Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Dalam Islam Kesehatan untuk Semua Bukan Sekadar Janji Manis

Topswara.com -- Debat Pamungkas Kelima telah dilaksanakan beberapa hari lalu. Salah satu bahasan yang diangkat dalam debat tersebut adalah kesehatan. Masing-masing paslon menyampaikan visi, misi, dan strateginya dalam mengatasi problem kesehatan di Indonesia. 

Tampak perbedaan dalam fokus capaian yang hendak dituju. Capres 02 misalnya, fokus pada strategi jaminan makan siang bergizi dan menambah jumlah Fakultas Kedokteran. Capres 03 dengan rencana andalan 1 desa, 1 faskes, dan 1 nakes. 

Adapun 01 cukup komprehensif dalam mensolusikan masalah Kesehatan, mulai dari memastikan budaya pola hidup sehat, pertolongan cepat untuk orang sakit, dan jaminan kesejahteraan keluarga, sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang dengan biaya terjangkau. 

Sangat disayangkan, bahasan yang diangkat oleh masing–masing paslon terkesan belum menyentuh akar persoalan sektor Kesehatan. Terkait penambahan jumlah nakes dan pembangunan Fakultas Kedokteran baru, memang secara perbandingan kelayakan ala WHO, Indonesia masih belum memenuhi rasio perbandingan dokter 1: 1000. 

Akan tetapi, akan menjadi permasalahan lain bila problem Pendidikan Kedokteran yang mahal tidak diselesaikan. Terlebih kebijakan pendidikan seperti PTNBH dalam sistem saat ini jelas menghilangkan peran negara dalam jaminan pendidikan. Hingga demi membayar UKT, mahasiswa harus terlibat pinjol.

Pun janji-janji lain seperti pembangunan, peningkatan layanan kesehatan, peningkatan kesadaran upaya promotive dan preventif dibanding kuratif. rasa-rasanya bukan hal baru lagi. Janji manis itu sudah digadang-gadang sejak pemilu yang lalu-lalu. 

Tetapi realitanya, dana kesehatan tidak menyentuh masyarakat, dan justru habis untuk kegiatan unfaedah, seperti rapat koordinasi, perjalanan dinas, dan pembangunan pagar puskesmas. Belum lagi persoalan dana yang tidak tepat sasaran hingga habis di tangan pejabat korup.

Peningkatan kuantitas nakes juga bukan solusi bila tidak diiringi dengan pemerataan dan jaminan kesejahteraan nakes. Sayangnya, dengan mekanisme pembiayaan kesehatan ala sistem kapitalisme demokrasi, rasa-rasanya kesejahteraan seolah jauh panggang dari api. 

Hari ini, kesehatan adalah bagian dari komoditas yang terus dikomersialiasi. Dibiarkanlah sektor kesehatan dimasuki investor, sedangkan rakyat gotong royong sendiri untuk memenuhi hak sehat mereka lewat sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). 

Nakes pun pada faktanya dijadikan seolah buruh, diminta untuk menekan biaya layanan lewat mekanisme kapitasi BPJS, tanpa memperhatikan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan. 

Hal tersebut dapat terjadi karena Indonesia sebagai bagian dari negara yang meratifikasi skema IMF dan WTO tengah menerapkan liberalisasi keuangan dan ekonomi. Sebagaimana tertuang dalam General Agreement on Trade in Services (GATS), sektor jasa (service) yang mencakup kebutuhan dasar sektor pendidikan, kesehatan, air, disamakan dengan sektor perbankan, asuransi, jual-beli, pariwisata, dan transportasi. 

Dalam skema semacam ini, jelas tidak dibedakan mana jasa komersial dan jasa non-komersial, apalagi esensial dan non-esensial. Pada akhirnya, kebutuhan dasar semacam kesehatan yang seharusnya menjadi public service dan harus dipenuhi pemerintah, berubah menjadi privatisasi sektor layanan publik yang mengikuti mekanisme pasar. Beginilah kehidupan dalam sistem kapitalisme, ketika hidup menjadi diperdagangkan. 

Sejatinya, problematika kesehatan dalam sistem kapitalisme adalah problem sistemik. Dalam sistem kapitalisme, manusia menjadikan tujuan hidupnya semata untuk mencari keuntungan materi, sehingga terbentuklah karakter materialis. 

Alhasil, sistem ini menjadikan manusia berusaha mencapai kenikmatan materi dengan cara apapun, selama ia merasa ada kenikmatan dan kemaslahatan baginya, tanpa melihat bagaimana imbas perbuatan tersebut terhadap orang lain. 

Manusia menjadi mahluk yang terengah-engah mengejar materi dan manfaat tanpa merasa terikat dengan nilai apapun, karena sistem ini menihilkan peran Pencipta sebagai pengatur alias sekuler. Sistem ini melahirkan para pejabat korup, nakes yang terjebak dalam budaya KKN, dan masyarakat yang menjadi korban kerakusan manusia kapitalis. 

Polemik sistem kesehatan yang sistemik, harus pula disolusikan dengan solusi sistemik. Mari kita tengok solusi terbaik yang telah diturunkan Sang Maha Pengatur Kehidupan. Dalam Islam, kesehatan adalah bagian dari kebutuhan pokok pelayanan publik yang menjadi tanggung jawab negara. 

Hal ini sejalan dengan hadis Rasulullah SAW. “Siapa saja yang ketika memasuki pagi hari mendapati keadaan aman kelompoknya, sehat badannya, memiliki bahan makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dunia telah menjadi miliknya.” (HR Bukhari).

Negara akan memberikan jaminan pembiayaan kesehatan, penyedia dan pelayanan kesehatan, penyelenggaraan pendidikan SDM kesehatan, hingga jaminan tersedianya sarana dan fasilitas kesehatan (meliputi alat kesehatan, obat, dan teknologi). 

Nabi Muhammad SAW SAW. pun dalam kedudukan beliau sebagai kepala negara pernah mendatangkan dokter untuk mengobati salah seorang warganya, yakni Ubay. Saat Nabi saw. mendapatkan hadiah dokter dari Muqauqis, Raja Mesir, beliau pun menjadikan dokter itu sebagai dokter umum bagi seluruh warganya (HR Muslim). 

Artinya, Rasulullah SAW., yang bertindak sebagai kepala Negara Islam, telah menjamin kesehatan rakyatnya, dengan cara mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa memungut biaya dari rakyatnya itu. 

Sebagaimana tercatat dalam tinta emas kegemilangan peradaban Islam, bahwa pada masa Kekhalifahan Abbasiyah, Cordoba memiliki lebih dari 50 RS, Kota Baghdad memiliki 60 Bimaristan (Rumah Sakit) dengan >1.000 dokter, Bimaristan Al-Mansuri (Kairo) mengakomodir hingga 8000 pasien, dan RS al-Dhudi (Baghdad) mampu melayani 4.000 pasien/hari. 

Khalifah juga menyediakan Apotek dan RS keliling bagi orang yang cacat dan masyarakat desa yang diangkut oleh >40 unta untuk menjamin tidak ada daerah tertinggal dan masyarakat yang tidak mendapat layanan akses kesehatan.

Semua itu bisa lahir dari konsep pembiayaan sektor kesehatan yang jauh dari pandangan komoditas, melainkan dipenuhi negara melalui pos-pos baitul mal yang didapat dari pengelolaan sumber daya alam, dan pemasukan negara lainnya. 

Di sisi lain, negara juga melakukan upaya promotif dan preventif berbasis sistem. Semua sistem akan sejalan dengan tujuan negara untuk memenuhi kebutuhan umat. Ekonomi dijalankan sesuai dengan aturan Islam mengenai kepemilkan, pengelolaan, dan distribusi harta sehingga menghasilkan rakyat yang terpenuhi kebutuhan dan kesehatannya. 

Pun masyarakat akan dididik dengan sistem pendidikan yang berbasis akidah Islam, sehingga melahirkan insan bertakwa dan paham adab serta kebiasaan Islami, seperti makan makanan halal dan sehat (thayib), tidak melakukan budaya konsumtif, berlebihan dan sebagainya. 

Wallahualam bishawab.


Oleh: Jihan Ainy
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar