian, dan bertakwalah kepada Allah yang kalian beriman kepada-Nya."

Kata 'halalan' berasal dari akar kata 'lepas' atau 'tidak terikat'. Artinya terlepas dari ikatan bahaya duniawi dan ukhrawi. Sehingga boleh untuk mengonsumsi makanan dan minuman yang halal dan tanpa sebab tertentu untuk dilarang yakni oleh syariat. 

Sementara thayyib secara bahasa berarti lezat, baik, sehat, menenteramkan dan paling utama. Artinya, kata thayyib dalam makanan adalah makanan yang sehat, proporsional dan aman. Sehingga kalimat 'halalan thayyiban', mengisyaratkan makanan yang dikonsumsi dibolehkan secara syar'i, akan tetapi harus berdampak baik pada jiwa dan raga manusia. 

Konsep seperti inilah yang seharusnya diterapkan dalam kehidupan kaum muslimin, dengan penerapan secara menyeluruh, tidak sebatas individu semata. Bahkan dalam hal ini negaralah yang berkewajiban untuk menerapkannya. Karena negara dalam sistem pemerintahan Islam harus menjamin perlindungan atas terpenuhinya kebutuhan makanan yang halal dan thayyib bagi rakyatnya. 

Dalam hal menjamin keamanan dan upaya menghindarkan masyarakat dari penyakit yang diakibatkan oleh pola makan yang salah, maka negara akan memastikan setiap individu rakyat dapat memenuhi segala kebutuhan pangannya. Yakni yang halal dan bergizi di mana telah diatur dalam sistem ekonomi Islam. 

Tidak hanya itu, negara juga akan membuat aturan bagi perindustrian makanan dan minuman agar menggunakan bahan baku yang halal dan thayyib. Sistem sanksi takzir juga akan diberlakukan bagi pelaku industri yang melanggar aturan tersebut. 

Selain itu, negara juga akan memberikan jaminan kesehatan bagi semua rakyatnya, dengan memberikan sarana kesehatan yang memadai dan berkualitas. Negara juga akan memberikan edukasi kepada masyarakat terkait pola hidup sehat, pentingnya menjaga kesehatan agar tidak mudah terserang penyakit. 

Dalam sistem pemerintahan Islam, penarikan pajak tidak akan dijadikan sebagai sumber pendapatan negara. Karena negara sudah memiliki sumber pemasukan tersendiri yang diatur oleh baitumal. Salah satunya dari pengelolaan sumber daya alam yang begitu melimpah, yang sangat cukup untuk menyejahterakan rakyatnya. 

Demikianlah, ketika negara menjadikan aturan Islam sebagai satu-satunya aturan yang layak diterapkan, maka persoalan apapun akan dapat diselesaikan. Karena aturan tersebut datang dari Allah SWT. yang Maha Mengetahui segala kebutuhan makhluk-Nya. Kehidupan pun akan berjalan dengan sempurna, jika aturan tersebut diterapkan secara kaffah (menyeluruh) di setiap aspek, niscaya kesejahteraan dan keberkahan akan terwujud. 

Wallahu a'lam bi ash-shawwab.


Oleh: Sri Murwati 
Peguat Literasi, Komunitas Rindu Surga 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar