Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Tujuh Kemuliaan Orang yang Menuntut Ilmu


Topswara.com -- Sobat. Imam Abu Laits Assamarqandi penulis kitab Tanbihul Ghafilin pernah berkata, “ Siapa yang belajar pada orang alim, dia tetap akan mendapatkan tujuh kemuliaan meskipun tidak sanggup menghafal sedikit pun dari ilmu yang diberikan orang alim itu. 

Adapun tujuh kemuliaan tersebut adalah :
Pertama, keutamaan sebagai penuntut ilmu.
Kedua, terlindungi dari dosa.
Ketiga, kucuran rahmat sejak dia meninggalkan rumah untuk menuntut ilmu.
Keempat, apabila rahmat turun kepada semua yang hadir dalam majelis ilmu, dia akan mendapatkan bagian.
Kelima, akan dicatat baginya sebagai suatu ketaatan selama dia mendengarkan penjelasan.
Keenam, apabila hatinya gundah lantaran tidak paham, kegundahannya itu akan menjadi wasilah menuju ke hadirat Allah.
Ketujuh, akan mengetahui kemuliaan orang alim dan kenistaan orang fasik, lalu perangainya akan cenderung pada ilmu dan hatinya akan menolak kefasikan.

Sobat. Ilmu adalah pengetahuan terhadap sesuatu sesuai dengan realitas, baik sesuatu itu dapat diindera maupun ghaib. Ilmu adalah kehidupan jiwa, makanan jiwa, cahaya akal dan penglihatan.

Macam-macam Ilmu :
Fardhu ‘ain adalah ilmu yang jika seseorang tidak mempelajarinya maka dia berdosa. Dan tidak ada kewajiban menuntut ilmu melainkan ilmu agama dipelajari seorang muslim sesuai urusan agamanya, supaya menjadi bekal untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan. Maka dia harus mempelajari perintah agama, larangan, kewajiban dan rukun-rukunnya.

Fardhu kifayah yaitu ilmu yang jika sebagian orang telah mempelajarinya maka kewajiban orang lain batal. Adapun jika tidak ada diantara mereka yang mempelajarinya, maka mereka semua berdosa. Ilmu ini adalah ilmu duniawi seperti ilmu kedokteran, ilmu arsitektur, ilmu perbintangan dan ilmu-ilmu modern lainnya yang dibutuhkan masyarakat.

Allah SWT berfirman :
هُوَ ٱلَّذِيٓ أَنزَلَ عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ مِنۡهُ ءَايَٰتٞ مُّحۡكَمَٰتٌ هُنَّ أُمُّ ٱلۡكِتَٰبِ وَأُخَرُ مُتَشَٰبِهَٰتٞۖ فَأَمَّا ٱلَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمۡ زَيۡغٞ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَٰبَهَ مِنۡهُ ٱبۡتِغَآءَ ٱلۡفِتۡنَةِ وَٱبۡتِغَآءَ تَأۡوِيلِهِۦۖ وَمَا يَعۡلَمُ تَأۡوِيلَهُۥٓ إِلَّا ٱللَّهُۗ وَٱلرَّٰسِخُونَ فِي ٱلۡعِلۡمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِۦ كُلّٞ مِّنۡ عِندِ رَبِّنَاۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّآ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ  

“Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami". Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” (QS.Ali Imran (3) : 7)

Sobat. Al-Qur'an yang diturunkan Allah itu, di dalamnya terdapat ayat-ayat yang muhkamat dan terdapat pada yang mutasyabihat.

"Ayat yang muhkamat" ialah ayat yang jelas artinya, seperti ayat-ayat hukum, dan sebagainya. "Ayat mutasyabihat" ialah ayat yang tidak jelas artinya, yang dapat ditafsirkan dengan bermacam-macam penafsiran. Seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan hal-hal yang gaib dan sebagainya. 

Menurut sebagian mufasir, tujuan diturunkannya ayat-ayat ini, ialah:

Pertama, untuk menguji iman dan keteguhan hati seorang Muslim kepada Allah. Iman yang benar hendaklah disertai dengan penyerahan diri dalam arti yang seluas-luasnya kepada Allah. Allah menurunkan ayat-ayat yang dapat dipahami artinya dengan mudah dan Dia menurunkan ayat-ayat yang sukar diketahui makna dan maksud yang sebenarnya, yaitu ayat-ayat mutasyabihat. 

Dalam menghadapi ayat-ayat mutasyabihat ini, manusia akan merasa bahwa dirinya bukanlah makhluk yang sempurna, ia hanya diberi Allah pengetahuan yang sedikit karena itu ia akan menyerahkan pengertian ayat-ayat itu kepada Allah Yang Maha Mengetahui.

Kedua, dengan adanya ayat-ayat yang muhkamat dan mutasyabihat kaum Muslimin akan berpikir sesuai dengan batas-batas yang diberikan Allah; ada yang dapat dipikirkan secara mendalam dan ada pula yang sukar dipikirkan, lalu diserahkan kepada Allah.

Ketiga, para nabi dan para rasul diutus kepada seluruh umat manusia yang berbeda-beda, misalnya: Berbeda kepandaiannya, kemampuannya, kekayaannya, berbeda pula bangsa, bahasa dan daerahnya. 

Karena itu, cara penyampaian agama kepada mereka hendaklah disesuaikan dengan keadaan mereka dan kesiapan bahasa yang dimiliki sesuai dengan kemampuan mereka.

Sikap manusia dalam memahami dan menghadapi ayat-ayat yang mutasyabihat, yaitu:

Pertama, orang yang hatinya tidak menginginkan kebenaran, mereka jadikan ayat-ayat itu untuk bahan fitnah yang mereka sebarkan di kalangan manusia dan mereka mencari-cari artinya yang dapat dijadikan alasan untuk menguatkan pendapat dan keinginan mereka.

Kedua, orang yang mempunyai pengetahuan yang mendalam dan ingin mencari kebenaran, mereka harus mencari pengertian yang benar, dari ayat itu. Bila mereka belum atau tidak sanggup mengetahuinya, mereka berserah diri kepada Allah sambil berdoa dan mohon petunjuk.

Pada akhir ayat ini Allah menerangkan sifat orang yang dalam ilmu pengetahuannya, yaitu orang yang suka memperhatikan makhluk Allah, suka memikirkan dan merenungkannya. Ia berpikir semata-mata karena Allah dan untuk mencari kebenaran.

Allah SWT berfirman :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قِيلَ لَكُمۡ تَفَسَّحُواْ فِي ٱلۡمَجَٰلِسِ فَٱفۡسَحُواْ يَفۡسَحِ ٱللَّهُ لَكُمۡۖ وَإِذَا قِيلَ ٱنشُزُواْ فَٱنشُزُواْ يَرۡفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ دَرَجَٰتٖۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٞ  

“Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mujadilah (58) : 11)

Sobat. Ayat ini memberikan penjelasan bahwa jika di antara kaum Muslimin ada yang diperintahkan Rasulullah saw berdiri untuk memberikan kesempatan kepada orang tertentu untuk duduk, atau mereka diperintahkan pergi dahulu, hendaklah mereka berdiri atau pergi, karena beliau ingin memberikan penghormatan kepada orang-orang itu, ingin menyendiri untuk memikirkan urusan-urusan agama, atau melaksanakan tugas-tugas yang perlu diselesaikan dengan segera.

Dari ayat ini dapat dipahami hal-hal sebagai berikut:

Pertama, para sahabat berlomba-lomba mencari tempat dekat Rasulullah saw agar mudah mendengar perkataan yang beliau sampaikan kepada mereka.

Kedua, perintah memberikan tempat kepada orang yang baru datang merupakan anjuran, jika memungkinkan dilakukan, untuk menimbulkan rasa persahabatan antara sesama yang hadir.

Ketiga, sesungguhnya tiap-tiap orang yang memberikan kelapangan kepada hamba Allah dalam melakukan perbuatan-perbuatan baik, maka Allah akan memberi kelapangan pula kepadanya di dunia dan di akhirat.

Memberi kelapangan kepada sesama Muslim dalam pergaulan dan usaha mencari kebajikan dan kebaikan, berusaha menyenangkan hati saudara-saudaranya, memberi pertolongan, dan sebagainya termasuk yang dianjurkan Rasulullah SAW Saw. Beliau bersabda:
Allah selalu menolong hamba selama hamba itu menolong saudaranya. (Riwayat Muslim dari Abu Hurairah).

Berdasarkan ayat ini para ulama berpendapat bahwa orang-orang yang hadir dalam suatu majelis hendaklah mematuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam majelis itu atau mematuhi perintah orang-orang yang mengatur majelis itu.

Jika dipelajari maksud ayat di atas, ada suatu ketetapan yang ditentukan ayat ini, yaitu agar orang-orang menghadiri suatu majelis baik yang datang pada waktunya atau yang terlambat, selalu menjaga suasana yang baik, penuh persaudaraan dan saling bertenggang rasa. 

Bagi yang lebih dahulu datang, hendaklah memenuhi tempat di muka, sehingga orang yang datang kemudian tidak perlu melangkahi atau mengganggu orang yang telah lebih dahulu hadir. Bagi orang yang terlambat datang, hendaklah rela dengan keadaan yang ditemuinya, seperti tidak mendapat tempat duduk. 

Inilah yang dimaksud dengan sabda Nabi SAW: Janganlah seseorang menyuruh temannya berdiri dari tempat duduknya, lalu ia duduk di tempat tersebut, tetapi hendaklah mereka bergeser dan berlapang-lapang." (Riwayat Muslim dari Ibnu 'Umar)

Akhir ayat ini menerangkan bahwa Allah akan mengangkat derajat orang yang beriman, taat dan patuh kepada-Nya, melaksanakan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, berusaha menciptakan suasana damai, aman, dan tenteram dalam masyarakat, demikian pula orang-orang berilmu yang menggunakan ilmunya untuk menegakkan kalimat Allah. 

Dari ayat ini dipahami bahwa orang-orang yang mempunyai derajat yang paling tinggi di sisi Allah ialah orang yang beriman dan berilmu. Ilmunya itu diamalkan sesuai dengan yang diperintahkan Allah dan rasul-Nya.

Kemudian Allah menegaskan bahwa Dia Maha Mengetahui semua yang dilakukan manusia, tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya. Dia akan memberi balasan yang adil sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukannya. Perbuatan baik akan dibalas dengan surga dan perbuatan jahat dan terlarang akan dibalas dengan azab neraka.

Dari Mu’awiyah beliau berkata, saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang Allah menghendaki kebaikan baginya, maka Allah akan fahamkan dia dalam urusan agamannya.” (Muttafaqun ‘alaih)

Luqman berkata kepada anaknya, “ Wahai anakku! Duduklah bersama ulama dan rapatkanlah kedua lututmu dengan mereka. Sesungguhnya Allah SWT menghidupkan hati dengan cahaya hati (sinar ilmu) sebagaimana Allah menghidupkan bumi dengan hujan dari langit.” 

Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “ Tidak ada sesuatu yang lebih mulia setelah kewajiban daripada menuntut ilmu, karena ilmu adalah cahaya yang dengannya memberi petunjuk kepada orang yang bingung.”

Sobat. Pada suatu hari, Rasulullah SAW masuk masjid dan melihat dua kelompok sahabat. Satu kelompok belajar ilmu dan kelompok yang lain berdzikir kepada Allah, lalu beliau duduk bersama orang-orang yang belajar ilmu. Beliau ditanya oleh sahabat-sahabatnya,” Wahai Rasulullah, mana yang lebih mulia, majelis ilmu ataukah majelis dzikir?” Beliau menjawab, “Majelis Ilmu baik dan majelis dzikir baik, akan tetapi saya diutus sebagai seorang pengajar”


Oleh: DR Nasrul Syarif M.Si.
Penulis Buku Gizi Spiritual dan Buku Buatlah Tanda di alam semesta 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar